Memori 98; 8.000 Orang Bergerak ke Cendana Incar Soeharto, Panglima ABRI Kirim Pasukan Adang Massa

Gejolak di era reformasi 1998 memunculkan kisah menegangkan di kawasan Jalan Cendana, Jakarta Pusat, kediaman mantan Presiden RI Soeharto.

Editor: Juang Naibaho
KOMPAS/EDDY HASBY
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR. Hegemoni Orde Baru yang kuat ternyata menjadi inspirasi bagi orangtua untuk memberi nama bagi anak-anak mereka. 

TRIBUN MEDAN.com - Gejolak di era reformasi 1998 memunculkan kisah menegangkan di kawasan Jalan Cendana, Jakarta Pusat, kediaman mantan Presiden RI Soeharto.

Suasana mencekam menyelimuti rumah Soeharto tepat setelah presiden ke-2 RI itu lengser dari jabatannya.

Massa yang berjumlah sekitar 8.000 orang bergerak ke Cendana untuk melakukan 'pengadilan rakyat'. 'Pengadilan rakyat' yang dimaksud ketika itu yakni menghabisi mantan presiden dan keluarganya dengan cara yang diingankan massa.

Beruntung, Panglima ABRI sudah memetakan lokasi dengan memerintahkan pasukan dari Kodam Jaya dan satuan perintis Polda Metro Jaya, melakukan penjagaan superketat. Wiranto juga menginstruksikan blokade kawat berduri untuk mencegah pergerakan massa.

Alhasil, tidak ada satu elemen mahasiswa atau massa pun yang bisa menembus barikade aparat keamanan.

Dilansir dari Kompas.com, suasana di rumah Soeharto diceritakan oleh Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Menhankam/Panglima ABRI. Cerita itu tertuang dalam artikel 'Kisah Wiranto Cegah "Pengadilan Rakyat" terhadap Soeharto dan Keluarga'.

Wiranto yang menjadi sosok sentral di tengah situasi gejolak tersebut, menyadari gelombang kemarahan elemen mahasiswa atau massa terhadap Soeharto. Karena itulah, ia memutuskan untuk melakukan pengamanan superketat di jalur-jalur menuju Cendana.

Pasukan dari Brigade Infanteri 1 Pengamanan Ibu Kota/Jaya Sakti (Brigif-1 PIK/JS) Kodam Jaya dan satuan perintis Polda Metro Jaya, dikerahkan untuk berjaga-jaga di lima titik persimpangan jalan yang langsung mengarah ke Jalan Cendana.

Menurut Wiranto, ketika itu hampir setiap hari ada aksi unjuk rasa yang menuntut Soeharto diadili. Massa berkumpul di sekitar Taman Surapati dan Tugu Tani.

"Bahkan, tidak jarang saya mendengar ada di antaranya yang menuntut dilakukannya 'pengadilan rakyat' atas mantan Presiden RI, Soeharto," kata Wiranto.

Wiranto mengakui demonstrasi merupakan hak setiap orang. Namun, ia meminta aksi itu dilakukan dengan damai.

Sebab, ia khawatir gelombang demonstrasi dapat mengarah kepada tindakan anarkisme dan brutalisme, yang dianggapnya akan menodai reformasi.

Ia merasa langkah pengamanan superketat tersebut untuk menyelamatkan Indonesia dari sebutan "bangsa barbar".

"Coba bayangkan, pada waktu itu ribuan massa bergerak ke Cendana untuk melakukan apa yang disebut 'pengadilan rakyat', yakni menghabisi mantan presiden dan keluarganya dengan cara mereka, pasti akan sangat keji dan brutal," kata Wiranto.

Di tengah situasi itu, Wiranto mendapat informasi dari wartawan asing bahwa akan timbul lagi korban tewas pada saat bentrok dengan aparat di sekitar Cendana. Hal itu untuk membangkitkan amarah massa.

Halaman
1234
Sumber: Warta kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved