Semua Masyarakat Dipaksa Masuk BPJS tapi Kok Tega Mempersulit, Tak Ada Sensitivitas Kemanusiaan
Kecewa atas rencana kebijakan BPJS tidak lagi menanggung pengobatan atau mengurangi jadwal terapi.
Pasalnya, dokter spesialis rehabilitasi medik teramat minim.
Meskipun demikian, kebijakan baru dari Direktur BPJS Kesehatan semakin memberatkan karena adanya pembatasan pasien yang melakukan rehabilitasi medik.
Dahulu dalam sepekan pasien tiga kali terapi tapi kini hanya dua kali.
"Rumah sakit milik pemerintah maupun swasta banyak juga yang tidak punya dokter spesialis rehabilitasi medik terkhusus di daerah. Sehingga distop sama sekali. Misalnya rumah sakit di Nias atau berbagai kabupaten/kota lainnya," katanya.
Pasien Menurun
Kepala Instalansi Rehabilitasi Medik, RSU Pirngadi Medan, dr Natalia Tianusa mengatakan, dalam sehari instalansi rehabilitasi medik melayani 40 sampai 60 pasien.
Jumlah itu berkurang dibanding beberapa tahun lalu yang mencapai 70 sampai 80 orang.
"Pasien terbesar adalah stroke. Kemudian berkurangnya jumlah pasien beberapa rumah sakit swasta telah melayani rehabilitasi medik," ujarnya.
Ia berpendapat berkurangnya jumlah kunjungan pasien rahabilitasi medik disebabkan adanya peraturan yang telah membatasi jumlah kunjungan terapi.
Dahulu dalam sepekan pasien bisa tiga kali terapi namun sekarang hanya dua kali dalam seminggu.
Kemudian, adanya peraturan dari pusat yang menegaskan satu instalansi medik di bawah dokter spesialis yang bertanggungjawab.
Oleh sebab itu, bila bekerja disatu institusi harus mengikuti peraturan yang telah diberlakukan.
Walaupun begitu, harus diakui dokter spesialis rehabilitasi medik masih sedikit di Sumut.
Selama ini tenaga dokter spesialis rehabilitasi medik masih tersebar merata di Pulau Jawa. Sedangkan, di Sumatera masih terbatas.
"Momentum ini untuk pemetaan kembali jumlah dokter spesialis rehabilitasi medik sesuai rumah sakit yang membutuhkan," katanya.
Instalansi Rehabilitasi Medik RSU Pirngadi juga memiliki pelayanan tumbuh kembang anak.
Jadi anak-anak kebutuhan khusus perlu penanganan yang komprehensif.
Gangguan yang dialami anak bervariasi seperti gangguan bicara.
"Dan terkadang ada gangguan merancang atau pengerjaan satu aktivitas yang dibutuhkan itu okupasi terapi. Sehingga, membantu satu aktivitas pekerjaaan. Seperti melatih makan yang butuh satu gerakan dan tidak ada di fisioterapi. Sehingga rahabilitasi medik kerja tim," ujarnya.
Selanjutnya, perlu juga psikolog untuk membantu motivasi dari keluarga maupun orangtua agar memahami gangguan perkembangan anak tak mudah.
Jadi butuh kerja sama antara tim di rumah sakit dengan tim keluarga di rumah.
Ia menjelaskan, terapi untuk anak berkebutuhan khusus di rumah sakit hanya butuh waktu satu jam. Sedangkan, 23 jam lagi dihabiskan di rumah bersama keluarga. Oleh sebab itu, proses tumbuh kembang anak terus dievaluasi.
Bila seorang anak mengalami gangguan ringan dengan tingkat kecerdasan anak yang cukup bagus terapi tak butuh waktu lama.
Tapi semua dilakukan penilaian ketika pra sekolah.
Jika memungkinkan masuk ke pra sekolah dan pihak sekolah menerima. Lalu pelan-pelan bisa masuk untuk lingkungan.
"Apalagi anak-anak berkebutuhan khusus dipersiapkan hidup normal di lingkungan masyarakat. Tapi adapula sampai 9 atau 10 tahun pulihnya jadi tergantung kecerdasan anak. Kalau kita anggap sudah maksimal dan keluarga telah disiapkan untuk memberikan edukasi selanjutnya apa yang ingin dicapai? Ya misalnya tiga bulan sekali harus dievaluasi perkembangan di rumahnya," ungkapnya.
Wakil Direktur I Rumah Sakit Umum, Djasamen Saragih Siantar, dr Harlen Saragih mengaku banyak pengunjung yang terkejut dengan pemberlakuan aturan baru BPJS Kesehatan.
Ia merasa kasihan karena tidak sedikit pasien mengeluhkan kebijakan baru tersebut.
"Kita prinsipnya sebagai rumah sakit tetap melayani. Meskipun tidak lagi ditanggung BPJS," ujarnya, Senin (13/8).
Harlen mencontohkan seperti pasien yang melahirkan. Seluruh pasien BPJS yang biasanya dirujuk, kini sudah tidak lagi. Begitu juga dengan pasien fisioterapi. "Kalau yang bersalin ini biasanya rujukan dari Puskesmas, rumah sakit tipe C lalu ke kami. Nah, karena sudah tidak BPJS lagi, tidak dirujuk ke mari lagilah,"ujarnya.
Ia juga menyinggung soal defisit anggaran yang terjadi di keuangan BPJS. Menurutnya, perlu ada perubahan peraturan.
Misalnya, keluarga yang menghasilkan Rp 5 juta ke atas harus tetap menggunakan premi kelas dua.
"Ini kan subsidi silang. Kok orang kaya bayar premi kelas tiga,"tambahnya.
(tio/tom/tribun-medan.com)