RESMI Veronica Koman Kini DPO, Kapolda Jatim: Siapa pun Polisi yang Lihat Bisa Langsung Tangkap

Aktivis asal Medan, Sumatera Utara, Veronica Koman kini telah resmi masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Editor: Juang Naibaho
twitter.com/papua_satu
Veronica Koman 

RESMI Veronica Koman Kini DPO, Kapolda Jatim: Siapa pun Polisi yang Lihat Bisa Langsung Tangkap

TRIBUN MEDAN.com - Aktivis asal Medan, Sumatera Utara, Veronica Koman kini telah resmi masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Status DPO Veronica Koman dibeberkan langsung oleh Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Luki Hermawan.

Luki mengatakan, pihaknya telah melakukan beberapa tahap gelar perkara dan upaya paksa pada pengacara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) tersebut.

"Setelah melakukan gelar perkara, kami mengeluarkan (status) DPO. Kami sudah melakukan upaya paksa dari pihak penyidik yaitu melakukan pencarian ke rumah yang di Jakarta dan melakukan penggeledahan," kata Luki Hermawan di Polda Jatim, Jumat (20/9/2019).

Dari penggeledahan tersebut, ada sejumlah berkas yang dibawa polisi.

"Sementara masih diteliti dokumennya," kata dia.

Status DPO ini dilakukan setelah Veronica tidak memenuhi panggilan pemeriksaan dari penyidik Polda Jatim, Rabu (18/9/2019).

"Sudah beberapa tahap pemanggilan pertama, kedua, tidak hadir. Setelah itu kami melakukan upaya paksa dan DPO. Selama yang bersangkutan ada di Indonesia, siapapun masyarakat mengetahui bisa memberikan informasi kalau anggota polri yang melihat bisa penangkapan dan upaya paksa," kata Luki.

Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Jatim Kombes Frans Barung Mangera menyebutkan kepolisian telah memblokir rekening aktivis Veronica Koman.

"Sudah kita lakukan kemarin itu pemblokiran," ungkap Frans Barung, Kamis (19/9/2019).

Proses selanjutnya adalah penetapan DPO untuk Veronica.

Setelah itu, Polda Jawa Timur akan berkoordinasi dengan Divisi Hubungan Internasional Polri untuk menangkap Veronica.

"Setelah DPO itu keluar, kami akan hubungi Mabes Polri dalam hal ini Hubinter untuk menggapai seorang WNI yang keberadaannya di luar negeri dengan status tersangka," katanya.

Setelah DPO dan red notice dari Interpol, Barung mengatakan bahwa langkah polisi selanjutnya adalah ekstradiksi.

Diketahui, Veronica Koman ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur atas tuduhan menyebarkan konten berita bohong atau hoaks dan provokatif terkait kerusuhan Papua dan Papua Barat.

Polisi menjerat Veronica dengan sejumlah pasal dalam beberapa UU, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-undang Hukum Pidana terkait pasal penghasutan, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Menurut kepolisian, ada beberapa unggahan Veronica yang bernada provokatif, salah satunya pada 18 Agustus 2019.

Salah satu unggahan yang dimaksud ialah "Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".

Sebelumnya, Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan sudah memberikan ultimatum kepada Veronica Koman supaya bersikap kooperatif dalam proses hukum ujaran provokatif terkait konflik Papua.

Pada pekan lalu, Luki mengatakan penyidik sudah mengirimkan surat pemanggilan ulang kepada Veronica yang dikirimkan Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri melalui KBRI di Australia, dimana Veronica Koman tinggal saat ini bersama suaminya.

Polda Jatim memberikan toleransi satu pekan. Jikalau tetap mangkir, Luki menegaskan akan memasukkan nama Veronica Koman dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

"Kalau DPO setelah itu ada tahapan yang berikutnya, yaitu red notice. Nah, ini bisa berat kalau sudah red notice," katanya di depan Lobby Gedung Tri Brata Mapolda Jatim, Selasa (10/9/2019).

Pasalnya, Red Notice itu dipastikan membuat Veronica Koman di-blacklist di 190 negara yang bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Otomatis hal itu akan membuat karier Veronica Koman sebagai aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) pupus.

Sementara itu, pemerintah Australia memberi opsi kemungkinan menyerahkan Veronica Koman, yang kini diperkirakan berada di Sydney, jika ada permintaan dari Pemerintah Indonesia.

Prosedur ini bisa terjadi jika Indonesia menerbitkan red notice ke Interpol.

Media The Guardian, Rabu (18/9/2019) melaporkan bahwa pihak berwajib Australia tampaknya menolak untuk mengesampingkan penyerahan Veronica Koman.

Veronica Koman merupakan pengacara HAM asal Indonesia yang kini tinggal di Australia, dan sedang diburu oleh Polri.

Polisi menyebut informasi yang disebar Veronica sebagai hoaks serta menuduhnya menerima aliran dana untuk memprovokasi kasus Papua.

Pasal-pasal pidana yang dituduhkan polisi ke Veronica mengandung ancaman hukuman penjara hingga enam tahun jika dinyatakan bersalah di pengadilan.

Pihak Departemen Luar Negeri Australia (DFAT) yang dihubungi secara terpisah menyatakan persoalan ini bukan di wilayah mereka.

Juru bicara DFAT mengatakan masalah ini ada di ranah Kepolisian Federal Australia (AFP).

Respons Veronica Koman
Dalam rilis yang disampaikan beberapa waktu lalu, Veronica Koman mengatakan adanya kampanye pemerintah Indonesia yang ingin membungkam dirinya.

Dia menyebut adanya intimidasi polisi terhadap keluarganya di Jakarta serta ancaman untuk mencabut paspor dan memblokir rekening banknya.

“Sistem "red notice" Interpol sering disalahgunakan oleh rezim otoriter untuk mengejar para pembangkang atau lawan politik pemerintah yang telah meninggalkan negara itu. Padahal sistem ini seharusnya digunakan untuk mencari dan menangkap orang-orang yang dicari yang akan dituntut atau menjalani hukuman,” ujarnya.

Menurut catatan saat ini ada sekitar 58.000 red notice di seluruh dunia, dan hanya sekitar 7.000 yang dipublikasikan.

Pasal 3 konstitusi Interpol jelas-jelas melarang lembaga itu melakukan segala intervensi atau kegiatan yang bersifat politik, militer, agama atau ras.

Sebelumnya Indonesia pernah mengeluarkan red notice untuk pemimpin gerakan Papua merdeka Benny Wenda pada 2011 namun terpaksa mencabutnya pada tahun 2012 karena terbukti bermotivasi politik, dan tidak berdasarkan pertimbangan pelanggaran kriminal.

Sementara itu, kelompok Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) mengatakan akan melanjutkan perjuangan mereka untuk merdeka dengan membawanya ke tingkat PBB.

Permintaan PBB
Sementara itu, para ahli Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) justru mendesak pemerintah Indonesia mencabut kasus Veronica sekaligus memberikan perlindungan terhadapnya.

"Kami mempersilakan pemerintah mengambil langkah terhadap insiden rasisme, tetapi kami mendorong agar pemerintah segera melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi," kata para ahli seperti dikutip dari laman OHCHR, Rabu (18/9/2019).

"Dan mencabut segala kasus terhadap dia (Veronica) sehingga dia dapat kembali melaporkan situasi mengenai HAM di Indonesia secara independen," kata mereka.

Para ahli diketahui bernama Clement Nyaletsossi Voule dari Togo, David Kaye dari Amerika Serikat, Dubravka Šimonovi dari Kroasia, Meskerem Geset Techane dari Etiopia, dan Michel Forst dari Perancis.

Selain itu, para ahli itu sekaligus menyampaikan bahwa keinginan polisi mencabut paspor Veronica, memblokir rekening, dan meminta Interpol menerbitkan red notice turut menjadi perhatian mereka.

Dalam keterangan tertulisnya, OHCHR juga mendorong pemerintah Indonesia untuk memperhatikan hak-hak peserta aksi serta memastikan layanan internet tetap tersedia di Papua dan Papua Barat.

Sebab, pembatasan layanan internet yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak 21 Agustus maupun penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dinilai tak akan menyelesaikan masalah.

Sebaliknya, para ahli menganggap pembatasan kebebasan berekspresi itu dapat membahayakan keselamatan para aktivis HAM untuk melaporkan dugaan pelanggaran.

"Secara umum, pembatasan internet dan akses terhadap informasi memiliki dampak yang merugikan terhadap kemampuan berekspresi seseorang, serta untuk membagikan dan menerima informasi," demikian tertulis dalam sikap mereka.

"Di sisi lain, akses terhadap internet berkontribusi untuk mencegah terjadinya disinformasi serta memastikan transparansi dan akuntabilitas," kata mereka.

Kelima ahli tersebut pun sekaligus menyambut baik ketika pemerintah mulai membuka akses internet di sejumlah daerah di Papua pada 4 September 2019.

Menanggapi hal itu, Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan tidak ada satu pun yang dapat mengintervensi kasus tersebut.

"Begini ya, konstitusi dibuat dari kedaulatan Republik Indonesia. Sehingga tidak ada satu pun yang dapat mengintervensi," ujar Frans, ketika dikonfirmasi, Rabu (18/9/2019).

"Kalau ada yang memberikan masukan akan didengarkan Republik Indonesia ini, tapi tidak untuk mengintervensi," imbuhnya.(*)

Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul BREAKING NEWS - Polda Jatim Tetapkan Status DPO pada Veronica Koman

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved