Breaking News

Gordang Sambilan Jati Diri Budaya Masyarakat Mandailing, Ini Keistimewaannya

Masih ada istana, peninggalan sejarah, Benteng Portugis hingga Meriam Rafles. Satu yang paling unik adalah Gordang Sambilan

Penulis: Tulus IT |
TRIBUN MEDAN/NANDA RIZKA NASUTION
Lembaga Kesenian Mandailing saat memainkan Gordang Sambilan beberapa waktu lalu. 

Laporan Wartawan Tribun Medan / Nanda Rizka S Nasution

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Sumatera Utara memiliki sembilan suku yang menjadikan satu provinsi di Pulau Sumatera ini multikultural.

Satu dari suku tersebut adalah Mandailing.

Suku yang berasal dari kata Mandala dan Holing ini tentu punya beragam adat istiadat, budaya, kebiasaan serta ragam lainnya. Satu diantaranya yang menjadi ciri khas adalah Gordang Sambilan.

Bahkan, Koordinator Adat, Seni, Budaya Himpunan Keluarga Besar Mandailing Sumut Drs Muhammad Bakhsan Parinduri (JASINALOAN) mengatakan, alat musik ini adalah jati diri masyarakat Mandailing.

"Mandailing di Sumatera Utara berasal dari kabupaten terjauh dari ibu kota provinsi. Membutuhkan waktu 12 jam menuju ke sana. Daerah yang sedemikian, bisa membuat budaya masih bertahan. Masih ada istana, peninggalan sejarah, Benteng Portugis hingga Meriam Rafles. Satu yang paling unik adalah Gordang Sambilan ini," ungkapnya.

Baksan menyebutkan Gordang Sambilan adalah salah satu ensambel yang paling unik di dunia. Bukan sembarang cap saja, melainkan ada alasannya.

Pertama, Gordang Sambilan memiliki fisik yang panjang dan besar.

Gordang ini, juga dimainkan dengan bantuan dua gong, tiga gong kecil (mongmongan), satu simbal dan serunai.

"Dalam memainkannya membutuhkan orang yang banyak. Harus sekira 11 orang. Yang memainkan Gordang ada empat orang, mongmongan tiga, gong, simbal kecil, serunai, doal masing-masing satu orang," terangnya.

Selain itu, laki-laki yang juga seorang budayawan ini mengungkapkan jika Gordang Sambilan memiliki irama yang sangat banyak.

Berbeda irama untuk kematian dan kebahagiaan. Ada irama Memele Begu, yaitu irama memuliakan ruh orang mati.

Ada irama tiruan alam yaitu sampuara batu magulang seperti air besar semacam jeram lalu batu berjatuhan. Kemudian, ada Roba Namosok, seperti irama kayu-kayu yang terbakar di hutan savana. Juga ada irama udan potir yaitu irama yang sangat kencang. Seperti hujan petir

"Sebenarnya, Gordang Sambilan ini bukan bagian dari musik. Konsepnya dahulu adalah religi. Misalnya dalam hal kematian. Di masa Belanda, Gordang mengalami stagnan karena hanya dimainkan oleh para bangsawan. Tahun 1987 sekitar 30 tahun lalu, konsensus tentang Gordang Sambilan boleh digunakan oleh siapa saja dan mulai membudaya. Semua tidak terlepas dari peran Himpunan Keluarga Mandailing (HIKMA) Sumatera Utara (Sumut). Setelah itu, baru muncul musik," jelas Bakhsan yang juga mengajar di One Prime School ini.

Ia lantas menjelaskan jika Gordang Sambilan adalah generasi ketiga dari tradisi musikal Mandailing. Yang pertama adalah Gordang Tano atau tanah yang dilubangi.

Alat ritual terbuat dari tanah yang telah dilubangi dan dititup papan. Kemudian, diatasnya terdapat kayu dan senar dari rotan. Gordang ini digunakan ketika manusia Mandailing masih nomaden.

"Kemudian, kebudayaan berkembang dan muncul Gordang Bulu. Yaitu alat yang terbuat dari bambu. Dari tekniknya mulai bagus. Sudah punya stik khusus dan irama teratur. Nah, setelah itu baru muncul Gordang Sambilan," terangnya.

Bagi orang Mandailing sendiri, katanya, sehebat-hebatnya pesta, kalau tidak ada Gordang Sambilan, belum dikatakan hebat. Di Medan sediri ada delapan grup pemain Gordang yang hampir setiap Sabtu dan Minggu mengisi acara.

"Untuk memainkan Gordang ini pun ada ritualnya, baik sebelum dan sesudah. Ada disebut Paampe Gordang. Yaitu, pemberitahuan jika Gordang akan dimainkan agar jangan terkejut mendengar suaranya. Sekaligus pemberitahuan kepada tokoh adat dan para raja. Kalau pesta adat, harus memotong kerbau jantan. Kepala kerbau ditunjukkan di depan Gordang. Karena itu, tidak sembarang orang yang bisa memainkan," jelasnya.

Gordang ini pun, harus dibuat dari kayu khusus yaitu kayu Ingul atau surian yang susah didapatkan dan harganya sangat mahal. Kayu surian yang dipakai juga kayu yang telah berumur 30 tahun.

"Kalau dibuat dengan jenis yang lain, tidak seindah ini. Ada yang mencoba batang aren, tetapi tidak seindah dan semerdu surian. Membuatnya pun manual dan mahal. Satu perangkat bisa mencapai Rp 50 Juta," jelas Bakhsan.

Sekarang, Gordang Sambilan tidak hanya diperuntukkan untuk orang Mandailing. masyarakat etnik lain juga terkadang menggunakan Gordang ini untuk acara penyambutan.tentu tidak terlepas karena hingar bingar musik Gordang yang wah dan suaranya membahana. Berbagai etnik etnis mana saja sudah menggunakannya.

"Gordang Sambilan ini menjadi aset Sumatera Utara. Sudah hampir seluruh negara di dunia yang memainkannya," terangnya.

Peran Anak Muda

Koordinator Adat, Seni, Budaya Himpunan Keluarga Besar Mandailing Sumut Drs Muhammad Bakhsan Parinduri (JASINALOAN) mengungkapkan jika Gordang Sambilan saat ini pastinya membutuhkan peran serta anak muda untuk melestarikan.

"Saya ada mengajar beberapa murid di Universitas Sumatera Utara. Di Medan, paling enggak 40 sampai 50 orang yang memang kerjanya hanya sebagai pemain Gordang. Di Mandailing, pemain Gordang adalah profesi yang sakral dan membanggakan," jelasnya.

Bakhsan juga menuturkan, bahkan teman-temannya ada yang melatih sampai ke Malaysia. Gordang Sambilan saat ini hampir ada di semua provinsi karena persebaran orang Mandailing.

"Tentunya kita ingin membudayakan ini ke geneasi muda. Kalau bisa menjadi satu muatan lokal sekolah di Mandailing Natal. Karena ini jati diri. Sekarang di sana, dari dana desa, setiap kampung di Madina hampir memiliki Gordang Sambilan," terangnya.

(cr17/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved