Kisah Pilu Penyadap Tuak Terungkap Pada Festival Paragat

Sekumpulan penyadap aren 'Paragat Tuak' dari berbagai penjuru di Kawasan Danau Toba bertarung pada festival Paragat di Open Stage

TRIBUN MEDAN/ARJUNA BAKKARA
Penyadap aren 'Paragat Tuak' dari berbagai penjuru di Kawasan Danau Toba bertarung pada festival Paragat di Open Stage, Parapat, Sabtu (6/6/2019). 

TRIBUN-MEDAN.COM, PARAPAT - Sekumpulan penyadap aren 'Paragat Tuak' dari berbagai penjuru di Kawasan Danau Toba bertarung pada festival Paragat di Open Stage, Parapat, Sabtu (6/6/2019). 

Jasosman Purba, satu dari antara paragat menjadi peserta pertama yang mendeskripsikan bagaimana kisah sehari-hari mereka maragat tuak pada pohon tuak yang sudah disiapkan.

Deskripsi yang ditunjukkan Jasosman ternyata tidak semudah yang dibayangkan. 

Ada beberapa proses dan waktu yang dibutuhkan selama memulai penyadapan atau 'maragat'.

Seuantaian proses yang ditunjukannya menggambarkan kesuitan yang harus dilalui. Mulai menyiapkan 'sige' sebatang bambu yang dijadikan tangga untuk naik ke pohon tuak.

Terlihat, jika tidak berhati-hati tentu celaka akan menanti. Apalagi, tuak biasanya tumbuh di pinggir jurang, dan batu-batu yang runcing ada dibawah pohonnya. 

Selain parang yang tajam untuk menyadap tangan aren, paragat harus membawa memikul bambu untuk menampung, lalu 'balbal', sejenis alat pemukul berbentuk bulat dan memiliki tangkai.

Juga, bagimana pun kondisi cuaca tuak harus 'diagat', baik hujan atau tidak. Karena, jika tuak tak disadap secara rutin, maka keesokan harinya tidak akan memberikan airnya kepada 'Paragat'.

Kalau tuak sudah enggan meneteskan airnya, maka harus ada ritual yang disampaikan. Menurut cerita kearifan lokal yang disampaikan para paragat itu, pohonnya harus dibujuk 'dielek' agar mau menetes kembali. 

Apalagi, pohon tuak diyakini berasal dari seorang wanita dari sisi kearifan lokal, sehingga tuak harus dirayu seperti merayu seorang wanita.

Terlihat, Jasosman memanjat pohon tuak melalui sebatang bambu tunggal 'sige'. Sambil menempel di batang pohon tuak, Jasosman pun mengelus sambil menggoyang-goyang kolang-kaling 'halto'. Menggoyang halto juga tidak asal-asal, juga harus seperti mengelus seorang wanita, katanya.

"Sesudah selesai beberapa minggu, saya datang. Lalu ditampunglah pakai 'hadengan' dari bambu. Beginilah susahnya seorang paragat. Hujan sudah mengancam saya harus datang siang dan pagi setiap hari",sebut pria yang menggambarkan kehidupan paragat tersebut.

Jasosman mengatakan, menekuni progesi sebagai paragat memang memiliki tantangan, risiko jatuh dari pohon tuak dan lainnya serta harga tuak yang terkadang tidak sesuai dengan sulitnya menyadap tuak. Tetapi, Jasosman mengaku bisa menjelaskan dapat menghidupi keluarga dan anak-anaknya karena hasil tuak.

"Karena inilah sumber peghidupan keluarga kami",jelasnya.

Menempel di batang pohon tuak, sambil menggoyang halto dia bersenandung. Tujuannya, agar tuak menetes lebih deras. Lalu dijelaskannya, sejarah tuak menurut keaeifan lokal yang turun temurun diketahuinya, hingga dapat menghidupi keluarga.

Peserta lainnya, Lasman Sidauruk yang juga sehari-hari maragat tuak menceritakan proses hingga kesulitan menyadap tuak. 

" Ini pisau untuk manappul atau pemotong tangan tuak. Lalu ada Balbal. Jadi, kalau tuak, pertama-tama kita tengok dulu apakah dia sudah bisa dibersihkan atau dihidok. Lalu kita cari bambu untuk sige ke atas," tambahnya.

Sebelum disadap, tangan tuak harus dibersihkan terlebih dahulu. Lalu, lima hari kemudian baru bisa dipukul pakai pentungan dengan cara berirama.

Kata Lasman, memukul juga harus bertahap. Dalam seminggu, harus dipukul atau 'dibalbal' sebanyak 7 kali. Proses mebalbal juga harus dilakukan selama tujuh minggu.

"Itulah pelerjaan saya sehari-hari. Jadi inilah kami, jadi kalau paragat susah sedih, walau hujan harus kami maragat. Jadi kalau tidak tiap hari kami maragat pohin tuak jadi tidak berair. Karena ininah sumber penghidupan kami," ujar Lasman setengah gugup di hadapan juri, yakni Daniel Gurning, Dongan Simbolon dan Anggiat Soden Siahaan.

Lasman juga menjelaskan, maragat tuak harus dikerjakan dengan baik. Menjaga kebersihan penampung air tuak, hingga kebersihan diri sebelum naik ke pohon tuak.

Penyelenggara festival, Hinca Panjaitan menejelaskan sepanjang 'tuak takkasan' dipakai seperti warisan leluhur, maka akan membawa dampak baik. "Tapi kalau kita buat, pasti tidak baik"tambahnya.

Dalam hal ini, melalui festival paragat bertema "Semalam Bersama Paragt Dongan Hinca" itu diharapkan dapat merubah prespektif tuak menjadi lebih baik. Menurutnya, tuak dan lapo tuak lapo tuak sesungguhnya tidak terlepas dari Budaya Batak. Karena, warung tuak adalah sumber Inspirasi.

"Berbicara dari sisi profesi, sebenarnya banyak masyaraakat kita berprofesi paragat. Sudah saatnya kita menjadikan Tuak Jadi Minuman 'Welcome Drink' Danau Toba untuk wisatawan," sebut Hinca Panjaitan, Politisi kelahiran Tobasa itu.

(Jun/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved