Kemarahan Novel Baswedan Usai Penyiram Air Keras Dituntut 1 Tahun, Langsung Mention Akun Jokowi

Pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, dituntut satu tahun penjara.

Editor: Juang Naibaho
Warta Kota/Adhy Kelana
Dua pelaku penyiraman Penyidik KPK, Novel Baswedan dengan air keras, RM dan RB keluar dari Rutan Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, untuk dipindahkan ke Rutan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2019) siang. Keduanya yang merupakan polisi aktif ditangkap di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat. 

TRI BUN-MEDAN.com - Pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, dituntut satu tahun penjara.

Tuntutan terhadap dua anggota Polri tersebut, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, itu dianggap terlalu ringan.

Novel Baswedan pun langsung bereaksi keras tak lama setelah sidang tuntutan tersebut.

Melalui akun Twitter-nya, @nazaqistsha, mantan perwira Polri itu meluapkan kemarahannya di media sosial.

Ia pun menautkan (mention) akun Twitter Presiden Jokowi.

Menurut Novel, tuntutan tersebut menjadi bukti rusaknya hukum di Indonesia.

"Selain marah saya juga miris karena itu menjadi ukuran fakta sebegitu rusaknya hukum di Indonesia. Lalu bagaimana masyarakat bisa menggapai keadilan?" kata Novel, Kamis (11/6/2020)

Novel mengaku sudah menduga akan hal ini sejak kasus penyiraman air keras masih diproses di tahap penyidikan hingga awal persidangan.

"Walaupun memang hal itu sangat keterlaluan karena suatu kebobrokan yang dipertontonkan dengan vulgar tanpa sungkan atau malu," kata Novel.

Ia menyebut proses persidangan selama ini sebagai formalitas.

Sambil me-mention akun Presiden Joko Widodo, Novel juga merasa menjadi korban atas suatu praktik yang disebutnya "lucu".

"Keterlaluan memang, sehari-hari bertugas memberantas mafia hukum dengan UU Tipikor tetapi jadi korban praktek lucu begini, lebih rendah dari orang menghina. Pak @jokowi , selamat atas prestasi aparat bapak. Mengagumkan...," tulis Novel dalam akun Twitter miliknya.

Penyidik KPK Novel Baswedan tiba di gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/2/2018). Novel kembali ke Indonesia setelah sepuluh bulan menjalani operasi dan perawatan mata di Singapura akibat penyerangan air keras terhadap dirinya.
Penyidik KPK Novel Baswedan tiba di gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/2/2018). Novel kembali ke Indonesia setelah sepuluh bulan menjalani operasi dan perawatan mata di Singapura akibat penyerangan air keras terhadap dirinya. (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Adapun dua terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis dituntut hukuman satu tahun penjara.

JPU menganggap Rahmat Kadir terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan terlebih dahulu dan mengakibatkan luka berat.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ronny Bugis selama satu tahun dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan," kata JPU yang membacakan dakwaan dalam siaran langsung PN Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020).

JPU mengatakan, Ronny dituntut bersalah karena dianggap terlibat dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan.

JPU menuntut Ronny atas Pasal 353 KUHP Ayat 2 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.

Adapun dalam fakta persidangan yang disebutkan JPU, pada 9 April 2017 Ronny meminjamkan sepeda motor Yamaha Mio miliknya terhadap terdakwa lain yakni Rahmat Kadir Mahulette.

Waktu itu Rahmat meminjam motor Ronny untuk mengamati jalur keluar masuk kediaman Novel yang ada di Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Keesokan harinya, Rahmat kembali menggunakan sepeda motor Ronny mengamati rute yang akan dia jadikan sebagai akses keluar masuk dari rumah Novel.

Lalu, di hari kejadian, Ronny diminta Rahmat yang membawa cairan asam sulfat atau H2SO4 ke kediaman Novel.

Awalnya, Ronny belum mengetahui tujuan Rahmat.

Mereka kemudian berhenti di dekat Masjid Al Ihsan tempat Novel salat subuh tepatnya di belakang sebuah mobil yang terparkir.

Di sana Ronny mengamati orang yang keluar masjid sementara Rahmat duduk di kursi keramik sambil membuka bungkusan cairan asam sulfat yamg dibawa menggunakan mug loreng hijau.

Rahmat kemudian berkata kepada Ronny bahwa ia akan memberikan pelajaran terhadap seseorang.

"Terdakwa sebagai anggota kepolisian yang bertugas memberi keamanan pada warga tidak melakukan pencegahan," ucap JPU.

Setelah melihat Novel, Rahmat Kadir meminta Ronny berkendara dengan lambat ke arah korban.

Setelah posisi mereka sejajar, Rahmat lantas menyiram badan Novel dengan asam sulfat tersebut.

Siraman itu mengenai kepala Novel.

Setelah siraman tersebut, Rahmat kemudian memerintahkan Ronny segera kabur dari lokasi itu.

Lalu, setelah itu barulah Rahmat pada Ronny menceritakan bahwa orang yang ia siram dengan air keras itu adalah penyidik KPK Novel Baswedan.

Sementara itu, Rahmat dinilai bersalah karena dianggap terlibat dalam penganiayaan berat yang mengakibatkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan.

Sandiwara Hukum

Tuntutan berupa hukuman satu tahun penjara terhadap dua terdakwa kasus penyiraman air keras penyidik KPK, Novel Baswedan dinilai mengonfirmasi dugaan "sandiwara hukum" dalam proses persidangan kasus tersebut.

"Sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan oleh masyarakat akhirnya terkonfirmasi," kata anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Alghiffari Aqsa dalam siaran pers, Kamis (11/6/2020).

Alghiffari mengatakan, sejak awal Tim Advokasi Novel telah menemukan banyak kejanggalan dalam persidangan tersebut.

Pertama, dakwaan jaksa seakan berupaya menafikan kejadian yang sebenarnya karena mendakwa kedua terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP tentang penganiayaan.

"Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia sehingga jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana," kata Alghiffari.

Kejanggalan kedua, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan jaksa di persidangan.

Menurut Tim Advokasi Novel, ada tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan duduk perkara namun justru tak dihadirkan.

Padahal, tiga saksi itu pun juga sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Polri.

"Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi hukum pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah Jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," kata Alghiffari.

Ketiga, Jaksa Penuntut Umum terkesan justu membela para terdakwa bila melihat tuntutan 1 tahun penjara yang diberikan kepada kedua terdakwa.

Tim Advokasi Novel juga menilai. JPU justru kerap memberi pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Novel dalam sidang kesaksian Novel.

"Semestinya jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru mebuat perkara ini semakin keruh," ujar Alghif.

Kejanggalan lainnya yakni bantuan hukum yang diberikan Polri kepada kedua terdakwa yang berlatar belakang sebagai anggota Polri tersebut.

Berdasarkan kejanggalan-kejanggalan di atas, Tim Advokasi Novel pun menganggap persidangan kasus ini digelar untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman sekadarnya serta menutup keterlibatan auktor intelektualis.

"Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elite mafia korupsi dan kekerasan," kata Alghiffari.

(*)

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Novel Baswedan Marah Penyiram Dirinya Dituntut 1 Tahun Penjara: Mention Presiden Jokowi, Selamat . ., dan Kompas.com dengan judul "Polisi yang Bonceng Penyiram Air Keras Novel Baswedan Dituntut 1 Tahun Penjara"

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved