Kasus Korupsi

Alamak, Gamawan Fauzie Siap Dikutuk, Kenapa Sampai Demikian?

“Saya sebenarnya bukan orang yang biasa menyakiti, tetapi mungkin ini tergolong menyakitkan, tetapi ini sebagai profesi saya,"

TRIBUNNEWS/HERUDIN
Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi tiba di kantor KPK 

TRIBUN-MEDAN.com - Majelis hakim Tindak Pidana Korupsi menggelar sidang kedua kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP berbasis NIK periode 2011-2012 di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3/2017) sejak pukul 10.15 WIB.

Agenda sidang berupa pemeriksaan saksi yang didatangkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dihadirkan sebagai saksi pertama. Majelis hakim mencecar sejumlah pertanyaan kepada mantan Gubernur Sumatera Barat itu.

Dia disebut-sebut menerima uang terkait korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) senilai US$ 4,5 juta dan Rp 50 juta.

Baca: Kali Ini Ashanty Terima Prasangka Buruk atas Foto Satu Ini, Kok Bisa?

“Saya sebenarnya bukan orang yang biasa menyakiti, tetapi mungkin ini tergolong menyakitkan, tetapi ini sebagai profesi saya. Terkait dengan e-KTP apakah anda pernah menerima sesuatu?” tutur hakim John Halasan Butar-Butar kepada Gamawan di persidangan.

Baca: Pakai Baju Tipis dan Celana Robek saat Dipanggil Polisi, Nikita: Saya lagi Butuh Banyak Uang

Secara tegas, pria asal Solok, Sumatera Barat itu membantah menerima uang. “Satu rupiah pun saya tidak pernah menerima yang mulia, demi Allah, dan saya minta kalau saya menghianati bangsa ini, saya minta didoain kalau saya menerima satu rupiah didoakan seluruh rakyat Indonesia, saya dikutuk Allah SWT,” ujarnya.

Baca: Duh, Aa Gym Disentil Netizen Usai Unggah Foto Wanita, Apa Hubungannya dengan Ustaz Alhabsyi?

Sementara itu, mengenai pemberian uang Rp 50 juta, dia mengaku itu honor sebagai pembicara di lima provinsi. “Saya baca disebut-sebut uang Rp 50 juta ini, menerima uang Rp 50 juta untuk lima daerah. Saya perlu clearkan ini karena banyak yang bertanya kepada saya. Itu honor pembicara saya di lima provinsi,” kata dia.

Baca: Bikin Kaget, Inilah Isi Ceramah Ustaz Alhabsy soal Poligami, Sudah 7 Tahun pula Ustaz Poligami

Di kesempatan itu, Gamawan menjelaskan awal mula program tersebut yang saat ini berbuntut sebuah kasus. Di hadapan majelis hakim, Gamawan mengklaim program itu bukan gagasannya melainkan Mendagri sebelumnya, yaitu Mardiyanto.

John Halasan menanyakan kepada Gamawan dan mencari tahu atas siapa gagasan proyek yang menelan anggaran negara Rp 5,9 Triliun itu. “Sudah ada sebelum anda menjabat sebagai menteri dalam negeri?” tanya Halasan. “Iya, yang mulia,” jawab Gamawan. “Yang anda tahu gagasan siapa itu?” lanjut Halasan. “Saya tahu itu amanat undang-undang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006,” jawab Gamawan.

Gamawan menjelaskan, program e-KTP merupakan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang nantinya diperuntukkan untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2014.

Dia juga mengungkap pernah diundang oleh DPR RI untuk melakukan rapat dengar pendapat tentang berbagai permasalahan dalam negeri dan salah satunya adalah proyek e-KTP. Di rapat itu, pihak DPR meminta supaya pembiayaan proyek e-KTP diambil dari APBN murni tanpa pinjaman luar negeri.

Lalu, Gamawan melaporkan hasil dari rapat itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan akhirnya diminta pembahasan proyek dibahas di rapat yang dipimpin oleh Wakil Presiden Budiono dan dihadiri oleh Menko Polhukam, Menteri Keuangan, Kepala BPKP, dan pejabat Eselon I Kementerian dan Lembaga lainnya.

Di rapat itu, dia meminta supaya proyek e-KTP tak dijalankan oleh Kemendagri, namun hal tersebut ditolak. Wakil presiden menyampaikan keberatan karena itu merupakan tugas pokok dan fungsi dari Kemendagri sebab Ditjen Dukcapil ada disitu.

Dia menolak mengerjakan proyek itu karena merupakan orang baru di Kemendagri. Selain itu, dia khawatir tidak bisa menjalankannya. Akhirnya, dari rapat itu dibuat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2010. Keppres itu memerintahkan membentuk tim pengarah dengan ketua adalah Menko Polhukam, sedangkan Mendagri wakilnya.

“Jadi, saya perlu meluruskan ini yang mulia. Jadi di media di luar seolah-olah ini usu saya dengan dana dalam negeri. Padahal itu permintaan DPR dan sudah ada surat,” tegasnya.

Melalui Keppres itu Kemendagri diperintahkan membentuk tim teknis membantu dalam hal teknis di bidang pengadaan proyek e-KTP. Pembentukan tim ini melibatkan perwakilan dari 15 Kementerian dan Lembaga Negara.

Hasil kerja tim teknis diberikan kepada PPK yang dipimpin Sugiharto dan rancangan anggaran biaya proyek itu oleh Dirjen Dukcapil, Irman, dilaporkan kepada Gamawan. Lalu oleh Gamawan diperintahkan agar rancangan anggaran biaya itu dipresentasikan kepada KPK untuk dikawal atas pengerjaan proyek.

Di kesempatan itu, Gamawan mengaku telah berkali-kali mengaudit kepada BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dari sejak awal rancangan anggaran biaya dibuat hingga pemenang tender proyek e-KTP telah ditetapkan.

Sehingga, dia kaget saat KPK menetapkan Sugiharto tersangka.

“Setelah berjalan, tiga tahun diperiksa BPK, tidak pernah disebut oleh BPK ada kerugian negara. Tak ada satu lembaga pun yang menyatakan salah, lalu, pak Sugiharto tiba-tiba tersangka. Iya, saya kaget dimana salahnya,” kata Gamawan.

Setelah pemeriksaan Gamawan berakhir, majelis hakim mengkonfrontir keterangan empat orang saksi.

Mereka yaitu, Gamawan Fauzi, Mantan Sekjen Kemendagri, Diah Anggraeni, Kabiro Perencanaan Kementerian Dalam Negeri 2004-2010, Yuswandi A Temenggung, dan eks Ketua Komisi II DPR RI, Chaeruman Harahap.

Selain itu, turut hadir sebagai saksi di persidangan, yaitu Elvius Dailami, Direktur Utama PT Karsa Wira Utama, Winata Cahyadi dan Dirjen Administrasi Kependudukan 2005-2009, Rasyid Saleh.

Sementara itu, Agus Martowardoyo, berhalangan hadir karena sedang memimpin Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia.

Gamawan Fauzi Tegaskan Tidak Bertanggung Jawab Proyek e-KTP Jadi Bancakan Korupsi

Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan dirinya tidak bertanggung jawab mengenai kerugian negara Rp 2,3 triliun dalam pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012.

Gamawan mengatakan dirinya luput dari tanggung jawab tersebut karena sebenarnya sudah mendelegasikan mengenai kewenangan tersebut kepada bawahannya.

Gamawan pada awalnya telah menolak proyek tersebut dikerjakan Kementerian Dalam Negeri.

Gamawan mengatakan tidak tahu caranya dan baru menjabat sebagai menteri dalam negeri.

Namun, saat rapat bersama wakil presiden, disebutkan itu merupakan tugas pokok dan fungsi kementerian dalam negeri.

Rapat tersebut ditindaklanjuti dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 2010 untuk membentuk tim pengarah.

"Ketuanya Menkopolhukam saya wakilnya, Yang Mulia. Lalu kepada mendagri diperintahkan bentuk tim teknis karena tidak punya tim teknis," kata Gamawan saat bersaksi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (16/3/2017).

Menurut Gamawan, tim pengarah dan tim teknis tersebut bertugas untuk memperlancar pencapaian target karena KTP elektronik tersebut akan digunakan untuk Pemilu tahun 2014.

Gamawan kemudian menerbitkan SK untuk Sekretaris Direktorat Jenderla Kependudukan dan Catatan Sipil Elvius Dailami sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

"Dengan delegasikan itu saya tidak punya kewenangan lagi dalam proses itu," kata bekas gubernur Sumatera Barat itu.

Menurut Gamawan SK yang dia keluarkan tidak berdiri sendiri karena KPA pada dasarnya terdiri dari 16 komponen karena lintas kementerian/lembaga.

Tim kemudian bekerja dan menyusun Rencana Anggaran Biaya.

Gamawan kemudian meminta Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Irman untuk meminta audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kemudian diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Lalu itu lah yang saya bawa ke KPK saya presentasikan di depan Pak Busyro (Muqoddas) dan pimpimnan lain," kata dia.

Dari pertemuan dengan KPK, Gamawan diminta agar proyek tersebut dikawal Badan Pengawas Keuangan dan Keuangan (BPKP) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan tender dilakukan secara elektronik.

Menurut Gamawan, tidak ada alasan bagi dirinya untuk menghentikan proyek tersebut karena telah diaudit BPK dan mengatakan tidak kerugian negara.

"Saya minta tolong dicermati KPK kemudian dicermati Polri, BPK dan Jaksa Agung. Tolong cermati kalau ada salah," katanya.

Karena dalam pasal 83 dikatakan jika terdapat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam proses tender, proyek dapat dibatalkan.

"Tapi sepanjang tidak ada bagaimana saya membatalkan," kata Gamawan.

Gamawan juga mengungkapkan mengenai adanya persekongkolan dalam pengadaan KTP elektronik.

Nyatanya, kata Gamawan, hingga disidang di Mahkamah Agung, tuduhan tersebut tidak terbukti.

Gamawan pun mengatakan penetapan Sugiharto sebagai tersangka oleh KPK membuat dia kaget.

"Lalu Pak Sugiharto jadi tersangka saya kaget, berarti ada yang saya tidak tahu kalau seperti itu Yang Mulia," ucap Gamawan.

Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Gamawan Fauzi disebutkan menerima uang 4.500.000 Dolar Amerika Serikat dan Rp 50 juta.

Irman adalah bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri.

Sementara Sugiharto adalah bekas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen.

Negara disebut menderita kerugian Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun anggaran penggadaan KTP elektronik.

(Tribunnews/ Glery Lazuardi/Eri Komar Sinaga/Kompas.com)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved