Inilah Daftar Kampus yang Ditutup, Dua di Medan, Apakah Termasuk Kampus Anda?
Pemerintah resmi mencabut izin operasional 25 perguruan tinggi swasta yang dinilai tidak memenuhi syarat standar nasional pendidikan tinggi.
TRIBUN-MEDAN.COM - Pemerintah resmi mencabut izin operasional 25 perguruan tinggi swasta yang dinilai tidak memenuhi syarat standar nasional pendidikan tinggi.
Masyarakat pun diimbau agar berhati-hati memilih perguruan tinggi.
Ke-25 perguruan tinggi swasta (PTS) tersebut adalah bagian dari 192 institusi pendidikan tinggi yang ditutup selama dua tahun terakhir.
Kasusnya bervariasi, mulai dari kelemahan administrasi, konflik internal, hingga jual-beli ijazah.
Adapun secara keseluruhan perguruan tinggi di Indonesia yang aktif terdata sebanyak 4.560 perguruan tinggi negeri dan swasta.
Kepala Subdirektorat Pengendalian Kelembagaan Perguruan Tinggi (PT) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Henri Tambunan mengatakan, ke-25 PTS tersebut sudah diberi kesempatan untuk berbenah selama 6-12 bulan, tetapi tidak berhasil.
”Terhadap PTS pelaku pelanggaran berat, seperti jual-beli ijazah, langsung ditutup karena sudah tergolong kriminal,” kata Henri Tambunan, Kamis (12/10/2017).
Dilansir dari Kompas.com, menurut Henri Tambunan, ada beberapa alasan yang menutup 25 Perguruan Tinggi Swasta teresebut.
Alasan pertama, PTS mengajukan kepada Kopertis serta Kemristek dan Dikti agar memberi mereka izin menutup diri. Faktornya, peminat PTS tersebut sudah tidak ada sehingga operasional tak berkelanjutan.
Kedua, PTS tersebut secara faktual sudah tak ditemukan.
Di pangkalan data pendidikan tinggi Kemristek dan Dikti PTS tersebut masih berstatus aktif atau dalam pembinaan. Akan tetapi, ketika diverifikasi, gedungnya sudah tak ada atau beralih fungsi.
Alasan ketiga, PTS terbukti melakukan pelanggaran, mulai dari ringan, sedang, hingga berat.
Untuk pelanggaran ringan dan sedang, misalnya konflik internal yayasan atau tidak disiplin dalam menjamin mutu, PTS diberi waktu 6 bulan untuk berbenah.
Jika masalahnya karena kekurangan dosen, PTS diminta segera merekrut dosen tetap yang berdisiplin ilmu linear dengan program studi.
Apabila konflik melibatkan antar-pengurus yayasan, dianjurkan menyelesaikannya, termasuk melalui pengadilan.
”Jika 6 bulan tuntas, maka kementerian memberikan toleransi 6 bulan lagi. Tetapi, kalau sudah setahun masalahnya belum juga beres, terpaksa ditutup,” ujar Henri, sebagaimana dilansir dari Kompas.id.
Contoh PTS yang beroperasi tanpa izin adalah Politeknik Negeri Timika di Papua.
Pengurusnya tak pernah mengajukan izin pendirian PTS, tahu-tahu sudah membangun gedung dan merekrut mahasiswa.
”Ini tergolong penipuan publik. Selain ditutup, kasus ini juga kami ajukan ke kepolisian,” ujar Henri.
Adapun contoh PTS yang 'menghilang' ialah Sekolah Ilmu Manajemen IMNI.
Di pangkalan data kementerian, lembaga ini berstatus dalam pembinaan. Ketika Kompas mendatangi alamatnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ternyata gedungnya sudah dijual.
Demikian pula dengan kampus cabangnya di Gondangdia, Jakarta Pusat.
Gedungnya sudah dibongkar, berganti menjadi perkantoran.
Hal senada juga disampaikan Direktur Pembinaan Kelembagaan Kemristek dan Dikti Totok Prasetyo.
Ia menuturkan, ada tiga alasan utama penutupan PTS itu.
Semuanya berkait dengan standar nasional pendidikan tinggi, yang meniscayakan penjaminan mutu di segala aspek, termasuk kelembagaan, dosen, dan tridarma perguruan tinggi.

Direkomendasikan ditutup


Ketua Kopertis Wilayah III (DKI Jakarta) Illah Sailah menyatakan, IMNI sudah dinonaktifkan sejak 2015 karena tak memenuhi standar nasional pendidikan tinggi, termasuk kecukupan dosen.
Setelah lebih dari satu tahun IMNI tak juga menunjukkan tanda-tanda pembenahan akhirnya direkomendasikan untuk ditutup.
Sekolah Tinggi Manajemen Industri Indonesia (STMI) Jakarta juga berganti nama menjadi Politeknik STMI Jakarta.
Gedung yang berlokasi di kawasan Cempaka Putih itu tampak diwarnai kegiatan perkuliahan. Namun, kalangan mahasiswa risau terkait legalitas ijazah.
”Beberapa kakak kelas mengeluh karena batal mendaftar CPNS lantaran ijazah tidak diakui negara,” kata seorang mahasiswi.
Pembantu Direktur I Politeknik STMI Jakarta Ridzky Kramanandita menyatakan tidak tahu-menahu pencabutan izin operasional itu.
Nasib 6.400 eks mahasiswa Universitas PGRI NTT Kupang juga tidak jelas. Mereka menolak masuk PT yang diaktifkan Kemristek dan Dikti.
Para mahasiswa ini ingin melanjutkan kuliah, tetapi tidak mau memulai kegiatan dari semester awal.
Kepala Biro Bina Sosial Sekretariat Daerah Nusa Tenggara Timur Barthol Badar mengatakan, kisruh di Universitas PGRI bermula tahun 2013 dengan hadirnya dua manajemen yang berbeda.
Hal ini berlangsung hingga Juni 2017.
Adapun gedung Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Yappann di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, sudah tidak ada kegiatan.
Setali tiga uang, gedung kuliah Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Pusaka Nusantara pun beralih fungsi. Kini menjadi gedung SMA Pusaka.
”Saat STISIP masih aktif, kegiatan kuliah di gedung ini pada malam hari,” ucap Wawan, alumnus STISIP Pusaka Nusantara.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, kevakuman juga melanda PTS yang telah ditutup.
Salah satunya Akademi Keuangan dan Perbankan YIPK di Jalan Lowanu, Kota Yogyakarta.
Kemarin, di lokasi itu tak tampak tanda-tanda layaknya sebuah kampus. Di lahan tersebut kini berdiri kompleks ruko dan perumahan.
Kondisi serupa dijumpai di Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia (ASMI) Bantul, Jalan Ring Road Selatan, Krapyak, DIY.
Koordinator Kopertis Wilayah V Yogyakarta Bambang Supriyadi mengemukakan, sejumlah PTS yang ditutup tersebut memang sudah lama tidak menjalankan aktivitas apa pun.
Sementara itu, di Sumatera Utara, 18 PTS terancam ditutup akhir tahun ini.
Mereka sudah diberi kesempatan setahun terakhir untuk memenuhi syarat-syarat mendasar, yakni lahan dan gedung kampus, kecukupan dosen, mahasiswa, dan struktur organisasi.
”Namun, hingga kini belum ada perbaikan,” kata Koordinator Kopertis Wilayah I Sumut Dian Armanto.
Ketua Umum Pengurus Pusat Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Thomas Suyanto mengatakan, penyelenggara PTS harus berkomitmen pada mutu.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir mengatakan, pendidikan tinggi bermutu tidak bisa instan, tetapi mengutamakan proses.
Perlindungan kepada masyarakat untuk mendapatkan layanan pendidikan tinggi bermutu salah satunya dengan menyediakan pangkalan data pendidikan tinggi yang dapat diakses di laman forlap.ristekdikti.go.id.
”Jika ada yang tidak wajar dari proses belajar seseorang hingga mendapatkan gelar sarjana bisa dilacak. Kecurangan dalam pendidikan harus kita perangi bersama,” kata Nasir. SUMBER: Kompas Cetak
Kampus yang Ditutup di Sumatera Utara
Sedangkan di Sumatara Utara, Kampus yang resmi ditutup di antaranya; Akademi Teknologi Lorena Medan, Univeristas Preston Indonesia Medan.
Sebelumnya, dalam liputan eksklusif Tribun-Medan.com, edisi Rabu, 27 September 2017, Direktorat Jendral Kelembagaan Iptek dan Dikti memberikan sanksi kepada tiga kampus di Sumatera utara.
Ketiga kampus itu adalah Sekolah Tinggi Kesehatan Sumatera Utara (STIKes Sumut), Univeristas Al Wasliyah Medan (Univa Medan) dan Universitas Al Wasliyah Labuhanbatu. Ketiganya mendapat sanksi sejak Agustus 2017.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kopertis Wilayah I Medan, Sumut, STIKes Sumut diberikan sanksi administratif.
Sanksi Administratif ini diberlakukan, karena Stikes Sumut melakukan relokasi kampus dari Kabanjahe ke Kota Medan tanpa Izin Menteri, Perubahan Nama Perguruan Tinggi yang awalnya Akper Takasima berubah menjadi Stikes Sumut Tanpa Izin Menteri dan Perubahan Nama Yayasan Tanpa izin Menteri.
Sanksi yang diberikan kepada STIKes Sumut atas pelanggaran ini cukup berat, yaitu perkuliahan di STIKes Sumut diminta dihentikan, dilarang menerima mahasiswa baru, dilarang melakukan wisuda mahasiswa, serta diminta memindahkan mahasiswa yang ada ke kampus yang tidak bermasalah, bahkan dalam sanksinya, Direktorat Jendral Kelembagaan Iptek dan Dikti akan mencabut seluruh Ijazah yang pernah dikaluarkan oleh Kampus ini.
"Sanksinya cukup berat jika permasalahan mereka tidak diselesaikan selama enam bulan kedepan setelah suratnya dikeluarkan. Perihal sanksi ini masih ditutup-tutupi oleh pihak kampus. Masih rahasia sanksinya ini, takut ketahuan sama mahasiswanya. Sengaja mereka ini menutupinya, supaya mereka masih menerima mahasiswa baru, padahal tidak boleh," ujar Sumber Tribun, Rabu (13/9/2017), seraya menunjukkan surat sanksi tersebut.
Sedangkan Univeristas Al Wasliyah Medan (Univa Medan) dan Universitas Al Wasliyah Labuhanbatu tidak diperbolehkan menerima mahasiswa baru dan melakukan wisuda kepada mahasiwanya sejak diberikan sanksi pada Agustus lalu.
Kedua kampus ini disanksi Direktorat Jendral Kelembagaan Iptek dan Dikti karena terjadi pertikaian di dalam kampus, yang mengakibatkan adanya dualisme pimpinan di kampus milik Aljam'iyatul Washliyah tersebut.
"Univa Labuhanbatu dan Univa Medan mendapat sanksi dari Direktorat Jendral Kelembagaan Iptek dan Dikti karena terjadi dualisme Rektor. Kampus ini dilarang menerima mahasiswa maupun mewisuda mahasiswa," ujar Koordinator Kopertis Wilayah I Medan, Sumut, Prof.Dr. Dian Armanto, M.Pd., M.A., M.Sc.
Meskipun ada sanksi tidak dapat menerima mahasiswa baru, namun Universitas Al Wasliyah masih memampangkan informasi penerimaan mahasiswa baru di website univa-medan.ac.id.
Dalam website tersebut pendaftaran dilakukan tiga gelombang, yaitu 2 Mei-29 Juli, 1 Agustus-19 Agustus, dan 22 Agustus-9 September.

Ketiga Kampus sedang Melobi Kemenristek dan Dikti
Pihak STIKes Sumut saat ini juga diketahui tengah melakukan lobi-lobi ke Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi supaya terbebas dari sanksi tersebut.
Pihak kampus juga saat ini tengah merepotkan Kopertis Wilayah I Medan, Sumut.
Namun menurut sumber Tribun, hal tersebut adalah hal yang sia-sia, karena pelanggaran ini cukup serius dan sudah sejak lama diingatkan kopertis untuk diperbaiki namun tidak digubris STIKes Sumut.
Bagaimana reaksi mahasiswa dari ketiga perguruan tinggi itu setelah mengetahui adanya sanksi berat menghantam kampusnya?
Mereka terkejut, bingung, marah, dan bahkan ada yang menangis.
Kalau begini nanti bagaimanalah nasib kami? Kemanalah kami nanti kuliah lagi?" ujar mahasiswi STIKes Sumut, Wenita Venesia Barus.
Ia tertegun ketika mendengar adanya sanksi Direktorat Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti yang membuat STIKes Sumut terancam ditutup.
Ia merasa sudah begitu lama di bangku kuliah. Andai kampus keduanya ini ditutup, maka dia akan semakin lama lagi untuk mendapat gelar sarjana yang sangat diinginkan kedua orangtuanya.
Wenita menceritakan sudah berkorban waktu, berkorban biaya, pikiran, dan tenaga demi meraih gelar sarjana.
Namun semua itu nyaris sirna, karena sanksi Direktorat Jendral Kelembagaan Iptek dan Dikti kepada STIKes Sumut.
"Bayangkan, saya harus pulang pergi Kabanjahe-Medan, minimal 20 ribu saya habiskan sehari selama dua tahun lebih," ucapnya.
Ia menambahkan, untuk uang kuliah sudah habiskan 2,5 juta per semestar, dan ini sudah semester lima.
"Sudah banyak sekali uangku habis," ujarnya dengan terisak-isak.
Wenita berusaha ditenangkan oleh teman-temannya yang duduk disebelahnya.
Kemudian isak tangis Wenita pun kembali berkurang, pun begitu kesedihan Wenita masih terlihat jelas di wajahnya.
Selanjutnya, Wenita pun menyampaikan harapannya, kiranya pihak kampus mengambil tindakan yang serius.
"Saya berharap jangan sampai kampus ini mendapat sanksi begitu. Sudah cukup susah kami kuliah di sini. Jangan nanti kami tambah susah lagi gara-gara ini. Tolong dipikirkan nasib kami ke depan seperti apa," ujarnya.
Wenita menghela napas dan melihat langit-langit ruangan perkuliahnnya.
Beberapa saat kemudian, kedua tangannya dia gerakkan menutup wajahnya.
Saat dia menurunkan tanganya, matanya terlihat berkaca-kaca dan tak lama air matanya menetes.
Setelah berkali-kali mengusap air mata, ia pun menghela nafasnya berulang dan barulah mulai berusaha berbicara.
Bibirnya gemetar dan mulai terdengar suara kecil.
Ia mengungkapakan betapa sedih mendengar informasi tersebut.
Dalam keadaaan tersedu-sedu, wanita berambut ikal ini masih berusaha memastikan kebanaran informasi yang disampaikan Tribun Medan.
Teman Wenita yang turut berbincang, berusaha menenangkan Wenita dengan mengusap lengan.
Wenita mengutarakan, dia sangat terpukul mendengar adanya sanksi tersebut, apalagi STIKes Sumut adalah kampus keduanya, di mana di kampus pertamanya dia tidak menyelesaikan perkuliahannya.
Saat disampaikan, jika pihak Kopertis akan memindahkan mereka ke kampus lain, jika kampus ditutup permanen?
Wenita menuturkan, untuk pindah tentu tetap akan menghabiskan banyak uang, dan hal ini adalah hal yang sangat sulit mereka cari.
"Kalaupun kami dipindahkan, pasti butuh banyak uang untuk proses itu. Uang dari mana lagi kami bisa cari. Untuk kuliah yang sekarang saja sangat susah orangtua mencarinya," ujarnya.
Miranti, teman Wenita, yang terlihat lebih ceria di antara teman lainnya merasa terpukul atas realitas yang ada.
Namun dia berusaha tegar, supaya bisa berpikir lebih jernih mencari solusi, andai nantinya STIKes Sumut sudah ditutup.
"Meski saya ini bisa senyum, saya sedih mendengar masalah ini. Selama ini saya tidak pernah dengar begini. Kok bisa lah dulu awak (aku) masuk kampus ini, kalau begini keadaanya," ujar Miranti.
Apalagi orang tuanya yang tinggal di Riau bukanlah orang yang memiliki banyak uang. Sudah begitu, orangtuanya juga harus menguliahkan adik-adiknya yang lain.
Teman Wenita lainnya, Lusi awalnya terlihat girang saat baru bergabung ke tempat teman-temannya.
Ia langsung lemas ketika mendengar kabar itu dan mengingat kedua orangtuanya yang harus banting tulang untuk menguliahkan dia.
Menurutnya, beban yang sangat berat dia tanggung jika orangtuanya tahu permasalahan kampusnya tersebut.
"Saya susah mau ngomong apa. Sesak dada ini mendengarnya. Kek manalah kami ini. Bagaimana nasib kami. Kek mana menyampaikan ini sama orangtua nanti,"ujaranya.
Ia pun mengaku enggak sanggup mau cerita hal ini sama orangtuanya.
"Apalah nanti dibilang orangtuaku, kalau ceritain ini," ucapnya. (*)