Bos Lion Air Rusdi Kirana Dikabarkan Marah pada Boeing, Pembelian 22 Miliar Dollar Terancam Batal
Pendiri Lion Air Indonesia Rusdi Kirana diketahui marah dan menganggap Boeing mengalihkan perhatian publik.
Pendiri Lion Air Indonesia Rusdi Kirana diketahui marah dan menganggap Boeing mengalihkan perhatian publik.
TRIBUN-MEDAN.com, NEW YORK - Lion Air Indonesia dikabarkan akan mengkaji ulang untuk pembelian pesawat dari Boeing.
Bahkan ada kemungkinan perusahaan tidak mengesampingkan rencana pembatalan pemesanan senilai 22 miliar dollar AS.
Hal ini akibat terjadi perselisihan antara keduanya setelah kecelakaan pesawat yang menewaskan 189 orang pada akhir Oktober lalu.
Dikutip dari Reuters dan South China Morning Post, Rabu (5/12/2018), pendiri Lion Air Indonesia Rusdi Kirana diketahui marah dan menganggap Boeing mengalihkan perhatian publik dengan menyalahkan sepenuhnya kepada Lion Air atas kecelakaan itu. Padahal, Boeing diketahui melakukan beberapa perubahan pada desain pesawat.
Baca: Anak Mantan Gubsu Tengku Erry Nuradi Mempersunting Ratu Kecantikan Dunia
Baca: Pernikahan Mewah Pria 84 Tahun dengan Perempuan Cantik di Semarang, Ini Foto dan Videonya
Baca: Mukjizat, Jimmi Aritonang Karyawan Istaka Karya Selamat dari Berondongan Peluru KKB
Menurut sebuah sumber, Rusdi tengah memeriksa ulang kemungkinan untuk membatalkan pesanan yang tersisa dari jet Boeing "untuk pengiriman berikutnya".
Hal ini jadi sinyal, kemungkinan untuk membatalkan semua pesanan pesawat ke Boeing.

Belum ada keputusan akhir yang dibuat, tetapi diskusi tentang nasib miliaran dollar AS harga pesawat yang tersisa menyoroti pertaruhan seputar penyelidikan yang melibatkan jet penjualan tercepat Boeing yakni 737 MAX.
Lion Air merupakan salah satu pelanggan terbesar Boeing yang saat ini memesan 190 pesawat yang total nilai pesanananya mencapai 22 miliar dollar AS. Saat ini, pesawat pesanan tersebut sedang ditunggu pengirimannya.
Pesanan pesawat ini merupakan kelanjutan dari pembelian 197 pesawat yang telah dilakukan Lion Air sebelumnya.
Dalam laporan itu, Lion Air menolak berkomentar.
Sementara, juru bicara Boeing mengatakan, "Kami mengambil setiap langkah untuk sepenuhnya memahami semua aspek dari kecelakaan ini, dan bekerja sama dengan tim investigasi dan semua pihak berwenang yang terlibat. Kami juga mendukung pelanggan kami yang berharga melalui masa yang sangat sulit ini."
Boeing merilis pernyataannya setelah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengeluarkan laporan terkait kecelakaan pesawat Lion Air pada 29 Oktober lalu.
Disinggung KNKT bahwa pesawat Boeing yang jatuh tersebut sebenarnya laik terbang.
Sebenarnya, perseteruan antara maskapai dengan pabrikan pesawat pascakecelakaan bukan yang pertama kali terjadi.
Sebelumnya, salah satu pesaing Lion Air di Asia Tenggara, yakni Air Asia dan Airbus juga sempat memanas setelah pesawat A320 hilang pada tahun 2014 lalu.
Walalupun Air Asia masih terus melakukan pemesanan, tetapi hubungan kedua perusahaan itu tidak pernah sepenuhnya pulih, dan akhirnya maskapai penerbangan asal Malayasia tersebut memilih melakukan pembelian pesawat widebody 787 dari Boeing.
PT Lion Mentari Airlines ( Lion Air) hingga tahun 2035 telah memesan 218 pesawat pabrikan Boeing yang akan dikirimkan dari Seattle, Amerika Serikat.
Adapun hingga tahun ini terhitung ada 11 pesawat jenis Boeing 737-MAX yang masuk ke Indonesia, termasuk satu pesawat yang jatuh pada 29 Oktober lalu di perairan Tanjung Karawang.

Direktur Eksekutif Lion Air Daniel Putut Kuncoro mengatakan, nasib ratusan pesawat lain saat ini masih dikaji ulang. Pihaknya masih akan memastikan kembali masalah apa yang menyebabkan kecelakaan tersebut dari sisi pabrikan.
Akhir bulan ini, menurut dia, pihaknya akan terbang ke Seattle, Amerika Serikat, untuk membahas hal ini bersama dengan Boeing.
"Kami akan berangkat ke Boeing. Kami harus ketemu dengan mereka dulu masalahnya apa. Kami harus pastikan. Kami akan diskusikan dengan manajemen Boeing," ujar Daniel ketika ditemui awak media di Gedung DPR selepas rapat kerja dengan Komisi V DPR RI, Kamis (22/11/2018).
Hingga saat ini, rencana kedatangan pesawat masih sesuai dengan jadwal. Namun, ada berbagai pertimbangan yang memungkinkan pengiriman pesawat dijadwalkan ulang.

"Semua masih on schedule, tapi kami akan diskusi dulu. Apakah memang perlu di-reschedule atau bagaimana," sebut dia.
Pihaknya juga ingin memastikan kepada produsen pesawat mengenai keselamatan penerbangan dengan produk pesawat yang sama di masa yang akan datang.
"Saya perlu jaminan pabrikan pesawat bahwa kejadian ini nggak akan terulang kembali," ujar Daniel. (Kompas.com)