Mengharukan, Kisah Seorang Bankir Sukses dan Penyesalan Terdalam Hidupnya
Hidup ini berjalan begitu cepat dan ringkas. Terkadang, kita bahkan tidak sadar, atau mungkin berpura-pura menerima
Aku tahu bahwa bukuku kelak akan mengubah dunia. Aku akan memperlihatkan cara pandang yang berbeda, membuat pembacaku berpikir dengan cara yang berbeda sehingga.
Aku pun bersemangat menulis buku itu sejak umur 20 tahun. Ketika itu aku sudah sampai di halaman 70. Dan kini, ketika umurku sudah 46 tahun, bukunya tetap masih di halaman 70….
Dulu aku pernah backpacker ke New Zealand dan Philipina. Aku berencana mengelilingi Asia, Eropa dan kemudian Amerika. Ternyata sampai saat ini pun, aku tidak pernah lagi pergi ke tempat lain selain di dua negara itu.
Dimana sebenarnya kesalahanku? Penyesalanku terjadi ketika saat aku berpikir bahwa aku harus menggeluti pekerjaan yang mapan. Yang sesuai dengan perkuliahanku. Aku memilih bekerja kantoran, dari jam 9 pagi hingga jam 7 malam.
Setiap hari seperti itu. Apa yang sebenarnya kupikirkan? Apakah itu yang dinamakan hidup? Ketika aku harus bekerja dan hanya mengisi waktu dengan makan malam, bekerja untuk persiapan esok hari di kantor dan tidur jam 10 malam?
Lalu bangun esoknya di jam 6 pagi? Itu yang namanya hidup? Oh Tuhan, terkadang aku sampai lupa kapan terakhir kali aku bercinta dengan istriku.
Istriku, ya istriku akhirnya mengakui kalau ia telah berselingkuh selama 10 tahun terakhir. 10 tahun! Tampaknya begitu lama ya? Tapi aku tak lagi tahu bagaimana rasanya. Bahkan aku tidak merasa sakit hati. Katanya ia selingkuh karena aku telah berubah.
Aku tak seperti diriku yang dulu. Lalu apa sebenarnya yang kulakukan 10 tahun terakhir ini? Selain bekerja dan bekerja, aku tak tahu lagi apa yang pernah kulakukan. Yang pasti aku sadar, aku bukanlah suami yang baik seperti orang kebanyakan. Tidak menjadi diriku sendiri.
Siapa sebenarnya aku? Apa yang terjadi denganku? Mengetahui istriku sudah selingkuh pun aku diam saja. Aku bahkan tidak menuntut perceraian. Tidak marah. Tidak berteriak kepadanya. Dan bahkan tidak menangis.
Aku tidak merasakan apa-apa. Tapi ketika aku menuliskan surat ini justru aku menangis. Tapi bukan karena kelakukan istriku. Melainkan karena aku merasa benar-benar hampa.
Ayahku meninggal 10 tahun yang lalu. Aku ingat betul hari itu. Ibuku menelponku dan memberi kabar bahwa ayah sakit keras. Tapi aku sangat sibuk saat itu karena harus mempersiapkan masa promosi jabatanku.
Padahal sudah 15 tahun aku tidak melihat ayahku. Tapi aku tak pernah datang menjenguknya dan berharap ia akan baik-baik saja. Ia meninggal. Disaat yang bersamaan jabatanku dinaikkan di kantor.
Ketika ia meninggal, aku malah berkata pada diriku sendiri bahwa tak masalah kalaupun aku tak datang. Apa yang sebenarnya kupikirkan? Semua kurasionalisasi. Semuanya kubuat menjadi mungkin. Pola pikir yang sebenarnya sangat salah karena hanya untuk mendapatkan kemapanan secara finansial.
Sekarang aku sadar, semua ini tidak benar. Aku menyesali banyak hal yang tidak jadi kulakukan padahal aku masih memiliki kemampuan. Aku menyesal karena pekerjaanku sudah mengambil alih seluruh hidupku. Aku suami yang buruk..Aku hanyalah mesin pencari uang.
Sekarang aku menyesal karena tidak menyelesaikan novelku. Tidak mengelilingi dunia seperti yang kuimpikan. Tidak pernah menjadi ayah yang selalu siap untuk anaknya. Aku bagaikan dompet tebal yang tidak memiliki rasa..