Masjid Al Hadhonah Balige yang Dibangun Warga Non Muslim Secara Gotongroyong

Imam pertama di mushola ini namanya Johannes Nainggolan yang dipanggil sebagai Haji Muhammad Nainggolan yang berasal dari Sosor Tangga.

Penulis: Maurits Pardosi |
MAURITS PARDOSI / TRIBUN MEDAN
Masjid Al Hadhonah Balige yang terletak di Kelurahan Napitupulu, Kecamatan Balige, Kabupaten Balige. 

TRIBUN-MEDAN.com, BALIGE – “Dibangun karena cinta dan penerimaan yang baik dari warga sekitar membuat Masjid Al Hadhonah Balige berdiri kokoh dan bertumbuh hingga saat ini,” ujar Ketua Badan Kenaziran Masjid Al Hadhonah Balige Bangun Sibarani, Rabu (14/4/2021). 

Berada di tengah Kota Balige tepatnya di Kelurahan Napitupulu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba membuat Masjid ini unik.

Dibalut dengan sikap tolong-menolong antar umat beragama, Masjid Al Hadhonah Balige yang dulunya sebuah mushola dapat dibangun hingga saat ini tetap bertumbuh. 

“Dalam pembangunan mushola ini, semua penghulu agama yang ada di kawasan ini sangat kompak dan saling bahu-membahu. Bahkan pemilik tanah yang kini jadi Masjid ini adalah non muslim. Inilah gambaran bahwa kerukunan antar umat beragama itu sudah tampak dan bertahan hingga saat ini,” sambungnya. 

Di lokasi, masyarakat mayoritas non muslim, namun pengakuan Bangun Sibarani, mereka merasa nyaman dan bahkan hari besar umat Muslim menjadi kesempatan merekatkan persaudaraan yang tetap lestari sejak dulu. 

Melalui jasa seorang penyebar agama muslim Djahoet Napitupulu, ayah kandung dari Mara Qodim Napitupulu yang datang dari Sibolga sebagai seorang pedagang.

Ia datang ke Balige berdagang dan dalam komunikasi bersama orang-orang sekitar, ajaran iman agama Islam tersebut diterima dan kemudian tersebar. Dalam perjalanan waktu, iman itu bertumbuh subur hingga membangun sebuah mushola. 

Pada masa itu, Kota Balige juga telah menjadi pusat perdagangan dari berbagai daerah. Dan, pasar merupakan tempat orang banyak bertemu, berkomunikasi, serta saling bertukar informasi.

Hal inilah sebagai jalan penyebaran ajaran agama Islam. Pada masa itu, dikisahkan bahwa agama-agama budaya tengah berkembang, bahkan sejumlah masyarakat yang menjalani aliran kepercayaan animisme juga masih banyak. 

Sepintas, ia menguraikan bahwa persebaran agama Islam yang di kawasan Balige melalui jalur perdagangan. Ia mengatakan bahwa pemilik tanah ini awalnya adalah orang tua Lobe Sangajo Napitupulu. 

“Lalu, dikasihlah kepada Lobe Sangajo Napitupulu yang bekerja sama dengan Lobe Leman Napitupulu untuk mendirikan mushola pada tahun 1916,” ujar Bangun Sibarani. 

Pembangunan mushola pertama ini juga dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat sekitar yang mayoritas non muslim.

Dari telaahnya, semangat kebudayaan dan sikap sosial pada waktu yang membuat kebersamaan terus terpupuk. Bahkan, hingga saat ini hal itu masih terjadi. 

“Pada tahun 1916 sudah ada 150 KK umat Islam di sini. Selanjutnya, izin-izin diusahakan oleh Lobe Leman Tampubolon dari Desa Sibolahotang. Imam pertama di mushola ini namanya Johannes Nainggolan yang dipanggil sebagai Haji Muhammad Nainggolan yang berasal dari Sosor Tangga,” tuturnya. 

Sebagai bangunan, segala izin dan perawatan pun dibereskan. Sehingga, secara administratif bangunan tersebut diakui oleh masyarakat sekitar.

Perjalanan  panjang membuat mushola tersebut ditingkatkan menjadi masjid pada tahun 1964. Hal itu diakibatkan okeh jumlah umat yang semakin pesat dari waktu ke waktu. 

“Pada tahun 1923, ini dipercayakan kepada Lobe Tinggi Pardede atau Haji Abdul Halim Pardede. Pada tahun 1964, para pemuka agama Islam menjadikan mushola ini menjadi masjid,” 

“Saat itu diketuai oleh Haji Harahap, dilanjutkan oleh Haji Hasibuan Halasan Simangunsong dan barulah saya, yang berlaku dari 2020 hingga 2023 nanti. Baik mushola maupun masjid itu punya Badan Kenaziran biasanya berganti per lima tahun,” sambungnya. 

Setelah menjadi masjid sejak tahun 1964 hingga saat ini, masjid ini juga sudah direhab berulang kali.

Sehingga, masjid kini memiliki perpustakaan sebagai bilik menimba ilmu khasanah iman sebelum dan sehabis jalankan sholat di masjid. 

“Pada tahun 1964 Ustadz Syamsuddin Simangunsong bersama alim ulama lainya, Ustadz Arso, Haji Mohammad Tua Sibarani sebagai Kepala Kantor Urusan pada saat itu, beserta Masyarakat Kaum Muslimin dan Muslimat SE Kota Balige mengajukan agar Musholah Al Hadhonah ditingkatkan menjadi Masjid Al Hadhonah Balige,” lanjutnya. 

Masjid ini punya dua lantai dengan tujuan yang berbeda. Di lantai I, jamaah bisa jalankan sejumlah kegiatan bernuansa religi, misalnya pemandian jasad dan sekaligus sholat untuk orang meninggal, juga digunakan sebagai tempat seminar ataupun kegiatan kaum muda masjid. 

“Di lantai I misalnya Pelaksanaan fardu Kifayah (memandikan dan pelaksanaan nya), bisa juga dilakukan kegiatan PHBI dan sarana olahraga untuk jamaah contohnya tenis meja,” sambungnya. 

Ia menyampaikan bahwa pergantian pengurus  semula 5 tahun sekali, akhir akhirnya menjadi 3 tahun sekali.

Sementara, di lantai II, jamaah menjadikan sholat. Kaum laki-laki dan perempuan langsung terbagi dua saat berada di gerbang.

Bila kita menghadap masjid, kaum perempuan langsung mengambil arah ke sebelah kanan dan menaiki tangga hingga sampai masuk ke ruang sholat di lantai II.

Sebaliknya, kaum lelaki dapat mengambil posisi sebelah kanan dan menaiki tangga hingga menuju bilik sholat di lantai II.

(cr3/tribun-medan.com) 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved