Ngopi Sore
Kenapa Bangga Melihat Anak STM Duel dengan Polisi?
Ada perbedaan mencolok antara jalan para bapak bangsa dan anak-anak STM ini. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, melawan dengan cara terpelajar.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
TENTU saja saya menyepakati aksi unjuk rasa yang terjadi hari-hari belakangan ini di Indonesia.
Keterlanjuran memilih demokrasi sebagai cara bernegara memang menempatkan unjuk rasa sebagai satu di antara mekanisme untuk mengemukakan pendapat dan menyatakan sikap.
Persisnya pendapat dan sikap yang bertolak belakang dengan keputusan atau aturan-aturan yang digariskan para pimpinan.
Manuver yang dilakukan para anggota parlemen di akhir periode kerja yang disambut dengan sikap serba tanggung dan tak tegas dari Presiden Joko Widodo, saya kira memang tidak boleh diamini begitu saja.
Sebagai warga yang baik kita justru tak boleh diam saat mendapati kejanggalan-kejanggalan wacana yang gelagatnya mengarah pada pelemahan negara.
Sebagai warga yang baik kita harus menyatakan pendapat.
Kita harus menolak bagian-bagian yang buruk. Bahkan kalau perlu, melawan.
Ada banyak cara menyatakan pendapat dan bersikap. Bisa melalui opini yang disampaikan di media.
Sekarang sudah jauh lebih mudah.
Sekarang tak perlu lagi mencetak selebaran-selebaran atau koran atau majalah gelap dan menyebarkannya secara klandestin.
Gerakan bawah tanah sebagaimana dilakukan para aktivis periode peralihan Orde Lama ke Orde Baru, periode Malari, dan periode reformasi, sudah kalah jauh efektif dari media sosial; Facebook, Twitter, Instagram, juga aplikasi-aplikasi berbasis percakapan multi arah semacam WhatsApp, Line, atau Telegram.
Mekanisme lainnya adalah jalur hukum.
Menggugat ke pengadilan.
Mengajukan judicial review. Dan tatkala cara-cara ini buntu, maka turun ke jalan jadi pilihan. Berunjuk rasa. Berdemonstrasi.
Pertanyaannya, apakah saat ini memang tidak ada lagi cara selain berunjuk rasa?
Semestinya ada.
Kecuali RUU KPK, bukanlah seluruh RUU yang diusulkan DPR RI telah diputuskan untuk ditunda pengesahannya dan akan dibahas kembali oleh anggota parlemen periode berikutnya?
Lalu kenapa aksi terus berjalan?
Apakah lantaran RUU KPK tetap digolkan?
Rasa-rasanya, kok, tidak.
Sebab di lapangan, para demonstran, para mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Tanah Air, mengusung aneka spanduk dan poster yang nota bene tak melulu menyinggung RUU KPK.
Kebanyakan justru menyasar RUU KUHP, khusus pada bagian yang berkait paut dengan seks dan seksualitas.
Argumentasinya sungguh aduhai: urusan seks, termasuk berhubungan intim dengan bukan pasangan sah (istri orang atau suami orang), dengan sesama jenis, dan hubungan tanpa pernikahan, merupakan ranah privat yang tak boleh dicampuri negara. Biarkan kuurus sendiri selangkanganku. Kurang lebih begitu.
Segelintir kecil mencuatkan isu agraria. Juga isu kebakaran hutan dan lahan.
Mendesak pemerintah menindak bandit-bandit yang tega menciptakan siklus jerebu.
Dan segelintir yang lebih kecil, walau sayup-sayup, menyuarakan isu khilafah --sembari menceracau, Yahudi laknatullah!
Saya tidak tahu persis kenapa penundaan tidak lantas menghentikan gelombang unjuk rasa.
Barangkali para mahasiswa memang punya pertimbangan sendiri.
Barangkali mereka menilai penundaan tidak cukup.
Presiden Jokowi mesti lebih tegas lagi. Jangan sekadar ditunda.
Sekaligus saja dibatalkan.
Sebab barangkali mereka yakin sepenuhnya bahwa anggota-anggota parlemen yang baru sama brengseknya dengan anggota parlemen yang lama.
Bandit berganti bandit. Hanya bertukar rupa kelakuan tak berbeda.
Sampai di sini saya masih bisa paham.
Sangat paham dan karena itu tetap mendukung.
Jokowi memang mesti dikejar, mesti didesak dan diingatkan agar tidak larut makin jauh dalam langgam permainan para politisi atau operator-operator lembaga internasional yang berkepentingan besar pada Undang Undang baru itu.
Namun dalam perkembangannya, aksi-aksi unjuk rasa ini seperti makin menunjukkan kejanggalan.
Ada hal-hal yang terasa berada di luar arah kendali.
Misalnya, tiba-tiba saja anak usia sekolah, yakni para siswa Sekolah Menengah Teknik (STM) ikut masuk gelanggang.
Kilah bahwa anak-anak ini turun atas dorongan solider terhadap kakak abangnya yang mahasiswa, terpatahkan karena pada saat bersamaan dengan aksi itu tiba-tiba juga terbentuk grup-grup di media sosial, terutama WhatsApp.
Grup berisikan daftar STM yang akan ikut turun ke jalan.
Ratusan jumlahnya. Dan walau belum banyak, sudah ada juga daftar SMA.
Apakah anak-anak remaja ini mampu sedemikian canggihnya mengorganisir diri?
Bisa jadi. Siapa tahu, kebiasaan bermain game online sebangsa Mobile Legend atawa Dota, yang memang menuntut kolektivitas untuk memenangkan duel demi duel, mengajarkan mereka untuk membangun kerja sama.
Sampai di sini mengemuka pertanyaan lain.
Apakah ada larangan anak usia sekolah berunjuk rasa?
Tentu saja tidak ada. Walau ada Undang Undang terkait batas usia cakap hukum yang menandakan titik peralihan usia anak (dan remaja) menuju dewasa, dalam tiap laku dan peristiwa demokrasi usia tidak menjadi syarat mutlak.
Bapak-bapak bangsa kita, para pemikir hebat di masa lalu, meretas sejarah mereka sejak usia belasan. Rata-rata memulainya dari usia 15-16 tahun. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Semaun, dan masih banyak lagi. Dalam ruang lingkup kecil, Sukarno dan Semaun bahkan sudah menjadi pemimpin pergerakan di usia 17.
Persoalannya, ada perbedaan mencolok antara jalan yang ditempuh para bapak bangsa dan anak-anak STM ini.
Sukarno, juga Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, melawan dengan cara-cara yang terpelajar.
Mereka berpikir. Mereka membaca dan menulis. Esai, pidato, bahkan buku.
Jadi yang mereka lakukan adalah melempar opini, menawarkan pemikiran, bukan melempar batu dan menyulut kerusuhan.
Namun hal yang paling membuat saya tidak habis pikir adalah pandangan terhadap sepak terjang anak-anak ini.
Alih-alih cemas dan prihatin, yang lebih banyak mencuat justru kebanggaan.
Iya, benar, kebanggaan. Beragam tanda pagar bernada memuji melesat-lesat di media sosial.

Lebih ironis, kebanggaan dan pujian ini datang dari kalangan orang-orang berusia lebih tua.
Mereka bertepuk tangan meriah, bahkan memberi semangat dan mendorong-dorong agar anak-anak STM ini, yang rata-rata turun ke jalan masih dengan mengenakan seragam sekolah, lebih kencang lagi melempari polisi.
Mereka, yang sebelumnya berteriak kencang mengutuk tawuran, sekarang malah seakan memberi restu pada anak-anak ini untuk berduel dengan polisi.
Mereka tidak sekadar melegalkan kekerasan.
Mereka memandangnya sebagai perjuangan.
Ayolah, apa yang sedang terjadi pada kita? Sudah sedemikian parahkah kebencian berurat berakar dalam hati kita hingga tega menepikan nalar sedemikian rupa? Ke mana perginya nurani kita? Ke mana perginya para aktivis hak-hak anak, para komisioner perlindungan anak yang kemarin-kemarin setengah mati meributi audisi bulutangkis? Kenapa tidak bersuara lantang? Apakah lantaran potensi terbentuknya generasi tawuran ini tak disponsori pabrik rokok?
Ayolah! Tidakkah kita bisa menyadari betapa berbahayanya situasi ini?
Betapa polisi; yang sejauh ini masih manusia biasa (bukan robot yang diprogram untuk tidak merasakan sakit dan emosi), bisa saja hilang kendali dan balik menyerang?
Seberapa tangguhlah anak-anak itu? Apalah arti batu, mistar besi, galah panjang, obeng, atau sabuk kepala gir motor di hadapan mereka yang memang disiapkan untuk menghadapi ancaman?
Sekali gebrak, dijamin, anak-anak yang sama sekali tak terlatih itu akan terkapar.
Atau jangan-jangan, memang kekacauan semacam ini yang jadi tujuan?
Agar polisi makin dicap represif?
Hari ini sudah ada yang mati di Kendari. Apakah nantinya akan berembus sentimen bahwa pemerintah tak becus menjaga rakyatnya sendiri hingga pantas untuk tak dipercayai lagi? (t agus khaidir)