Mengenal "Thomas", Lokomotif Uap Zaman Belanda di Pabrik Gula Poerwodadie
Kereta tua kusam berwarna hijau tua perlahan-lahan mendorong puluhan lori berisi tebu menuju Pabrik Gula (PG) Poerwodadie Kabupaten Magetan
"Cek tebal tipisnya dipukul. Kalau suara tung tung artinya masih tebal. Kalau suaranya sudah teng teng artinya sudah tipis,” ucapnya.
Masinis Suyitno mengaku tidak susah mengoperasikan lokomotif zaman Belanda tersebut.
Ia cukup memainkan rem dan membuka kran tekanan untuk mendorong tenaga dari mesin uap agar lokomotif jalan. Hanya saja untuk mengeram, butuh pengalaman.
"Rem disini kan berhentinya bisa lima sampai sepuluh meter. Jadi butuh perasaan ngeremnya,” terangnya.
Selain itu, mengoperasikan lokomotif kuno membutuhkan kesabaran karena menggunakan bahan bakar kayu dan limbah tebu yang kering. Butuh waktu lima jam memanaskan air hingga ada tekanan untuk menggerakkan lokomotif.
PG Poerwodadie hanya beroperasi maksimal 4 bulan saja setiap tahun. Padahal sebelumnya jam operasi PG bisa sampai enam bulan dengan operasional 24 jam sehari.
Berkurangnya jam operasional disebabkan semakin sempitnya lahan penanaman tebu yang beralih fungsi menjadi pemukiman dan lahan pertanian. Warga lebih memilih menanam padi yang memiliki usia tanam lebih pendek.
"Sekarang tanaman padi hanya berumur 3 bulan. Dulu ada yang tujuh bulan,” ucap Agus Cahyono.
Area penanaman tebu sebelum tahun 2000-an, di wilayh PG Poerwodadie di Kabupaten Magetan mencapai lebih dari 1.500 hektar. Saat ini diperkirakan hanya sepertiga lahan warga yang di tanami tebu dengan cara sistem kerjasama antara perusahan PTPN dengan para petani.