Sosok Teguh Prakosa, Wakil Gibran di Pilkada Solo yang Ternyata Memulai Karir Sebagai Guru Olahraga
Teguh menjelaskan, terlahir dari keluarga dengan garis ekonomi menengah ke bawah membuat dirinya senang bersosialisasi.
TRIBUN-MEDAN.com - Calon Wakil Wali Kota Solo, Teguh Prakosa mengungkap kisah hidupnya saat berbicang-bincang dengan Rektor Universitas Suraktarta, Arya Surendra.
Teguh Prakosa blak-blakan bahwa dulunya dia adalah seorang guru olahraga. Karirnya sebagai seorang guru dia mulai tahun 1990 dan berhenti di tahun 2009.
Teguh bercerita bahwa saat kuliah di Pendidikan Olahraga Universitas Sebelas Maret pernah mengalami kendala karena kesibukannya aktif di partai dan aktivitas sosialnya.
"Dalam perjalanan saya kenapa kuliah saya itu lambat, karena diperjalanannya juga saya berkecimpung di dunia politik khususnya di PDI Perjuangan," ujar Teguh.
Kata Teguh, dia terlahir dari keluarga dengan garis ekonomi menengah ke bawah membuat dirinya senang bersosialisasi.
Ada hal unik yang Teguh sampaikan dalam kisahnya, dimana dirinya sempat ditawarkan diangkat menjadi PNS oleh salah satu Wali Kota Solo waktu itu.
Namun, Teguh memilih jalannya untuk mengabdi pada Partai Politik yakni PDI Perjuangan.
"Sebetulnya saya diberi kesempatan oleh wali kota PDI Perjuangan pertama itu tahun 2000, Pak Slamet Suryanto, itu kesempatannya ada jadi PNS, tak kasih waktu berfikir seminggu, kalau iya besok langsung daftar," kisah Teguh.
Menurutnya menjadi guru adalah sebuah pekerjaan yang mulia dan menjadi PNS tentunya menjamin kehidupannya.
Namun, sepertinya ia memiliki pemikiran lain, menolak kesempatan itu untuk mengabdi pada partai.
"Saya tidak tahu, saya berfikiran berbeda, jadi saya dateng seminggu setelah itu, menyampaikan pada Pak Slamet, mohon maaf terimakasih atas kesempatannya, tapi saya memilih pada jalur saya di partai," ujar Teguh.
Dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang guru, Teguh menemukan jiwanya.
Jiwa untuk membimbing anak-anak ke arah yang lebih baik, apalagi sebagai guru olahraga dirinya berkesempatan pula menjadi guru bimbingan konseling.
"Sebagai guru, saya orang jalanan, artinya kehidupan saya di jalan, saya berasal dari keluarga yang di bawah garis ya, pada waktu itu membawa saya pada kehidupan sosial yang lebih tinggi," ujar Teguh.
Dirinya pun berkisah bahwa sebagai seorang guru, pahit manisnya turut ia rasakan. Sempat dirinya hanya digaji Rp26.000 per bulan, namun menurutnya hal tersebut patut ia syukuri dan nikmati.
"Jadi saya nikmati dari 3500 per jam nya, paling sebulan cuma dapet 26.000," cerita Teguh.
(tio/tribunmedan.com)