Mengintip Budaya Karo Dari Lembar Kayu Lak-lak
Melihat perjalanan peradaban masyarakat Suku Karo dan ragam kebuday
Editor:
Muhammad Tazli
Laporan Wartawan Tribun Medan : Eris Estrada
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Melihat
perjalanan peradaban masyarakat Suku Karo dan ragam kebudayaannya dari
beberapa lembar kulit kayu bukanlah hal yang mudah. Apalagi tidak banyak
orang yang paham dan mengerti membaca aksara khas Karo. Padahal di
dalamnya, banyak warisan budaya dan pengetahuan yang tertulis rapi
dengan warna hitam yang diperoleh dari getah kayu yang digoreskan dengan
pena yang terbuat dari bambu. Naskah kuno yang disebut Pustaka Lak Lak ini ditulis pada lembaran kayu ulim yang panjang berlipat-lipat dengan tinta mangsi yaitu
hasil tampungan asap dari pembakaran kayu jeruk purut dengan pena bulu
ayam, atau campuran bahan getah sona, air tebu, dawat, air getah, bunga
sapa, air jahe, merica serta minyak.
Tidak banyak literatur-literatur kuno yang dapat mendukung kapan tulisen,
istilah aksara Karo, itu mulai dipergunakan secara luas di wilayah
Karo. Namun bagi mereka yang mengerti, di dalamnya terlihat jelas
beberapa syair cinta, ramalan (katika), turi-turin (cerita), mangmang/tabas (mantra), kitab ketabiban, ratapan atau rintihan (bilang-bilang), kitab mayan (beladiri), ndung-ndungen (sejenis pantun), bilang-bilang (puisi), dan ramuan obat-obatan serta seni menyusun tanggal baik
pernikahan.
Namun
di salah satu sudut Museum Pusaka Karo, Berastagi, ditampilkan dua
jenis manuskrip khas Karo yang ditulis dalam lak-lak (kulit kayu).
Kayunya terbuat dari lembaran-lembaran kayu alim (aquilaria
malaccensis)) yang berlipat-lipat sepanjang beberapa meter. Warnanya
sudah kuning kecoklatan, namun tulisan yang digurah dengan getah kayu
masih nampak tajam ketika disinari cahaya di dalam boks kaca bening.
Direktur Museum Pusaka Karo, Valentinus Ginting, mengakui bukan hal yang mudah memperoleh lak-lak ini.
Selain usianya ada yang sudah berumur sekitar 400 tahun, tak jarang
juga ada masyarakat yang berfikir bahwa itu adalah benda peninggalan
biasa yang tidak memiliki arti. Padahal di dalamnya tergambar jelas
nilai-nilai kehidupan leluhur Suku Karo.
Ironisnya
lagi, banyak masyarakat Karo saat ini yang bahkan tidak mengetahui
kalau naskah kuno ini pernah ada. Bahkan ketika melihat ukiran di rumah
adat Karo, seperti Siwaluh Jabu, kebanyakan menganggap itu hanya ukiran
hias belaka. Padahal setiap tulisan memiliki makna sendiri.
“Banyak
masyarakat Karo yang bahkan tak mengetahui keberadaan benda ini menjadi
bagian dari sejarah Suku Karo. Sebagian menganggap ini hanyalah benda
milik kakek-nenek mereka jaman dulu. Padahal di dalamnya berisikan
warisan yang sangat
berharga,” katanya sembari memperlihatkan lembaran kayu usang lak-lak
yang cukup tua itu. Di sudut-sudut lembarannya bahkan sudah mulai
terkelupas.
Budaya tulisen ini
tidak hanya digoreskan di lembar kayu alim saja. Di Karo dulunya sering
ditemui tulisan pada bilah bambu ataupun batu. Khususnya kaum muda yang
menuliskan rintihan atau ratapan hidupnya khususnya yang berkaitan
dengan asmara. Inilah yang populer dengan sebutan bilang-bilang (ratapan pada kulit bambu). Bukan itu saja, di Karo juga sangat populer surat bahasa lokalnya
disebut dengan musuh berngi (musuh malam/musuh dalam kegelapan) yang berisikan ancaman dan tantangan.
Selain dua buah lak lak,
ada seratusan peninggalan masyarakat Karo lainnya yang ditempatkan di
museum yang dulunya merupakan bangunan gereja Katholik di Berastagi ini.
Hampir semua barang bersejarah itu diletakkan dalam boks kaca bening
dengan cahaya tidak terlalu terang alias redup. Mungkin untuk menjaga
suhu agar benda-benda berusia ratusan tahun tidak mudah rusak atau
lapuk.
Tepat diatas lak-lak, diletakkan pula perhiasan perempuan Karo jaman dulu yang bernama padung-padung.
Anting-anting yang terbuat dari perak dan terkadang emas ini panjangnya
berkisar 15,5 cm dan beratnya berkisar 2 kilogram. Namun karena
disangkutkan juga ke tudung atau kain penutup kepala, maka beban telinga
jadi berkurang. Ukurannya ditentukan oleh si penggunanya, kalau masih
gadis remaja ukuran antingnya masih kecil. Namun untuk gadis dewasa,
biasanya menggunakan ukuran 2 kilogram.
Ada
yang unik dengan kisah ditemukannya padung-padung ini. Dulunya, pihak
museum Belanda mengirimkan padung-padung ini ke museum Kabupaten Nias
karena menyangka ini adalah milik Suku Nias. Namun belakangan pihak
Museum Nias menolaknya dan mengatakan kepada Museum Belanda kalau
padung-padung itu seperti kepunyaan masyarakat Karo.
“Perjalanan
padung-padung ini sungguh panjang.
Malah sempat dikirimkan ke museum di Nias karena disangka kepunyaan
masyarakat sana. Akhirnya mereka menyadari kalau itu kepunyaan kita
(Karo). Lalu dikirim lagi kemari. Akhirnya kita punya satu set anting
khas Karo,” pungkas Valentinus. (ers/tribun-medan.com)