Jurnalis Ditahan dengan Sangkaan Makar Akibat Suarakan Referendum Minahasa

RO beberapa kali memperlihatkan apa yang disebut bendera Minahasa Land berwarna biru merah dihiasi 11 bintang.

Editor: Tariden Turnip
polda sulut
Bendera Minahasa yang diunggah Rocky di facebooknya 

TRIBUN-MEDAN.COM - Seorang jurnalis ditangkap dengan tudingan makar karena menyuarakan gagasan Minahasa Merdeka.

Namun pegiat HAM dan demokrasi menganggap penahanan ini berlebihan.

RO alias Rocky (35) yang berprofesi sebagai jurnalis televisi, ditangkap aparat kepolisian daerah (Polda) Sulawesi Utara (Sulut) dan Den Intel Komando Daerah Militer XIII/Merdeka di rumahnya Jumat (2/6/2017) sekitar pukul 22.30 Wita.

"RO ditangkap di rumahnya di kota Bitung dan diproses terkait kasus makar," kata Kepala Bidang Humas Polda Sulut Kombes Pol Ibrahim Tompo, kepada Lita Evangline Aruperes wartawan di Manado.

Menurut Ibrahim, pada Kamis 1 Juni 2017, RO bersama dua rekannya berbicara di hadapan sejumlah pihak yang sedang menggelar diskusi di perpusatakan Minahasa AZR Wenas Tomohon Utara. Dia meminta publik mendukung rencana referendum tersebut.

Disebutkan, tersangka banyak menyebar seruan jajak pendapat tanah Minahasa, baik secara langsung lewat aksi unjuk rasa maupun unggahan di media sosial pribadinya.

Dalam unggahan di medsos, RO beberapa kali memperlihatkan apa yang disebut bendera Minahasa Land berwarna biru merah dihiasi 11 bintang.

"Kata Rocky dia telah melakukan aksi (menyerukan) referendum Minahasa merdeka pada 1 Desember dan 15 Desember 2016 di depan kantor gubernur, tujuannya untuk mempertegas eksistensi orang Minahasa atas kejadian yang selama ini telah terjadi," kata Ibrahim.

Ibrahim menyebut, melalui beberapa bukti terkumpul, polisi menangkapnya. "RO melanggar pasal 110 dan 106 KUHP tentang pidana makar," kata Ibrahim.

Penangkapan jurnalis Rocky
Penangkapan jurnalis Rocky (polda sulut)

Wakil Kepala Penerangan (Wakapendam) Kodam XIII Merdeka Letkol Inf Vipy Amuranto Pranoto mengakui, pihaknya terlibat dalam penangkapan itu.

"Yang melakukan penangkapan dari Polda sedangkan anggota Kodam melakukan pemantauan proses penangkapan RO," ujar Vipy saat dimintai keterangan melalui telepon genggamnya, Minggu (4/6).

Penangkapan ini disesalkan oleh Hendardi dari Setara Institute, lembaga pemerhati kebebasan berpendapat.

"Sekalipun pasal-pasal makar masih menjadi bagian hukum positif kita, namun seyogyanya hanya dipergunakan secara selektif dan benar-benar ada cukup bukti permulaan bahwa ada cukup kekuatan mendukung gagasan makar tersebut, kata Hendardi.

"Dalam kasus Rocky saya melihat sekalipun polisi memiliki alat bukti seperti bendera, dan sebagainya, namun dalam konteks 'kekuatan' yang bersangkutan serta konteks politik kedaerahan, saya kira terlalu jauh untuk menetapkan bahwa ia hendak melakukan makar. Jadi dalam kasus Rocky ini saya kira aparat tdk perlu berlebihan. Bisa memeriksanya tapi tidak harus menahannya," kata Hendardi pula.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfuinawati, menyampaikan pendapat senada.

Sumber: bbc
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved