IPW Minta Perangkat Hukum Objektif Mengadili Kompol Fahrizal
Neta menilai sebaiknya Mabes Polri berbenah agar kejadian serupa tak terulang dilakukan oleh seorang calon pemimpin masa depan Polri.
Penulis: Alija Magribi |
Laporan Wartawan Tribun Medan/Alija Magribi
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Menanggapi sidang lanjutan Kompol Fahrizal, S.I.K, yang mana dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Randy Tambunan menuntut eks Wakapolres Lomboktengah itu dengan pasal pembunuhan tanpa pidana, Indonesia Police Watch (IPW) meminta seluruh perangkat pengadilan bersikap objektif.
Ketua Presidium IPW Neta S Pane menganggap adanya kejanggalan dari sosok Kompol Fahrizal yang sempat lulus dan mendapatkan jabatan strategis di Polri lantas mengidap penyakit skizofrenia paranoid sehingga membunuh seseorang.
Baca: Jaksa Tuntut Kompol Fahrizal Pasal Pembunuhan tanpa Pidana Penjara

"Sangat ironis juga seseorang yang alumnus Akpol juga mendapat jabatan tinggi bisa seperti itu. Atau kenapa seseorang seperti itu bisa lulus, padahal tes masuk perwira kan katanya berat, atau ini sakitnya direkayasa," tanggap Neta melalui wawancara seluler dengan Tribun Medan, Senin (21/1/2019)
"Semoga majelis hakim nantinya mempertimbangkan se-obyektif mungkin. Jangan menjadi keuntungan untuk dia (Kompol Fahrizal)," sambungnya.
Neta menilai sebaiknya Mabes Polri berbenah agar kejadian serupa tak terulang dilakukan oleh seorang calon pemimpin masa depan Polri.
Apalagi Fahrizal adalah lulusan Akpol yang diketahui oleh masyarakat memiliki jiwa dan fisik yang sangat sehat.
"Masa iya, Mabes Polri bisa loloskan orang gila. Dari sini, sebaiknya Polri berbenah lah. Apalagi masih menjadi rahasia umum masuk dan menjadi Polri pakai uang," cetus Neta.
Selain itu, Neta berharap agar Mabes Polri dan jajaran Polda untuk memeriksa secara rutin riwayat psikologis para Kapolres maupun Kapolsek dibawahnya.
"Dengan ini baiknya, para pimpinan di Mabes Polri juga memeriksa para pemimpin Polri di daerah. Di Polres, di Polsek biar ini gak terulang," pungkasnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Randy Tambunan yang mengadili Kompol Fahrizal, S.I.K terkait kasus pembunuhan adik iparnya pada April 2018 lalu menuntut Kompol Fahrizal dengan pidana Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Namun, menariknya pada sidang tuntutan kali ini, eks Kasatreskrim Polrestabes Medan itu tidak dituntut pidana penjara karena dianggap memiliki kelainan jiwa.
Penasihat hukum Kompol Fahrizal, Julisman SH kepada wartawan yang ditemui seusai sidang yang berlangsung di ruang Kartika Pengadilan Negeri Medan, Senin (21/1/2019) menjelaskan bahwa tuntutan tersebut telah sesuai dengan perbuatan Kompol Fahrizal.
"Iya memang dia (Fahrizal) terbukti melanggar Pasal 338 KUHP itu, tapi kan terdakwa tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana karena pada saat kejadian kondisi kejiwaan terdakwa terganggu. Makanya sesuai dengan ketentuan Pasal 44 KUHP jika terdakwa mengalami gangguan jiwa tentu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana," ucap Julishman.
Julisman menyambut baik tuntutan yang dibacakan oleh JPU Randi Tambunan ini. Pasalnya hal ini kata Julisman sesuai dengan fakta persidangan.
"Faktanya pada saat penembakan, terdakwa sedang mengalami gangguan kejiwaan sesuai keterangan dokter Rumah Sakit Jiwa M Ildrem. Jaksa sepertinya mengajukan tuntutan berdasarkan keterangan ahli kejiwaan itu," terangnya.
Selanjutnya, meski tuntutan yang diajukan sudah sesuai fakta persidangan, namun Julisman mengaku timnya akan tetap menyusun pembelaan pada persidangan Kamis (24/1/2019) mendatang. "Kami akan serahkan putusanya pada majelis hakim," sebutnya.
Tuntutan terhadap Kompol Fahrizal beberapa kali ditunda sehingga menimbulkan pertanyaan besar. Apalagi sejauh ini penahanan Kompol Fahrizal dilakukan di Rumah Tahanan Polda Sumut, bukan di Rutan Klas IA Tanjunggusta Medan.
Julisman yang berbicara banyak seusai sidang menerangkan bahwa lantaran sempat menjabat Kasatreskrim Polrestabes Medan tentu penahanan Fahrizal harus mempertimbangkan keselamatan kliennya. Pria berkepala plontos ini juga bercerita sedikit bahwa Fahrizal sendiri pulang ke Medan untuk berobat, sehingga penembakkan itu diluar dugaannya.
"Kan gejala-gejala Skizofrenia Paranoid ini munculnya sekitar tahun 2014, yang waktu itu beliau masih di Karo SDM Polda Sumut. Jadi sudah berobat waktu itu. Namun hingga sampai dia jadi Kasatreskrim, Sespim Polri sampai Wakapolres Lomboktengah dia gak minum obat lagi. Baru lah kambuh ini," ucapnya.
"Dia kembali ke Medan pun untuk berobat tapi siapa sangka terjadilah penembakan itu," jelas Julisman.
Sementara di tempat berbeda, JPU Randi Tambunan yang dimintai keterangannya terkait tuntutan Kompol Fahrizal, justru menghindar dan enggan berkomentar. "Direkam ini? Ke Humas ajalah, takut salah saya," ucapnya sembari meninggalkan wartawan.
Menyoroti tuntutan terhadap Fahrizal, Humas PN Medan Jamaluddin menyatakan, jika hal tersebut berdasarkan pertimbangan fakta persidangan.
"Mungkin Jaksa mempertimbangkan fakta-fakta sidang selama ini untuk menyusun tuntutan terhadap terdakwa. Sesuai KUHAP kan ada pertimbangan pemaaf dan pertimbangan pembenar untuk memutus terdakwa. Makanya kita lihat juga nanti seperti apa putusannya," ujarnya.
Seandainya didalam putusan Kompol Fahrizal dinyatakan tidak waras, namun dikemudian hari dia dinyatakan sehat oleh dokter kejiwaan, yang bersangkutan kata Jamaluddin, tidak bisa dipidana.
"Tentu kalau dia dinyatakan tidak waras, dan hakim juga tak menuntut pidana maka dia bebas. Kan kasusnya waktu itu dia tidak waras. Kalau kedepan dia sehat setelah putusan ini juga tidak bisa dipidana lagi," pungkas eks Hakim di Pengadilan Negeri Padang ini.
Pantauan Tribun Medan, Kompol Fahrizal yang didampingi istri tampak seperti orang normal pada umumnya.
Mengenakan baju kemeja kotak-kotak dan celana hitam, Fahrizal tampak masuk ke ruang tunggu jaksa.
Tak berapa lama, ia yang didampingi istrinya keluar dari tunggu jaksa, dan kemudian pergi meninggalkan PN Medan menggunakan mobil fortuner warna hitam.
Dalam perkara ini, Kompol Fahrizal didakwa melakukan pembunuhan karena menembak mati adik iparnya, Jumingan, Rabu (4/4/2018) malam.
Setelah melepaskan 6 tembakan yang tidak beruntun, dia menyerahkan diri ke Polrestabes Medan.
Sebelumnya, penasihat hukum menolak dakwaan dan menyatakan perwira dengan satu melati di pundak itu mengalami gangguan jiwa sejak 2014.
Dia bahkan beberapa kali dibawa berobat ke Klinik Utama Bina Atma di Jalan HOS Cokroaminoto, Medan.
Penasihat hukum menilai Fahrizal tidak dapat dikenakan dakwaan karena sudah mengalami gangguan kejiwaan akut atau skizofrenia paranoid tiga tahun sebelum peristiwa penembakan terjadi.
Menurut penasehat hukum, penembakan yang dilakukan Fahrizal terhadap Jumingan, yang merupakan suami adiknya Heny Wulandari, pada 4 April 2018 lalu, dilakukan tanpa sadar atau di luar logika kesadarannya.
Bahkan, terdakwa datang ke lokasi kejadian awalnya hanya untuk melihat ibunya Sukartini yang baru sembuh dari sakit.
Setelah penembakan terjadi, pihak penyidik Polda Sumut juga melakukan pemeriksaan terhadap Fahrizal di RS Jiwa Prof Dr Muhammad Ildrem.
Dokter yang memeriksanya pada 23 April 2018 menyebutkan bahwa Fahrizal mengalami skizofrenia paranoid.
Kapolda Sumut Irjen Pol Agus Andrianto menyerahkan pada keputusan hakim terkait anggota Polri Kompol Fahrizal.
"Kalau saya ditanya mengenai bagaimana tanggapan saya terkait Kompol Fahrizal, bukan dalam kompetensi saya menilai hal itu. Mengingat sekarang sudah ditangani pihak pengadilan," katanya saat dihubungi melalui aplikasi WhatsApp, Senin (21/1/2019).
Ia mengatakan semua keputusan hakim sudah benar dan pihaknya mengikuti kebijakan dan keputusan tersebut.
"Sekali saya katakan, bukan dalam kompetensi saya menilai keahlian seseorang. Termasuk dalam kasus Fahrizal,"ujarnya.
Karena, sambungnya, keputusan hakim merupakan keputusan atas nama Tuhan Yang Maha Esa.
"Siapa berani melanggar keputusan hakim?" ujarnya.
Mengenai bagaimana tindakan polri terkait Kompol Fahrizal, lagi-lagi orang nomor satu ini menyatakan mengikuti keputusan dari hakim.
"Karena ini sudah menjadi ranah mereka," katanya.
(cr15/tribun-medan.com)