Viral Medsos
Viral, Racik Makanan dengan Tuangkan Sebungkus Micin, Pedagang Ini Beri Respons atas Resepnya
Viral, Racik Makanan dengan Tuangkan Sebungkus Micin, Pedagang Ini Beri Respons atas Resepnya
Istilah 'generasi micin' saat ini banyak dipakai untuk merujuk pada anak-anak muda di media sosial yang sering bertindak gegabah dan kurang perhitungan.
Sikap konyol tersebut dikaitkan dengan "kebanyakan mengonsumsi micin alias MSG".
Monosodium glutamat (MSG) merupakan bahan penyedap rasa yang dianggap berdampak buruk pada kemampuan kognitif seseorang.
Benarkah efek MSG seburuk itu?
Menurut ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Hardinsyah, klaim tersebut dianggap salah dan tak terbukti.
Lantas, mengapa ada anggapan mengonsumsi MSG dapat menurunkan kinerja otak?

Hardinsyah menduga bahwa ada kesalahan persepsi atas penelitian yang dilakukan oleh peneliti Washington University, Dr John W. Olney.
Olney menguji MSG terhadap tikus putih, namun dilakukan dengan cara menyuntikannya ke bawah kulit.
Cara ini pun dikritik karena tak lazim, di mana MSG umumnya diasup lewat makanan.
Selain itu, dosis yang diberikan kepada tikus percobaan itu sangat tinggi, dan tak mungkin diterapkan pada manusia.
Hasilnya pun tak mengherankan, karena dosis yang tinggi, maka berdampak pada kerusakan otak.
"Dugaan saya (anggapan generasi micin), dari penelitian tikus tadi dikonotasikan, dipelintir, dan jadi mitos. Padahal kita tak mungkin kuat menyerap asupan MSG dengan dosis sangat tinggi," ungkap Hardinsyah.
Berdasarkan penelitan dari Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB pada 2007, konsumsi MSG harian orang Indonesia sekitar 0,7 gram per orang per hari.
Jumlah ini lebih sedikit dari konsumsi MSG di Amerika Serikat kurang dari 1 gram per orang per hari dan Jepang 2 gram per orang per hari.
Namun, penelitian selanjutnya tak menemukan efek berbahaya saat mengonsumsi berlebih.