Alamak
Bocah 5 Tahun Ini Dapat Kompensasi Rp 462 Miliar karena Alat Kelaminnya Terpotong saat Disunat
Seorang bocah lima tahun menerima kompensasi sebesar Rp 462,2 miliar karena salah sunat.
Dalam keterangan di persidangan, Pope menuturkan DJ bisa kesulitan memiliki pasangan, dan harus menanggung malu karena penisnya yang terpotong.
TRIBUN-MEDAN.COM - Kisah ini bisa sebagai pelajaran buat kita.
Seorang bocah lima tahun di Georgia, Amerika Serikat (AS), menerima kompensasi sebesar 31 juta dollar AS, sekitar Rp 462,2 miliar.
Dilaporkan Daily Mirror Selasa (25/9/2018), kompensasi diberikan setelah penis bocah itu terpotong ketika menjalani prosedur sunat.
Bocah yang hanya dikenal dengan inisial DJ itu berusia 18 hari ketika dibawa ke Life Cycle Pediatrics di Riverdale pada 2013 lalu.
Bidan yang bertugas, Melissa Jones, tak sengaja memotong sebagian penis DJ setelah pisau bedah yang dipegangnya selip.
Namun, alih-alih melakukan operasi darurat untuk menyambungkan penisnya, dokter Brian Register malah menyuruh DJ pulang dalam keadaan berdarah.
Keluarga DJ menggugat Jones dan Register ke pengadilan.
Mereka menyatakan keduanya sengaja menyimpan potongan penis bocah itu ke lemari pendingin.
Dalam keterangan yang dikumpulkan persidangan, ibu DJ, Stacie Willis, harus memasukkan sebuah alat ke penisnya tiga kali sehari agar salurannya tak menutup.
Willis bercerita putranya kesakitan setiap kali hendak pipis.
Dia dibawa ke dokter bedah di Minnesota dan Massachusetts untuk membantunya buang air kecil dengan lancar.
Dokter mengatakan, mereka bakal melaksanakan tes ketika DJ menginjak pubertas untuk melihat apakah dia masih butuh operasi lain.
Mereka juga berharap dia bisa punya anak di masa depan.
Neal Pope, pengacara DJ dan ibunya berujar, dia bakal mengusahakan adanya keadilan bagi mereka berdua.
Menurutnya, DJ terancam mengalami siksaan mental saat dewasa.
Dalam keterangan di persidangan, Pope menuturkan DJ bisa kesulitan memiliki pasangan, dan harus menanggung malu karena penisnya yang terpotong.
Dia menambahkan hingga saat ini, ibunya tak memberitahunya jika penisnya telah terpotong. Baik Register maupun Jones sama sekali tak melakukan operasi darurat.
Awalnya, Pope menginginkan DJ menerima kompensasi 100 juta dollar AS, atau Rp 1,4 triliun, karena penderitaan yang dialami bocah tersebut.
Kuasa hukum Register dan Jones, Terrell Benton, menyebut 1 juta dollar AS, Rp 14,9 miliar, sudah cukup untuk biaya pengobatan maupun kerugian non-material seperti rasa malu.
Pada akhirnya, hakim Pengadilan Clayton County menjatuhkan kompensasi 31 juta dollar AS pekan lalu (21/9/2018).
Namun, tak dilaporkan bagaimana cara Register dan Jones membayar.
Di Islandia Laki-laki Dilarang Disunat
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Parlemen di Islandia pada Februari lalu sedang merampungkan sebuah undang-undang terkait pelarangan praktik sunat.
Rancangan undang-undang di Islandia itu akan menjadi negara pertama di Eropa yang mengeluarkan larangan dengan ancaman pidana atas praktik itu.
Hal itu berarti, orang dewasa -ataupun orangtua yang membawa anaknya untuk dikhitan, akan diancam dengan hukuman penjara hingga enam tahun.
Rencana itu pun menjadi topik yang kontroversial, di mana kedua kubu -baik yang menentang atau pun mendukung memiliki argumentasi yang sama kuat.
Sejalan dengan ide itu, muncul pula banyak pertanyaan mengenai apa sebanarnya sirkumsisi, dampak, dan alasan orang melakukan tindakan itu.
Di Indonesia, khitan merupakan praktik yang lumrah pada setiap anak laki-laki.
Langkah tersebut dilakukan dengan memotong kulit yang menyelubungi bagian kepala penis.
Dalam beberapa kasus, sunat harus dilakukan atas pertimbangan kondisi kesehatan tertentu, misalnya saat bagian kelenjar di penis kerap meradang.
Kendati demikian, -seperti halnya di Indonesia, khitan umumnya dilakukan atas alasan kepercayaan.
Di Eropa, selain Islam, Agama Yahudi, dan juga Kristen mempraktikan sunat kepada anak laki-laki.
Praktik ini pun lazim di Amerika Serikat, dan beberapa wilayah di Asia dan Afrika.
Diperkirakan sepertiga laki-laki di dunia melakukan prosedur khitan semacam ini.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah mengeluarkan rekomendasi khitan pada pria, demi menghambat penyebaran virus HIV.
Rekomendasi ini terutama diserukan kepada wilayah-wilayah dengan tingkat infeksi HIV yang besar.
Selama ini, prosedur sirkumsisi dilakukan terhadap bayi atau pun anak kecil.
Bahkan dalam tradisi Agama Yahudi, sunat sudah harus dilakukan sebelum bayi berumur delapan hari.
Nah, kembali lagi ke Islandia. Jika sunat memang memiliki latar belakang alasan kesehatan, mengapa negara itu berniat melarang praktik tersebut?
Jawabannya adalah, parlemen setempat mengaku selama ini ditemukan praktik sunat tidak aman yang dilakukan bukan oleh tenaga medis.
Praktik itu menjadi amat berisiko, karena dilakukan bukan oleh ahli melainkan pemuka agama. Sehingga, muncul risiko infeksi, yang dalam kondisi tertentu bisa menimbulkan kematian.
Meski demikian, seperti dilansir laman Metro.co.uk, tak diungkapkan berapa besar kasus kematian yang terjadi di negara itu, karena praktik sunat yang salah.
Para kritikus mengatakan, RUU tersebut sebenarnya adalah bentuk serangan terhadap kebebasan beragama.
Selain itu, melarang praktik khitan bisa menjadi sesuatu 'alat' yang digunakan untuk melawan sekelompok orang tertentu, memperburuk ketegangan antar-ras dan agama.
Sejauh ini, kelompok religius di negara itu telah mengeluarkan sikap dengan menyatakan, sunat anak laki-laki selama ini dilakukan di lingkungan yang bersih oleh profesional terlatih.
Dengan keyakinan tersebut, mereka akan terus berjuang mempertahankan praktik itu. (*)