Hari Guru di Sumut

Mengenal Sosok Yenita Sari, Guru Honorer yang Mengajar hingga Malam Meski Gajinya Seadanya

Satu diantaranya ada Yenita Sari, guru honorer SD di Kecamatan Medan Labuhan yang sudah mengabdi sejak tahun 2001.

HO / TRIBUN MEDAN
Yenita bersama anak didiknya saat berada di sekolah sebelum pandemi beberapa waktu lalu. 

TRIBUN-MEDAN.com - Guru dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Begitulah ungkapan bagi para guru yang tak pernah lelah terus mengabdi dalam bidang pendidikan. 

Satu diantaranya ada Yenita Sari, guru honorer SD di Kecamatan Medan Labuhan yang sudah mengabdi sejak tahun 2001.

Artinya, sudah sekitar 19 tahun Yenita berkecimpung dalam mendidik anak bangsa.

Saat dihubungi via telpon, Yenita tak mampu menahan Isak tangisnya saat menceritakan kisah hidupnya.

Berusia 44 tahun, ternyata Yenni sudah mencoba tes CPNS sejak berusia 25 tahun. Ia sendiri hampir putus asa lantaran di usianya sulit untuk kembali berjuang mengikuti CPNS.

"Sudah 19 tahun mengabdi, tapi di usia sekarang sepertinya sudah tidak bisa lagi ikut CPNS ini. Kami berharap kami yang honorer K2 ini hendaknya dapat perhatian dari pemerintah. Selama ini BPJS kesehatan tidak ditanggung, ya berharap banyak kita ada dapat perhatian dari pemerintah daerah," ungkap Yenita kepada Tribun Medan, Rabu (25/11/2020).

Walaupun begitu, Yenita sendiri tetap gigih mengajar para siswanya yang mayoritas anak nelayan tersebut. Yenita sendiri mengakui bahwa pandemi ini menjadi tantangan dirinya dalam mengajar anak didiknya.

Yenita bercerita bahwa semasa pandemi, anak-anak yang tidak punya ponsel datang tiap hari ke rumahnya, seperti pagi, sore, bahkan terkadang malam hari untuk menanyakan PR.

"Kadang anak-anak ini tidak semua punya Hp apalagi orang tua mereka yang mayoritas nelayan kan kadang hpnya dibawa orang tua bekerja. Jadi yang tidak punya HP ini saya persilahkan datang ke rumah. Kadang datangnya pagi, sore, kadangpun malam, tapi demi anak bangsa kita harus melayani ya," tutur Yenita.

Tidak jarang juga, Yenita sempat mendengar celotehan warga jika makan gaji buta karena melaksanakan pembelajaran secara daring.

Ia sendiri menepis hal tersebut dengan tetap memberikan pengajaran baik daring lewat wa ataupun menerima muridnya untuk datang langsung ke rumah.

"Yang katanya belajar daring itu enak dan santai. Nyatanya tidak, kami susah sebenarnya belajar daring. Kadang ada ceplosan enak makan gaji buta. Lebih enak datang sekolah mengajar karena mereka bisa lebih mengerti. Tapi ada yang yang menganggap seperti itu, cukup sedihlah," ujarnya.

Belasan tahun mengajar, dua tahun terakhir Yenni akhirnya merasakan gaji sebesar Rp 850 ribu per bulan.

Sebelumnya, Yenni hanya bergaji Rp 500 ribu dan hal tersebut tergantung keluarnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

"Alhamdulillah baru dua kali ini merasakan gaji di atas Rp 500 ribu setelah 17 tahun mengajar. Penggajiannya ini tergantung dari dana BOS. Apalagi sebelum ada BOS gaji hanya Rp 85 ribu. Kita tetap bersyukur," kata Yenita.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved