BPODT Akan Eksekusi 27 Rumah Milik Pomparan Ompu Ondol di Sigapiton

"Saat ini kita sedang menggugat secara perdata di PN Balige, nomor : 15/Pdt.G/2021/PN.Balige," ungkap Mangatas Togi Butarbutar. 

Penulis: Maurits Pardosi |
TRIBUN MEDAN/ARJUNA BAKKARA
Pemandangan Desa Wisata Sigapiton, Kabupaten Tobasa. 

TRIBUN-MEDAN.com, BALIGE - Sebanyak 27 unit rumah milik Pomparan Ompu Ondol di Dusun Sielangleang, Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, direncanakan akan segera dieksekusi oleh Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT).

Perencanaan eksekusi ini mulai dibahas oleh Forkopimda.

Atas rencana ini, keturunan Ompu Ondol yang mengaku sebagai pemilik hak atas lahan tersebut menolak secara tegas. 

Ketua Parsadaan Pomparan Ompu Ondol, Mangatas Togi Butarbutar (48) mengatakan pihaknya sama sekali tidak ada menerima pemberitahuan terkait rencana eksekusi 27 unit rumah milik keturunan Ompu Ondol di Kaldera Sibisa. 

"Soal adanya rencana eksekusi terkait keberadaan kami di tanah adat kami, hingga saat ini belum ada pemberitahuan resmi dari pihak manapun kepada kami, sedangkan persoalan ini sekarang sedang dalam proses hukum. Disidangkan di PTUN dan sampai sekarang masih tahap kasasi di Makamah Agung, dan masih menunggu putusan," Ketua Parsadaan Pomparan Ompu Ondol, Mangatas Togi Butarbutar pada Senin (15/3/2021). 

"Saat ini kita sedang menggugat secara perdata di PN Balige, nomor : 15/Pdt.G/2021/PN.Balige," ungkap Mangatas Togi Butarbutar. 

Ia juga mengatakan bahwa hingga saat ini pihaknya taat hukum lalu menceritakan perjuangan panjang mempertahankan lahan Dusun Sileangleang bahkan sebelum ada BPODT.

Dalam penuturannya, pada tahun 2014 pihaknya sudah menyurati pemerintah termasuk  Bupati Toba Samosir (Kini Toba), DPRD Tobasa, Gubernur Sumut, DPRD Provinsi, DPR RI,  Menteri KLHK, hingga Presiden RI,  supaya menegaskan hak keturunan Ompu Ondol, dimana lahan ini pernah dipinjam pakai untuk reboisasi pada tahun 1975. 

"Kita punya bukti penyerahan dari orangtua terdahulu kepada kepada Dinas Kehutanan Provinsi Sumut. Itu juga bukti yang kita ajukan di persidangan, dan itu diakui oleh Dinas Kehutanan Provinsi," ujarnya. 

"Tahun 2015 surat kita dibalas oleh dinas Kehutanan Kabupaten Tobasa, isinya mereka tidak keberatan dan disarankan kepada kita supaya diusulkan ke Menteri KLH. Kita diminta untuk melengkapi berkas dan sudah kita ajukan lewat program Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T)," tegasnya. 

Ia menyampaikan bahwa pihaknya juga telah memenuhi segala persyaratan dimaksud dalam TP4T tersebut.

Dinas Kehutanan Toba sudah turun ke lokasi melakukan identifikasi dan verifikasi keberadaan obyek lahan yang diajukan berdasarkan penyerahan tahun 1975. 

"Sayangnya, tidak lama kemudian lahirlah BPODT tahun 2016, dan hasil verifikasi itupun berhenti dan tidak tau dimana rimbanya. Kehadiran BPODT di tahun 2016, dibentuk kembali tim dari Dinas Kehutanan atas usulan Gubernur Sumut, lalu kembali turun tim Terpadu KLHK untuk identifikasi dan verifikasi zona lahan BPODT yang diusulkan. Hasilnya, dibenarkan bahwa lahan yang direncanakan sebagai lokasi BPODT mencakup 3 desa yakni Desa Sigapiton, Desa Pardamean Sibisa dan Desa Motung," papar Mangatas. 

Saat itu, imbuh Togi, pertimbangan tehnis KLHK mengakui keberadaan pomparan Ompu Ondol ada di dalam dengan bukti-bukti ada makam, ada rumah penduduk dan bekas perkampungan lama yang masih terawat hingga saat ini. 

Lagi-lagi terkait rencana eksekusi yang akan dilakukan BPODT, pihaknya mengaku keberatan. Mangatas bahkan meminta agar BPODT menghargai proses hukum yang sedang berjalan. Direncanakan sidang kedua akan berlangsung tanggal 30 Maret 2021 di PN Balige. 

Jika BPODT dan pemerintah memaksakan melangsungkan eksekusi rumah di Sigapiton dusun Sileangleang yang disebut Nomadic Kaldera Toba, pihaknya akan bertahan hingga titik darah penghabisan. 

"Kita akan berjuang hingga titik darah penghabisan. Tim terpadu dari Pemkab Toba pernah mensosialisasikan kepada kami, bahwa kami akan menerima upah bongkar bangunan Rp.5.000.000 per unit, namun dana tersebut dengan tegas kita tolak. Alasannya, pemerintah tidak manusiawi dalam hal pemberian dana bongkar tersebut, sekali lagi saya katakan, sangat tidak manusiawi," ujar Togi. 

Dari 27 unit rumah, 1 rumah permanen hanya disiapkan dana bongkar sebesar Rp. 20.000.000 selebihnya yang 26 lagi hanya Rp.5.000.000 per unit. Sosialisasi diadakan pada bulan Agustus tahun 2020 lalu. 

"Kamipun kaget kalau ada upaya bongkar, apa alasannya mau membongkar karena hak-hak kami belum dipenuhi. Tanah 120 Ha dan rumah-rumah ini adalah lahan kami, jadi pemerintah harus memberikan ganti rugi kepada kami keturunan Ompu Ondol," pinta Mangatas. 

Yang terjadi saat ini, imbuh Mangatas, justru terjadi jalur tol guna memuluskan pembangunan oleh BPODT. 

"Dari awal kita kasi lokasi nomadic escape seluas 2 Ha, karena ada janji dari pihak pemerintah waktu itu. Katanya sembari akan diselesaikan hak-hak masyarakat terkait lahan,  bangunan dan segala di atasnya, dan tarnyata justru yang dibayar hanya tanaman tegakan milik penggarap di lahan tersebut atas nama kelompok tani HKM (Hutan Kemasyarakatan)," terangnya. 

Mangatas juga berharap pemerintah khususnya Presiden Joko Widodo agar memberikan hak-hak warga keturunan Ompu Ondol. 

"Tolonglah diberi hak kami yang sepatutnya. Kami tidak anti pembangunan tapi penuhilah hak-hak masyarakat secara wajar," pungkas Mangatas.

(cr3/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved