Berita Eksklusif
Berikut Faktanya Beras Impor Bulog Dibuat Jadi Pakan Ternak karena Masyarakat Lebih Suka Beras Lokal
Sebanyak 20 ribu ton beras asal India dan Thailand telah didatangkan Perum Bulog Sumatera Utara melalui Pelabuhan Belawan.
TRIBUN-MEDAN.COM - Awal tahun 2018 Pemerintah mengimpor 500.000 ton beras.
Sebanyak 20 ribu ton beras asal India dan Thailand telah didatangkan Perum Bulog Sumatera Utara melalui Pelabuhan Belawan.
Entah untuk apa beras asing? Padahal masyarakat lebih suka makan nasi hasil produksi petani lokal.
Berikut fakta yang diungkap soal pemanfaatan beras impor:
1. Harganya lebih murah dan kualitasnya rendah
Sebagian warga memang senang membeli beras murah, namun bukan disantap bersama keluarga tercinta, melainkan jadi pakan hewan‑ternak.
Alhasil, beras impor yang disalurkan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Divre Sumatera Utara selain dikonsumsi masyarakat kalangan bawah, ternyata dijadikan sebagai makanan hewan.
Misalnya untuk makanan hewan piaraan seperti anjing, dan ternak babi. Ada juga yang menggunakannya untuk kebutuhan pakan ternak bebek.
Bukala, seorang peternak babi dan anjing di Kota Medan, mengatakan, setiap hari membutuhkan 200 kilogram beras berkualitas rendah dari Bulog untuk pakan ternaknya.
Beras itu mereka campur pakai dedak, dan vitamin penggemuk.
"Dalam sehari kami butuh 200 kilogram beras Bulog untuk 80 ekor babi," ujar Bukala saat berbincang bersama Harian Tribun Medan/Tribun‑Medan.com, Rabu (14/3/2018).
Ia beternak di kawasan Sukodono, perbatasan Sunggal, Kota Medan dengan Kabupaten Deliserdang.
Warga Kota Medan, Boru Harianja, ketika membeli beras di Pasar Sukaramai, Medan, mengatakan ia memilih memberi makanan hewan piaraan anjing miliknya beras Bulog.
Alasannya, karena harganya lebih terjangkau, Rp 9.500 per kilogram.
"Kalau untuk makanan hewan (anjing) ini buat apa yang mahal‑mahal. Yang murah aja. Enak kali nanti dia. Kasihkan lah beras Bulog ini," kata Boru Harianja sembari meminta 3 kilogram beras bulog kepada penjual, pekan lalu.
2. Perum Bulog klaim beras yang mereka impor tak terlalu jelek
Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) adalah lembaga yang mengurusi kegiatan bisnis dan tata niaga komoditas pangan seperti beras, gula pasir, daging, kedelai dan ikan, minyak goreng, terigu, air mineral, dan lainnya.
Kepala Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik, (Bulog) Sumut, Benhur Ngkaimi tidak tahu beras dari gudang Bulog dijadikan pakan ternak. Ia menganggap beras dari Bulog enggak terlalu jelek.
"Saya tidak tahu ya, kalau ada beras Bulog dijadikan pakan ternak. Beras Bulog yang mana dulu? Tapi masih katanya warga dapatnya dari Bulog?" ujarnya saat berbincang dengan Harian Tribun Medan/ Tribun-Medan.com di Gudang Bulog Jalan Jemadi, Medan, pekan lalu.
Ia menyatakan, selama ini Bulog rutin melakukan operasi pasar kepada pedagang.
Bila beras yang beli pedagang dalam keadaan jelek, pasti dikembalikan. Karena itu, dia menyangkal informasi yang disampaikan wartawan.
Selain itu, kata dia, tidak gampang untuk mengubah persepsi di masyarakat yang kadung menilai beras Bulog jelek. Oleh sebab itu, ia akan memperbaiki kualitas beras yang keluar dari gudang.
Lalu, dia memperlihatkan beras impor asal Thailand yang dianggap berkualitas.
"Buktinya, ini beras saya bagus ini. Tidak mungkin diberikan makan ternak. Pasti ribut kembali ke sini. Tak mungkin dijual ke ternak, rugi mereka. Enggak mungkin itu," kata Benhur, sambil memperlihatkan butiran beras impor asal Thailand.
3. Warga akui beras impor berkualitas rendah wajib ayak
Saban hari, kata Bukala, langganan penjual beras, rutin mengantar beras ke rumahnya.
Beras tersebut kualitas buruk. Sedemikian buruknya, walaupun untuk pakan ternak, mutu beras Bulog tidak dapat langsung dimasak untuk ternak, melainkan harus terlebih dahulu diayak atau disaring.
"Diayak biar bersih. Ada kadang batu kerikil dan debu, jadi diayak dulu," kata Bukala, peternak babi.
Setelah itu, nasi yang sudah dimasak dicampur dengan obat pembesar babi, adapula yang dicampur dedak.
Kemudian, diberikan kepada puluhan hewan ternak babi peliharaannya.
Bahkan, ia juga memberikan makanan itu untuk anjing, piaraan di rumah.
Pada umumnya, peternak membayar orang untuk mencari sisa makanan alias nasi basi di restoran maupun hotel.
Namun Bukala menyatakan, tidak semua peternak babi memakai nasi basi maupun sisa makanan, sehingga harus menggunakan beras dari Bulog.
4. Selain beras Bulog warga membayar sisa makanan dari rumah makan
"Biasanya orang‑orang yang pakai sisa makanan itu bayar, bisa bayar setiap bulan. Adapula yang bayar tahunan. Jadi, peternak menunggu orang‑orang mencari pakan ternak itu setor makanan. Kami berbeda, tidak bayar orang untuk mencari sisa makanan," katanya.
Seusai wawancara dengan Bukala, Tribun‑Medan/Tribun‑Medan.com melakukan penelusuran ke kawasan Sukadono. Masuk menuju perkampungan yang disebut‑sebut bekas tanah garapan, Gramenia Ujung.
Di perkampungan itu, hampir semua rumah memelihara ternak babi maupun anjing sehingga bau tak sedap menusuk hidung.
Selain itu, jalan menuju lokasi juga hancur, tanpa beraspal. Karena itu, enggak gampang saat melintas.
Deretan pakan ternak babi seperti dedak maupun beras berkualitas rendah terlihat di pelataran rumah.
Terkadang, warga berseliweran keluar-masuk rumah mengambil beras Bulog dianggap tak layak konsumsi manusia.
Setiba di lokasi, Tribun Medan bertemu seorang perempuan bermarga Nduru.
Ia bersama beberapa pemuda melarang Tribun Medan untuk mengambil foto maupun video. Bahkan, saat memasuki lokasi beberapa pemuda mengikuti, mengawasi dari belakang.
5. Bungkusannya ada cap Bulog
Untuk pemasokan pakan ternak, warga menerapkan sistem tertata, hampir seluruh rumah yang ternak babi punya langganan distributor makanan.
Dalam sehari distributor mengantar pakan seperti beras murah maupun dedak ke kampung.
"Di sini ada langganan yang mengantar pakan ternak, biasanya pakai pikap ataupun becak. Ada yang pesan 100 kilogram ataupun 50 kilogram. Bahkan, ada yang lebih dari situ. Pakannya kami beli paling mahal Rp 5 ribu," katanya.
Ia menerangkan, beras yang dipakai umumnya yang sudah lama berada di gudang alias tidak laku ataupun tidak lagi enak di makan.
Distributor menjual kepada masyarakat umum yang memerlukan. Namun, dia tak berani secara gamblang sebut beras Bulog.
"Nanti kalau saya bilang beras Bulog bermasalah pula, memang ada bungkusnya Bulog namun kadang bungkusnya beras umum. Pokoknya beras tak bagus lagi. Sebenarnya berat kali pakai beras ataupun dedak karena untungnya sedikit," ujarnya.
Dia menyebutkan, sudah lama para peternak menggunakan beras diduga berasal dari Bulog untuk pakan ternak karena lebih mudah. Tapi, ia beralasan lupa tahun pastinya. Pada umumnya orang yang tinggal di lahan garapan itu keluarga pra sejahtera.
"Kami di sini prasejahtera semua, tidak semua ini punya kami. Ada orang yang nitip ternaknya di sini jadi warga sekadar menjaga. Apalagi, di sini umumnya tidak membayar orang untuk mencari sisa makanan kecuali di kawasan Helvetia," ungkapnya. (Tribun-medan.com/ase/tio)