Kisah Sukses Pejuang Tanah Adat: Kami Sudah Berjanji Lebih Baik Mati Daripada Mati-mati
Perda disahkan DPRD dan Pemka Humbas dalam Rapat Paripurna DPRD Humbang Hasundutan, 3 Juli 2018 lalu.
TRIBUN-MEDAN.COM - Sejumlah elemen masyarakat sipil mengadakan diskusi mengevaluasi dan memetik pelajaran dari terbitnya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut, di Restoran Kenanga kota Medan, Selasa (24/7/2018).
Perda disahkan DPRD dan Pemka Humbas dalam Rapat Paripurna DPRD Humbang Hasundutan, 3 Juli 2018 lalu.
Dalam diskusi tersebut turut hadir James Sinambela selaku Ketua Komunitas Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta.
James memaparkan bagaimana perjuangan panjang komunitas sejak tahun 2009. Dari berbagai upaya itu, dirinya bahkan pernah ditangkap polisi karena mempertahankan tanah adatnya.
"Dalam perjuangan ini kami sudah berjanji, lebih baik mati daripada mati-mati. Artinya apa pun ceritanya tanah adat kami harus kembali. Bahkan kami pernah dipenjara karena mempertanahkan tanah adat kami. Kami hanya ingin tanah adat kami kembali. Kami tidak mau kurang dari situ, kami juga tidak mau lebih bahkan satu jengkal pun. Kami hanya mau hak kami kembali," ujar James.
Perjuangan sukses James memang layak mendapat apresiasi. Setelah beberapa warga berurusan dengan polisi, masuk penjara atas sengketa dengan PT Toba Pulp Lestari, warga akhirnya mendapat haknya dari pemerintah.
Presiden Joko Widodo telah menyerahkan Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat kepada 9 Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang tersebar di sejumlah daerah di tanah air. Penyerahan dilakukan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12/2016) pagi.
Dari sembilan wilayah yang diserahkan itu, antara lain Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta seluas 5.172 hektar di Kabupaten Humbang Hasudutan, Provinsi Sumatera Utara.
Elemen masyarakat sipil yang mengadakan diskusi kemarin meliputi Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Hutan Rakyat Institut (HaRI) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak.

Elemen masyarakat Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta, KSPPM, BAKUMSU, HaRI dan, Aman Tano Batak bersama dengan sejumlah pejabat Pemkab Kabupaten Humbang Hasundutan menggelar pertemuan di Restoran Kenanga, Kota Medan, Sumatera Utara, Selasa (24/7/2018).| Tribun-Medan.com/HO
Turut hadir pula pejabat eksekutif dan anggota legislatif Kabupaten Humbang Hasundutan.
Peserta diskusi mengatakan patur mensyukuri terbitnya Perda yang menguntungkan masyarakat.
"Perda tersebut layak diapresiasi dan disyukuri. Setelah berjuang sejak Juni 2009, masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta akhirnya berhasil mendapatkan pengakuan resmi pemerintah atas hak-hak adatnya," ujar Dirtektur Program KSPPM Delima Silalahi saat diskusi.
Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat menjadi Perda pertama di Kawasan Danau Toba, prosesnya melalui mekanisme yang sangat partisipatif. Perda ini terbit, setelah langkah awal setelah dikeluarkan dari konsesi PT TPL oleh Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ke depan, kata Delima, setelah adanya Perda ini akan segera menindaklanjuti terbitnya Surat Keputusan Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Namun agar Perda ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, beberapa hal berikut ini patut diperhatikan dan dilakukan dalam waktu dekat," ujar Sekretaris Eksekutif Bakumsu, Manambus Pasaribu menimpali.
Pertama, sangat penting mempercepat proses dieluarkannya nomor registrasi Perda tersebut agar peristiwa bersejarah ini bisa segera melangkah ketahap selanjutnya, yakni dikeluarkannya SK Hutan Adat oleh Menteri terhadap lahan seluas 5.172 hektar yang dipetakan masyarakat secara partisipatif.
Kedua, Perda ini menghendaki pemerintah bersikap lebih tegas terhadap PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan semua pihak terkait yang melanggar peraturan tersebut.
Pemerintah dalam hal ini harus dapat memastikan agar PT TPL tidak lagi melakukan operasi di wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta. Pemerintah juga wajib mengambil tindakan yang seharusnya dan sesuai aturan hukum jika perusahan ini tetap melakukan operasi di wilayah yang bukan menjadi haknya.
Ketiga, Perda ini menghendaki PT TPL dan semua pihak terkait untuk menghormati keputusan pemerintah dan juga perjuangan masyarakat adat.
PT TPL dan semua pihak terkait wajib mematuhi peraturan ini dan menerima semua konsekwensi legal atas semua tindakan yang bertentangan dengan hal-hal yang sudah diatur dan disahkan dalam Perda tersebut.
Perjuangan Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta adalah peristiwa bersejarah bagi Masyarakat Toba kontemporer.
Dikeluarkannya Perda ini diharapkan akan menjadi menjadi tonggak bagi munculnya perjuangan-perjuangan masyarakat adat di Kawasan Danau Toba berikutnya, untuk mempertahankan haknya atas tanah dan sumber daya alam, sehingga secara berdaulat mampu mengelola untuk kesejahteraan masyarakat adat itu sendiri dan kemakmuran bangsa pada umumnya.
12 Komunitas Masyarakat Adat
Elemen masyarakat dari Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat di Sumatera Utara (Bakumsu), Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM) Parapat, dan Hutan Rakyat Institut (HaRI) berdikusi di ruang redaksi Harian Tribun Medan/Tribun-Medan.com, Kamis (26/4/2018).
Kedatangan mereka untuk berdiskusi bagaimana membantu (advokasi) masyarakat adat yang terpinggirkan di Sumatera Utara.
Dalam hal in setidaknya terdapat 12 kelompok masyarakat adat yang tanah wilayahnya telah dikuasai secara turun-temurun namun jatuh ke tangan negara.
Berikut Ini 12 Lahan Masyarakat Adat di Sumatera Utara yang diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar wilayah adatnya dibebaskan dari hutan negara:
1). Tombak Haminjon Pandumaan-Sipituhuta, Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta,Subjek Hukum Bius Marbun Lumban Gaol dan Lumban Batu, Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Tapanuli Utara luas wilayah adat 5.172 ha jumlah 700 KK.
2). Sitakkubak, Nama Masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora, Subjek Hukum Marga Simamora keturunan Ama Raja Medang, Desa Aek Lung, Kecamatan Dolok-Sanggul-Humbang Hasundutan, luas wilayah adat 153 ha jumlah warga 35 KK.
3). Huta Aek Nafa, Nama Masyarakat Adat Keturunan Op. Bolus Simanjuntak dan Op. Ronggur Simanjunak, sunjek hukum Simanjuntak Keturunan OP. Bolus Simanjuntak dan Oppu Ronggur Simanjuntak, Desa Sabungan Ni Huta IV, Kecamatan Sipahutar- Tapanuli Utara, luas wilayah adat 2604 ha, jumlah penduduk 240 KK.
4). Nagahulambu, Nama Masyarakat Adat Keturunan Tuan Nagahulmbu, Subjek Hukum Marga Sinaga Keturunan Tuan Nagahulambu, Dusun Nagahulambu, Desa Pondok Bulu, Kecamatan Dolok Panribuan Kabupaten Simalungun, luas wilayah adat 399 hektar, jumlah penduduk 44 KK.
5). Matio, Nama Masyarakat Adat Matio, Sunjek Hukum Siagian, Desa Parsoburan Barat, Kec. Habinsaran, luas wilayah adat 1434,32 ha jumlah penduduk 160 KK.
6). Nagasaribu Siharbangan, Nama Masyarakat Adat Masyarakat Adat Masyarakat Adat onan Harbangan, Subjek Hukum simanjuntak, Desa Pohan Jae, Kecamatan Siborongborong, Tapanuli Utara luas wilayah adat 1.085 hektar jumlah penduduk 76 KK.
7). Pargamanan-Parlilitan, Nama Masyarakat Adat Masyarakat Adat Bintang Maria-Pargamanan, Subjek Hukum Sitanggang dan Simbolon, Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan Kabupaten Humbang Hasundutan, luas wilayah adat, 1.782 hektar, jumlah penduduk 110 KK.
8). Sionom Hudon Timur, Nama Masyarakat Adat Masyarakat Adat Sionom Hudon Timur Subjek Hukum Tinambunan, Des Sion Timur 2, Kecamatan Parlilitan Humbang Hasundutan luas wilayah adat 3.200 hektar, jumlah penduduk 120 KK (Masih dalam proses Pemetaan).
9). Sionom Hudon Utara, Nama Masyarakat Adat Masyarakat Adat Sinom Hudon Utara, Subjek Hukum Tinambunan, Desa Sion utara, Kecamatan Parlilitan Humbang Hasundutan, luas wilayah hukum 4.200 hektar, jumlah penduduk 120 KK (Masih prosses pemetaan).
10). Tungkot Ni Solu, Nama Masyarakat Adat Msyarakat Adat Tungkot, Subjek Hukum Rajagukguk, Desa Parsoburan Barat, Kec. Habinsaran, Kab. Tobasa, luas wilayah hukum 785 Ha, jumlah penduduk 102 KK.
11). Parlombuan, Nama Masyarakat Adat Op. Pagar Batu/Op. Diharbangan Pardede, Raja Pangumban Bosi Simanjuntak, Subjek Hukum Pardede, SImanjuntak, luas wilayah adat 1.145 ha, jumlah penduduk 125 kk (ada konflik antar kelompok).
12). Sihaporas, Nama Masyarakat Adat Lamtoras (Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas), Subjek Hukum Ambarita, Nagori/Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabuaten Simalungun, luas wilayah adat 1.948 hektar, jumlah penduduk 200 KK (masih proses pemetaan). (*)
BACA JUGA:
Bantuan Bank Dunia Rp 2,9 Triliun: Menguntungkan atau Malah Malapetaka Rakyat Kecil Pemilik Lahan?
Berikut 12 Lahan Masyarakat Adat di Sumut yang Diajukan ke Kementerian LHK, Terungkap Ada Mafia!
Harapan Tetua Adat Setelah Presiden Jokowi Surati DPR Agar Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/masyarakat-adat_20180725_171836.jpg)