Citizen Reporter
Belanda dan Turki Kian Memanas, Presiden Turki: Mereka Sisa-sisa Nazi, Mereka Kaum Fasis
KETEGANGAN kedua negara itu berawal dari penolakan pemerintah Belanda terhadap Menteri urusan keluarga dan sosial Turki,
Ia bisa menunjuk menteri, menyiapkan anggaran negara, memilih mayoritas hakim agung, dan melahirkan undang-undang tertentu.
Dalam sistem tersebut, presiden juga akan memiliki kewenangan untuk mengumumkan keadaan darurat dan membubarkan parlemen.
Menurut para analis, sistem baru ini juga akan memungkinkan Erdogan untuk menduduki kantor kepresidenan Turki hingga 2029 mendatang.
Hal inilah yang tak diinginkan mereka yang mengatakan “Tidak” untuk referendum Turki.
Penguatan posisi Erdogan juga menjadi ketakutan bagi Eropa, karena khawatir rencana referendum itu akan melahirkan pemerintahan otoriter di bawah rezim Presiden Erdogan.
Ketakutan itu semakin terlihat jelas, sebab negara Eropa lainnya turut menolak kehadiran menlu Turki yang ingin menemui warganya untuk menarik dukungan terkait referendum.
Jerman dan Austria adalah dua negara yang juga turut menolak kehadiran menteri luar negeri Turki.
Ada sekitar 5,5 juta orang Turki yang tinggal di luar negeri, 1,4 juta pemilih tinggal di Jerman dan 400 ribu di Belanda.
Untuk referendum dan memperkuat posisinya di Turki, Erdogan harus mendapat dukungan dari warganya, baik yang tinggal di Turki atau yang berada di luar negeri. Maka, berkampanye di dua negara Eropa itu dapat dibilang penting bagi Erdogan.
Baca: Usainya Konser Shane Filan, Teriakan Perempuan: Ariel! Ariel! Ariel!
Baca: Depak Sevilla, Leicester City Lanjutkan Sejarah di Liga Champions
Baca: Ya Ampun, Kasus Perselingkuhan Ajudan Wali KotaTerbongkar berawal dari Handphone
Baca: Ketua PBNU: Politik Jangan Dicampuradukkan dengan Agama, Allah Jangan Diajak Kampanye
(Sumber: tirto.id )