Peringati 15 Tahun Kematian Munir, KontraS Minta Pemerintah Usut Kasus Sampai Tuntas

Bunga-bunga itu, kemudian dibagikan kepada para pengendara yang melintas di seputaran Tugu Titik Nol Kota Medan tersebut.

Penulis: M.Andimaz Kahfi |
Tribun Medan / M Andimaz Kahfi)
Peringati 15 Tahun Kematian Munir, KontraS menggelar aksi pembagian bunga dan teatrikal di Kota Medan minta pemerintah usut kasus Munir sampai tuntas. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara menggelar aksi memperingati 15 tahun meninggalnya aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib, di Tugu Titik Nol Kota Medan, Sabtu (7/9/2019).

Dalam aksi itu, KontraS membawa bunga yang terdapat tulisan 'In memoriam Munir, dibunuh 7 September 2004. Menolak Lupa, aparat keamanan harus bertindak efektif, proporsional dan profesional. Bukan tidak bertindak dengan alasan takut dituduh melanggar HAM'.

Bunga-bunga itu, kemudian dibagikan kepada para pengendara yang melintas di seputaran Tugu Titik Nol Kota Medan tersebut.

KontraS juga membawa beberapa foto bertuliskan 'Siapa dalang pembunuhnya', menolak lupa serta aksi teatrikal yang menggambarkan bagaimana proses Munir dihabisi dengan racun yang ditaruh pada minuman yang diberikan kepadanya.

Dalam aksi teatrikal itu, menggambarkan bagaimana kondisi Munir yang baik-baik saja. Namun, setelah meneguk segelas air yang diberikan di dalam pesawat yang dinaiki Munir dengan tujuan Amsterdam, tak lama setelahnya Munir tewas sebelum tiba di negeri kincir angin tersebut.

Koordinator Kontras Sumut, Amin Multazam Lubis mengatakan bahwa negara harus menuntaskan kasus Munir secara baik. Bahwa bukti-bukti yang ada harus di follow up untuk menjadi satu bukti baru dan di usut di pengadilan.

"Hasil dokumen TPF sebenarnya sudah menggambarkan keterlibatan negara dalam pembunuhan Munir. Tapi, sampai hari ini negara belum berani mengungkapkan siapa dalang pelaku secara sah dan meyakinkan di melalui putusan pengadilan," kata Amin di Tugu Titik Nol Kota Medan, Sabtu (7/9/2019).

Kedua, Amin menyampaikan agar masyarakat sipil Kota Medan harus terus merawat ingatan bahwa keadilan untuk kasus Munir sampai hari ini belum dituntaskan.

Negara masih berhutang diatas nyawa Munir untuk pembangunan demokrasi yang masih ada dalam bayang-bayang ketidakadilan dan pelanggaran HAM.

"Itu yang menjadi targetan kami dalam aksi ini," sebut Amin.

Terkait refleksi untuk penyelesaian kasus HAM, Amin menyebut penyelesaian HAM cuma sekedar lip service dan bahkan cenderung menjadi dagangan politik sebelum pemilu.

Pada kenyataannya, setelah pemilu penuntasan HAM belum menjadi suatu prioritas bagi negara. Itu terbukti sampai hari ini, pelaku-pelaku pelanggaran HAM masih ada dalam lingkup kekuasaan.

Baik di kubu 01 ataupun kubu 02 seperti pemilu yang lalu. Mereka hanya cenderung menjual isu politik dan HAM dalam politik.

"Tapi bagi kita kedua belah pihak terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu. Penyelesaian HAM ini hanya bagian dari gimmick politik bukan keseriusan negara untuk menuntaskannya," tuturnya.

Untuk di Sumut, lanjut Amin menjadi catatan penting bahwa momentum ini tidak jauh beda dengan satu tahun gubernur Sumut menjadi pemimpin.

Seperti janji awalnya untuk menuntaskan konflik agraria, justru belakangan konflik agraria menjadi satu persoalan yang sangat penting.

Karena dibeberapa tempat penggusuran justru terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa contoh kita ambil kasus

Tunggurono, Nambiki dan Sunggal. Dimana KontraS ikut mendampingi kasus tersebut.

"Saya kira Sumut ini menjadi salah satu tempat atau wilayah yang menyumbang angka penyiksaan dan kekerasan aparat keamanan paling tinggi. Masih ada problem demokrasi. Bagaimana kebebasan berpendapat dan berekspresi justru mendapatkan represifitas dari aparat keamanan. Semakin berkembang demokrasi, kita tidak mendapatkan kebebasan," tegas Amin.

Kronologis Pembunuhan Munir di kutip dari berbagai sumber.

Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit.

Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Ia kemudian dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, yang juga berusaha menolongnya pada saat itu.

Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam, di Bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.

Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi.

Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.

Selanjutnya, pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir.

Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut.

Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut.

Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Jenazahnya dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva.

Sejak tahun 2005, tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.

Kemudian, pada 19 Juni 2008 Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir.

Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya. Namun, pada 31Desember 2008, Muchdi divonis bebas.

Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.

Dikutip dari siaran pers KontraS, Koalisi Keadilan untuk Munir resah atas berhentinya pengungkapan kasus aktivis HAM Munir Said Talib yang dibunuh pada 7 September 2004.

Namun, setelah 15 tahun berlalu, Pemerintah baru mengadili pelaku lapangan, sementara dalang yang bertanggungjawab atas peristiwa ini belum pernah diadili.

Pada September 2016 lalu, dalam sebuah pertemuan dengan para pakar hukum di Istana Merdeka, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan komitmennya untuk menyelesaikan kasus Munir.

Pernyataan ini sedikit memberikan kelegaan akan adanya langkah-langkah konkrit Pemerintah untuk mengungkapan siapa dalang pembunuhan terhadap Munir, meski kemudian pernyataan tersebut tidak pernah terwujud hingga saat ini.

Kami memandang, pengungkapan kasus Munir tidak akan sulit jika Pemerintah benar-benar mau membuka dan mengumumkan isi laporan yang disusun oleh Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (TPF Munir).

Apalagi Tim yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 111 Tahun 2004 ini telah bekerja selama 6 (enam) bulan dengan melakukan pendalaman fakta, termasuk mengumpulkan keterangan saksi dan bukti-bukti lainnya.

Sejumlah nama di luar Pollycarpus, disebutkan dalam laporan guna diselidiki lebih lanjut karena diduga terlibat pembunuhan Munir.

Tapi keengganan Pemerintah untuk mengumumkan isi laporan menimbulkan tanda tanya besar mengenai siapa saja yang diduga terlibat dan mengapa hingga saat ini tidak pernah diadili di pengadilan.

Segala upaya telah dilakukan oleh Koalisi, termasuk dengan mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) pada tahun 2016 saat dikabarkan kalau laporan TPF tersebut tidak di Kementerian Sekretariat Negara.

Upaya hukum ini menghasilkan sebuah fakta bahwa dokumen laporan TPF adalah dokumen yang terbuka untuk publik, sehingga tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk menolak mengumumkan laporan tersebut.

Alih-alih melaksanakan putusan tersebut dengan mengumumkannya, Presiden melalui Kemensetneg justru mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan alasan bahwa laporan tersebut tidak dimiliki atau dikuasai oleh Presiden maupun Kemensetneg.

Alasan-alasan ini, justru diafirmasi oleh PTUN yang mengabulkan keberatan tersebut dengan menyatakan bahwa dokumen laporan TPF bukan merupakan dokumen publik sehingga karenanya tidak dapat diakses oleh publik.

Pernyataan ini pun diperkuat oleh adanya putusan Kasasi Mahkamah Agung pada tahun 2017, meski hingga saat ini kami masih belum menerima salinan putusan tersebut.

Lambannya pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung ke Suciwati selaku istri dari korban maupun kuasa hukumnya merugikan yang bersangkutan untuk dapat melanjutkan langkah hukum lainnya.

Kami mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo harus menunjukkan sikap tegas atas komitmennya yang disampaikan dalam forum tahun 2016. Kami juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk :

1. Segera mengumumkan seluruh hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir kepada masyarakat sebagai bentuk amanat Perpres No. 111 tahun 2004 serta menindaklanjuti rekomendasinya hingga tuntas.

2. Bersikap tegas dan serius dalam upaya pengungkapan kasus pembunuhan terhadap Munir, dengan memanggil Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, maupun pejabat terkait guna menentukan langkah konkrit Pemerintah untuk menyelesaikan kasus Munir.

3. Memerintahkan Jaksa Agung untuk mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan pengadilan yang membebaskan mantan Deputi V BIN Muchdi PR dengan memperkuat seluruh bukti-bukti yang ada beserta bukti yang baru agar dapat digunakan dalam upaya PK tersebut;

4. Mendorong amandemen UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dengan memasukkan ketentuan khusus tentang perlindungan pembela HAM agar kasus-kasus kekerasan terhadap pembela HAM tidak terulang di kemudian hari.

Diketahui, di awal berdirinya, KontraS identik sebagai bentuk gerakan perlawanan terhadap rezim kepemimpinan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Semua dimulai pada tanggal 12 Mei 1998, ketika aparat keamanan menembak mati empat mahasiswa Universitas Trisakti.

Kala itu berlangsung demonstrasi damai menentang rezim Orde Baru di depan kampus Trisakti.

Saat itu pula gelombang gerakan reformasi langsung pecah sehingga mengubah konstelasi politik Indonesia.

Alhasil, kondisi itu pun memancing gelombang besar sejumlah demonstrasi massa dan mahasiswa serta perlawanan rakyat terhadap rezim Orde Baru yang dianggap gagal.

Situasi pun sulit dikendalikan saat itu. Akhirnya pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh wakilnya saat itu, BJ. Habibie.

Setelah lengsernya Soeharto, rezim Orde Baru kehilangan kekuatan utamanya. Kondisi Indonesia pun berubah drastis.

Keran reformasi mulai dibuka dengan masuknya fase politik yang baru yakni menurunnya legitimasi dan otoritas politik negara atas masyarakat sehingga peran masyarakat sipil semakin kuat.

(mak/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved