Menikah Dengan Pengungsi Rohingya, Amelia Ikhlas Dua Anaknya tak Jadi WNI
Apa jadinya bila seorang wanitab asli warga negara Indonesia (WNA) menikah dengan seorang pengungsi asal Myanmar Rohingya
Penulis: Victory Arrival Hutauruk |
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Apa jadinya bila seorang wanitab asli warga negara Indonesia (WNA) menikah dengan seorang pengungsi asal Myanmar Rohingya yang saat ini di bawah penampungan UNHCR (Badan Pengungsi PBB).
Hal ini dialami, Amelia wanita asal Bandar Lampung yang menikah dengan Muhammad Salim seorang pengungsi asal Myanmar Rohingya di Hotel Top in, Jalan Flamboyan Raya, Medan.
Hasil buah cinta keduanya, keduanya kini telah memiliki dua orang anak yaitu Dwi Fitriyani (11) dan Muhammad Ridwan (9) yang saat ini telah duduk di kelas IV dan II di SD Negeri 067246 Jalan Flamboyan Raya Gg. Inpres, Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan.
Apakah pernikahan tersebut legal atau tidak, lantas bagaimana status kewarganegaraan dari anak tersebut dari ayah tanpa kewarganegaraan (stateless) dan ibu seorang WNI?
Dikutip dari Perpres RI Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri tidak ada menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan perlindungan hak-hak pengungsi di Indonesia.
Tribun, mencoba mendatangi lokasi tempat pasangan sejoli tersebut tinggal di Hotel Top In, Minggu (24/11/2019).
Amelia menerangkan dirinya berjumpa dengan Salim saat berada di Malaysia hingga bertemu pujaan hatinya tersebut di negeri jiran tersebut.
Hingga akhirnya di tahun 2011 sang suami yang hendak mencari suaka ke Australia terdampar di Lau Belawan Indonesia.
Amel menceritakan dirinya akan mengikuti jejak langkah suaminya kemanapun akan ditempatkan oleh UNHCR di negara ketiga.
Seperti diketahui saat ini negara ketiga penerima para pengungsi adalah Amerika, Kanada dan Australia.
"Saya terserah sama UNHCR aja, mau buat saya dimana saya terima.
Terserah saja, kan mereka yang ngatur semua bukan kami, kami ibarat disinikan cuman anak yang jadi orang di atas kami sekarang inikan PBB.
Dia mau letakkin suami saya dimana ya saya ikut.
Kalau bapak dipindah ke negara ketiga kami (bersama anak) pun ikut," tuturnya.
Ia mengakui ikhlas anaknya menjadi warga negara Myanmar mengikuti dari garis keturunan ayahnya.
Namun, Amel menjelaskan bahwa keputusan tersebut nantinya akan menjadi keputusan anak-anaknya untuk memilih menjadi warga negara apa.
"Sekarang ini ikut bapaknya lah, nantikan umur 18 tahun anak-anak bisa memilih mau ikut siapa, sekarang biarin aja.
Itu terserah yang ngatur saya lah, terserah PBB makanya saya pasrah sama dia, mau jadikan anak saya WNI terserah, kalau mau ikut bapaknya ya terserah.
Kita nunggu aja, saya pasrah," tuturnya dengan nada pelan.
Amel menjelaskan dirinya sangat mencintai suaminya, bahkan saat suaminya ditahan di keimigrasian dirinya tetap setia menunggu hingga mencari kost-an di sekitaran Belawan dan memilih tidak pulang ke kampung halaman di Lampung.
"Waktu di Belawan, saya memang tidak pulang makanya saya dari Belawan dipindahkan ke hotel ini diantar sama imigrasi.
Mereka tahu saya bukan kayak orang sini nikah nya curi-curi setelah nikah baru punya anak baru ngomong ke UNHCR, kalau saya enggak," jelasnya.
Hingga hari ini, meski sebagai WNI, Amel memilih untuk tidak bekerja untuk menemani suaminya yang berada di rumah.
"Saya tidak kerja, tidak dikasih, kalau kita menikah sama orang Myanmar kita tidak bisa kemana-mana, tidak boleh.
Sebenarnya boleh bekerja tapi kalau suami tidak mengizinkan, saya fokus mengurus anak-anak," jelasnya.
Bahkan, ia juga menjelaskan bahwa anak-anaknya ini adalah cucu pertama dari keluarga suaminya yang ada di Myanmar.
Untuk itu Amel sangat berharap kepada UNHCR segera menempatkan suaminya ke negara ketiga.
"Jadi memang saya sangat berharap UNCHR itu segera menempatkan suami saya ke negara ketiga.
Harapan saya memang di Kanada atau di Australia. Kalau suami saya berangkat saya juga mau ikut.
Karena suami saya ini anak pertama dia sudah rindu sekali untuk memiliki kewarganegaraan yang jelas dan bisa bertemu orang tuanya.
Karena anak-anak kami ini cucu perta keluarganya.
Dia setiap hari mau nangis ini," tuturnya.
Sementara, suami Amelia, Salim menceritakan kisah pilu yang dialami keluarganya, karena yang paling lama ditempatkan ke negara ketiga dari keluarga yang menikah campuran dengan WNI sejak 2011 silam.
"Famili Indonesia bertahan paling lama kami dari Myanmar yang nikah sama orang Indonesia.
Di Medan ini paling lama kami, bahkan yang di bawah saya semua sudah pergi itu tahun 2013, 2014.
Apa masalah saya, kenapa, saya tidak tahu kan seharusnya di jelaskan, orang UNHCR harusnya bilang kenapa masalahnya sehingga saya tidak diproseskan.
Sayakan ingin tahu karena aku sudah ngantar surat juga tapi tidak ada balasan," jelasnya.
Ia menceritakan dirinya juga sangat tertekan selama 8 tahun berada dalam pengungsian seperti layaknya penjara yang dikekang dan tak bebas.
Bahkan hal pilu yang dialami Salim adalah ketiadaan status warga negara dirinya bersama dua anaknya.
"Yang saya pikirkan itu keluarga saya, sudah tidak punya warga negara ini.
Dalam hidup pengungsian ini bukan enak kita juga tidak mau duduk-duduk saja seperti tidak berguna.
Kita pengen kerja, kita orang petani yang ingin bekerja.
Saya mohon kalau boleh bantuan jalan, negara manapun nanti kita tidak masalah, yang penting status karena sudah lama kali di pengungsian tapi tidak warga negara," tegasnya.
Terakhir, Salim menyebutkan bahwa saat ini ada 17 keluarga Rohingya yang berada di Medan yang menikah dengan wanita asal Indonesia.
"Jadi ada sekitar 17 keluarga Rohingya yang nikah sama WNI.
Itu data kita kan kawan-kawan semua, karenakan kita kenal setiap bulan Ramadan di Medan kita selalu jumpa.
Mereka ada di 3 tempat di Hotel Top In, Hotel Pelangi, dan CH Pasar III Padang Bulan," pungkasnya.
Sementara, Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Medan, Viktor Manurung menjelaskan bahwa secara hukum perdata anak-anak yang lahir dari ayah seorang pengungsi dan ibu WNI tidak memiliki kewarganegaraan.
"Itulah hukum perdata, anak mereka tidak punya kewarganegaraan.
Makannya mereka (Wanita WNI) rugi karena tidak dimiliki kewarganegaraan.
Makanya kalau ada kasus pengungsi seperti ini, mereka akan lapor ke UNHCR dan memberikan kartu pengungsi berarti anak perkawinan tersebut adalah pengungsi," jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa kasus-kasus seperti banyak terjadi di Kota Medan, seperti contohnya yang terjadi kepada pengungsi di Hotel Top In.
"Jelas ada kasus seperti itu, dimana perempuan warga negara Indonesia tinggal di Top In dengan pengungsi kawin. Jadi dia sudah tahu resikonya, karena suatu saat nanti pengungsi itu dan anaknya berangkat ke negara ketiga ya istrinya orang Indonesia tidak bisa ikut.
Tetapi kecuali kalau istrinya sudah dilaporkan ke UNHCR," Jelasnya.
Saat ditanya mengenai jumlah data wanita WNI yang menikah dengan para imigran, Viktor menjelaskan bahwa pihaknya Rudenim tidak merekap data seperti itu.
"Kita tidak ada membuat data statistik seperti itu. Kalau kitakan hanya jumlahnya saja laki-laki berapa dan perempuan berapa dan kewarganegara berapa itu yang diminta," jelasnya.
Saat ditanya terkait langkah pengawasan Rudenim melakukan antisipasi agar tidak adanya WNI lainnya yang dirugikan akibat menikah dengan pengungsi, Viktor menerangkan hanya bisa melakukan himbauan.
"Kita sudah sosialisasikan jangan kawin sama pengungsi sama warga disekitaran Community House, karena yang rugi itu warga negara Indonesia.
Dimana hak perdatanya tidak dimiliki termasuk status anaknya.
Kewajiban pengungsi terkait perkawinan itukan bukan imigrasi kalau perkawinan itu kan catatan sipil.
Walaupun dia tidak warga negara Indonesia dia kan tidak memiliki izin tinggal dan bagi mereka yang pernikahannya resmi harus melapor ke catatan sipil," jelasnya..
Viktor menjelaskan bahwa secara agama pernikahan tersebut diakui, namun secara hukum tidak diakui.
"Secara agama pernikahan itu ya tetap diakui karena pernikahan secara agama cukup wali ada orang nya.
Tetapi perdatanya kan si perempuan WNI rugi," jelasnya.
Kasus lainnya ia menjelaskan ada kasus WN Selangka kawin dengan perempuan warga negara Indonesia, lalu mereka berebut hak anak.
"Ya kita lapor ke polisi, tapi karena putrinya kam orang Srilanka kita tidak punya hak.
Makanya seharusnya kalau mau menikah dengan warga negara asing, seharusnya kita tanyakan dulu mana pasport nya, mana izin tinggal, jadi kalau resmi itu ada pasport nya dilaporkan kedutaan dan kamu bisa menuntut hak," tambah Viktor.
Baginya, kejadian seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di seluruh daerah yang menjadi tempat penampungan pengungsi.
"Itulah dampak dampak sosial dari pengungsi yang ada di Indonesia ini.
Dan itu terjadi bukan di Sumut jni saja tetapi terjadi di Jakarata, Makasar, Pekanbaru dan di beberapa titik tepat pengungsi di Indonesia," pungkasnya.
(vic/tribunmedan.com)