Beda Respons Jokowi Terhadap UU KPK dengan Dalih Inisiatif DPR, Ini Kata Ketua Pukat UGM
Total hanya 11 hari dibutuhkan ketika pengajuan draf, pembahasan di panitia kerja, hingga disahkan DPR. Padahal, Presiden Jokowi punya waktu 60 hari
Beda Respons Jokowi Terhadap UU KPK dengan Dalih Inisiatif DPR, Ini Kata Ketua Pukat UGM
TRIBUN MEDAN.com - Gelombang demo mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia bergulir dua hari terakhir.
Hari ini, Selasa (24/9/2019) di masing-masing daerah, ribuan mahasiswa turun langsung dalam aksi demo penolakan RUU kontroversial. Di antaranya, RKUHP, RUU Pemasyarakatan, hingga revisi UU KPK yang telah disahkan beberapa hari lalu.
Tak sedikit pula mahasiswa dari luar Jakarta yang datang ke Ibu Kota untuk bergabung dengan rekannya berdemo di depan Gedung DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat.
Presiden Joko Widodo menyatakan tidak akan menghentikan proses revisi UU KPK, salah satu undang-undang yang proses revisinya paling banyak ditentang oleh masyarakat. "Enggak ada," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/9/2019).
Sementara itu, untuk tuntutan mahasiswa terhadap beberapa RUU yang bermasalah, Jokowi meminta DPR menunda pengesahan RUU tersebut. Jokowi meminta pengesahan RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pemasyarakatan tak dilakukan oleh DPR periode ini yang masa jabatannya hanya sampai 30 September.
Ketika ditanya apa perbedaan RUU yang lain dengan UU KPK yang terkesan terburu-buru disahkan DPR, Jokowi justru melempar “bola panas” ke Dewan. "Yang satu itu (KPK) inisiatif DPR. Ini (RUU lainnya) pemerintah aktif karena memang disiapkan oleh pemerintah," ujarnya.
Hal ini tentu membuat para demonstran semakin lantang menyuarakan tuntutannya.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril menilai, sikap Presiden Joko Widodo tidak responsif dalam merespons aksi-aksi di sejumlah daerah yang menuntut pencabutan UU tentang KPK versi revisi yang telah disahkan DPR.
Padahal, proses kilat pembahasan revisi UU KPK oleh DPR dan pemerintah menjadi sorotan oleh publik ketika itu.
Pasalnya, total hanya 11 hari dibutuhkan ketika pengajuan draf, pembahasan di panitia kerja, hingga disahkan DPR.
Padahal, Presiden Jokowi punya waktu 60 hari dalam proses pembahasan UU KPK.
Pro dan kontra yang muncul karena sejumlah poin revisi dinilai akan melemahkan kinerja KPK.
Aksi-aksi dalam dua hari ini, Senin (23/9/2019) dan Selasa (24/9/2019), salah satu tuntutannya adalah mencabut UU KPK hasil revisi.
Namun, Jokowi bergeming.
Jokowi menyatakan menolak tuntutan pencabutan UU KPK dan tak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).
"Menurut saya, mestinya suara masyarakat itu bisa direspons oleh Presiden dengan cara konstitusional," kata Oce saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/9/2019) sore.
Cara konstitusional dapat dilakukan dengan menerbitkan Perppu yang membatalkan berlakunya UU KPK versi revisi.
Menurut dia, sikap itu sudah ditunjukkan Jokowi dengan memilih menunda pembahasan RKUHP meskipun sudah masuk dalam agenda pembahasan di DPR.
"Kenapa untuk KPK tidak diperlakukan hal yang sama begitu. Terhadap undang-undang yang lain, Presiden berani mengambil sikap itu, tapi kenapa untuk undang-undang yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi, itu tidak diambil," ujar Oce.
Menurut Oce, sikap yang ditunjukkan presiden saat ini justru akan menguatkan dugaan yang selama ini muncul ke publik.
"Sikap Presiden yang ragu-ragu seperti ini, itu akan membuat dugaan semakin kuat bahwa memang ada kekuatan-kekuatan koruptif di belakang revisi UU KPK itu," kata Oce.
"Dan presiden bisa saja jadi bagian dari kekuatan koruptif itu, kalau presiden mempertahankan revisi undang-undang yang seperti sekarang," lanjut dia.

Peluang
Meskipun presiden telah mengeluarkan pernyataan untuk tak memenuhi tuntutan pembatalan UU KPK ini, menurut Oce, peluang dikeluarkannya Peppu tetap ada.
Hal ini berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Dasar yang memberikan kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu dalam kegentingan yang memaksa.
"Tinggal sekarang sejauh mana pertimbangan-pertimbangan itu bisa diberikan kepada Presiden untuk menggunakan kewenangan itu," ucap Oce.
Dia mengharapkan, kalangan intelektual yang berada di sekitar Jokowi juga memberikan masukan.
"Kita berharap kalangan intelektual yang berada di Istana juga memberikan masukan kepada Presiden supaya Presiden tidak salah langkah dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang bermasalah ini. Salah satunya tentu undang-undang KPK," papar Oce.
Oce menyampaikan, akan lebih baik jika revisi UU KPK dibatalkan melalui Perppu.
Alasannya, banyak hal yang tak sesuai dalam UU itu.
Menurut dia, hal ini sebenarnya menjadi momentum baik untuk Presiden mengembalikan keadaan dan menolong citranya di mata masyarakat.
"Ada banyak kecacatan dalam undang-undang itu, cacat dalam prosedur, cacat secara materi, dan ini kesempatan, momentum yang sangat baik bagi presiden untuk membalikkan keadaan," papar Oce.
"Kita tahu sekarang popularitas jokowi dalam hal pemberantasan korupsi itu sudah sangat hancur, sudah berada di titik nadir. Nah ini kesempatan untuk memperbaiki itu sebetulnya, mengambil peluang menerbitkan Perppu," lanjut dia.

Janji Politik
Jika tuntutan berbagai kalangan untuk membatalkan berlakunya UU KPK ini tidak dilakukan, kerugian akan ada pada Presiden sendiri, bukan pada DPR.
Oce menambahkan, sikap tak responsif ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan.
"Tapi kalau kemudian sebelum dilantik saja sudah seperti ini, tentu sekarang sudah banyak yang meragukan janji politik itu dan tentu ini berat untuk pemerintahan di masa yang kedua," kata Oce.
Padahal, kepercayaan publik ini begitu dibutuhkan untuk pemerintahan, baik dalam pembangunan, perekonomian, hingga stabilitas nasional.
"Kepercayaan saat ini tidak berhasil dibangun oleh pemerintahan jokowi karena persoalan-persoalan yang terjadi belakangan ini," kata Oce.
Ia mengingatkan, jika masyarakat dan kelompok sipil menempuh judicial review terkait sejumlah pasal dalam UU KPK versi revisi, hal ini akan menjadi tamparan bagi Jokowi.
"Kalau judicial review, judicial review justru akan menampar wajah Presiden berkali-kali. Bayangkan saja kalau kemudian di-judicial review ternyata dibatalkan. Tentu kepercayaan publik akan semakin menurun kepada pemerintahan. Akan semakin menurun kepada Presiden," ujar dia.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menelaah Sikap Jokowi, Mengapa Berbeda antara UU KPK dan RUU KUHP?"