Breaking News

Juru Bicara KKB-OPM Sebby Sambom Tak Mengakui Klaim Benny Wenda: Dia Warga Negara Inggris

Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menjelaskan jika pihaknya tidak mengakui klaim Benny Wenda itu.

Editor: AbdiTumanggor
Facebook KNPB
KKB Papua 

TRIBUN-MEDAN.COM - Sering teriakkan kebebasan Papua, Benny Wenda ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) justru tidak diakui oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Dalam artikel Kompas.com yang tayang pada Desember 2020 lalu, Benny Wenda awalnya  mengklaim akan membentuk Pemerintah Sementara Papua Barat.

Sebagai ketua United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP atau nama lainnya Organisasi Papua Merdeka (OPM), Benny Wenda ternyata sangat ingin menjadi presiden Papua Barat.

Hal itu diumumkannya pembentukan kabinet, Sabtu (1/5/2021) lalu.

Ia sampaikan melalui pernyataan tertulis mengenai pembentukan 12 departemen yang akan bekerja di bawah kabinet baru.

Namun nama-nama menteri yang menjabat di dalam kabinetnya masih dirahasiakan.

Sementara, OPM menilai klaim itu sebagai bentuk kegagalan ULMWP.

Anggota KKB Papua
Anggota KKB/OPM Papua (ANTARA)

VOA Indonesia kala itu memberitakan juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menjelaskan jika pihaknya tidak mengakui klaim Benny Wenda itu.

"Benny Wenda lakukan deklarasi dan umumkan pemerintahannya di negara asing yang tidak mempunyai legitimasi mayoritas rakyat bangsa Papua, dan juga di luar dari wilayah hukum revolusi."

"Dia adalah warga negara Inggris. Menurut hukum international bahwa warga negara asing tidak bisa menjadi presiden Papua Barat," kata Sebby kepada VOA melalui keterangan tertulisnya, Rabu (2/12/2020).

Juru bicara OPM Sebby Sambom mengatakan, pihaknya akan mengajukan permohonan uji materi ke Pengadilan Internasional terkait langkah pemerintah Indonesia untuk menyatakan kelompoknya sebagai teroris.
Juru bicara OPM Sebby Sambom mengatakan, pihaknya akan mengajukan permohonan uji materi ke Pengadilan Internasional terkait langkah pemerintah untuk menyatakan kelompoknya sebagai teroris. (Via Surya.co.id)

Dengan keinginannya menjadi presiden Papua Barat tidak diakui, seharusnya Benny Wenda menyerah.

Namun tidak, Benny Wenda justru membuat klaim yang lebih kontroversial.

Melansir South East Asia Globe, operasi militer Indonesia di Nduga menjadi dasar badai sempurna, yang bahkan tidak bisa dikendalikan oleh Presiden Joko Widodo.

Selain membentangkan perang gerilya skala kecil terhadap pos militer terisolasi dan serangan kecil terhadap operasi tambang emas dan tembaga Freeport-McMoRan di Timika, pemerintah Indonesia terus memperluas kehadiran militer mereka tanpa lakukan dialog yang cukup panjang.

Hasilnya adalah penangkapan massa dan aktivis kemerdekaan yang damai, pergerakan langkah sosial dan pembunuhan para pemuka agama termasuk Pendeta Yeremia Zanambani yang berusia 63 tahun, terbunuh saat memberi makan babinya di provinsi Intan Jaya.

"Pejabat Indonesia tingkat tertinggi telah membuat ancaman serius terhadap Benny Wenda, ULWMP dan anggota dan pendukungnya di Papua Barat," ujar Jennifer Robinson, pengacara di Doughty Street Chambers di London dan juru bicara Pengacara Internasional untuk Papua Barat yang dilansir dari Intisari yang berjudul:Terus Diabaikan KKB Papua Kala Nafsu Berkuasanya Kian Menggebu, Benny Wenda Kini Malah Samakan Bumi Cenderawasih dengan Penyakit Mematikan Ini, 'Tidak akan Hilang Sampai Kami Merdeka'

Sejak tahun 1960-an, Indonesia tunjukkan niat untuk mempertahankan Papua Barat.

Lagu pahlawan 'Dari Sabang Sampai Merauke' menjadi dasar generasi selanjutnya narasi membenarkan aneksasi Indonesia ke Papua Barat.

Aneksasi ini diklaim dimotivasi karena ketergantungan fiskal terhadap hasil tambang di Freeport, sumber daya minyak di perairan Papua Barat dan hutan yang bisa dibersihkan dan dijual untuk jadi perkebunan kelapa sawit.

Prajurit TNI menelusuri kawasan Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua
Prajurit TNI menelusuri kawasan Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua (Achmad Nasrudin Yahya via kompas)

Di desa Dome, sepanjang tepi sungai Fly River, banyak warga Papua Barat membagikan pengalaman mereka, kehilangan dan mimpi buruknya, laporan mereka dilengkapi dengan perbuatan lebih buruk yang dilakukan pemerintah.

"Apa hal baik yang akan didapat? Reporter asing sudah pernah di sini sebelumnya, tanpa hasil apa-apa," ujar mereka.

"Jadi mengapa berbicara dengan Anda?"

Pria tertua Dome yakin ia berumur lebih dari 100 tahun dan memiliki penglihatan yang buruk.

Ia telah berumur panjang, pernah mengawasi misionaris pemerintahan kolonial Belanda, dikirim menyusuri sungai untuk menginformasikan "orang biadab" tentang manfaat keselamatan dan peradaban.

Namun penyelesaian telah sampai di bentuk kolonialisme Indonesia lewat perkebunan kelapa sawit, tambang emas dan tembaga, penyakit, pembunuhan dan tekanan tokoh politik.

"Papua Barat tetap menjadi korban ide kolonial dan diperlakukan seperti orang biadab yang perlu pembangunan dan kapitalisme," ujr Sophie Chao, pakar antropologi dan etnografi di School of Philosophical and Historical Inquiry kepada Globe.

Dukungan diam PBB untuk aneksasi Indonesia di tahun 1960-an dan eksploitasi tanpa henti menutup pintu ke dunia luar bagi warga Papua.

Bagi Benny Wenda yang klaimannya justru tak dikaui KKB/OPM di Papua; hal itu adalah pengkhianatan yang membuat perlu sebuah pertanggungjawaban 'kesempatan untuk kebebasan' di pundak komunitas global umumnya."

"PBB tahu betul apa yang sedang terjadi di Papua Barat saat ini, PBB tahu warga Papua Barat tidak ingin menjadi bagian Indonesia," ujar Benny Wenda.

"Papua Barat adalah kanker di jantung PBB, dan isu ini tidak akan pergi sampai hak kemerdekaan diberikan melalui referendum kemerdekaan," ujarnya.

Benny Wenda menjadi pembicara di TEDxSydney bersama Jennifer Robinson pada 2013 silam.
Benny Wenda menjadi pembicara di TEDxSydney bersama Jennifer Robinson pada 2013 silam. (YouTube TEDxSydney)

Ditolak Australia dan Selandia Baru

Walaupun klaimnya tak diakui KKB-OPM di Papua, Benny Wenda tetap ngotot.

Malah ia mulai mengemis dukungan negara lain, setelah Australia dan Selandia Baru menolak memberi dukungannya.

Benny Wenda merasa dirinya kehilangan dukungan dari berbagai sisi, termasuk dari dua negara yang selama ini diharapkan menjadi bentengnya memisahkan Papua Barat dari Indonesia.

Rentetan kekecewaan tersebut nampaknya mendorong rasa frustasi pada diri Benny Wenda sehingga akhirnya dirinya mulai mengemis dukungan dari negara yang justru jelas-jelas banyak menjebak negara miskin.

Benny Wenda yang kian kehilangan dukungan tersebut kemudian menyebut bahwa perjuangan rakyat Papua sudah berlangsung hampir 60 tahun.

"Rakyat Papua tidak berada di tangan yang aman selama masih dikuasai Indonesia," ujar Benny Wenda kepada The Australian yang dikutip dari TribunManado.co.id dengan judul Sosok Benny Wenda yang Dulu Kukuhkan Diri sebagai Presiden Papua Barat, Begini Nasibnya Sekarang

Bahkan Benny Wenda menyebut bahwa sejak tahun 1960, sudah hampir 500.000 warga Papua yang terbunuh, termasuk wanita dan anak-anak.

"Sejatinya ada genosida yang berjalan lambat di tanah Papua yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia."

Di sisi lain, menurut pria yang lahir di Lembah Baliem tersebut menyebut dua negara yang selama ini diharapkannya, Australia dan Selandia Baru, kian hari kian menolak untuk bertindak atas krisis yang terjadi di Papua.

Hal inilah yang pada akhirnya membuat pria yang lahir tepat saat peringatan kemerdekaan Indonesia ke-29 tersebut mulai berani mengemis dukungan dari negara lain.

Sang pemberontak memilih untuk mulai membuka diri jika sebuah negara yang biasa menjebak negara-negara miskin sudi memberinya dukungan.

Meniadakan risiko bahwa tanah Papua kelak malah berada di bawah kekuasaan ekonomi negara tersebut, Benny berujar "Jika mereka ingin mendukung kami, kamu akan menyambut mereka dengan tangan terbuka."

Baca juga: Benarkah Pasukan Elite Denjaka TNI AL Dikirim ke Papua? Cek Fakta, Kadispen Korps Marinir: Itu HOAX

Baca juga: AKHIRNYA THR PNS, PPPK, dan Pensiunan Sudah Cair, Ini Besarannya, Bagaimana Honorer?

Baca juga: Perlawanan KKB setelah Dilabeli Teroris: Bakar Sekolah dan Puskesmas, Jalan dan Jembatan Diputus

Baca juga: INILAH 3 Poin Permohonan KKB Papua setelah Presiden Murka dan Ketua MPR Minta Tumpas Habis Semuanya

Pendukung kemerdekaan Papua berunjuk rasa pada Selasa (01/12/2020), bertepatan dengan momen yang diyakini sejumlah kalangan sebagai hari kemerdekaan Papua.
Pendukung kemerdekaan Papua berunjuk rasa pada Selasa (01/12/2020), bertepatan dengan momen yang diyakini sejumlah kalangan sebagai hari kemerdekaan Papua. (JUNI KRISWANTO / AFP)

Bak sudah sangat frustasi, Benny bahkan menyebut dirinya akan menerima dukungan dari negara apapun meski memiliki ideologi yang berbeda. 

Negara yang dimaksud oleh Benny tidak lain adalah China, sebuah negara yang kini mulai menancapkan pengaruhnya di banyak negara miskin di dunia.

Ya, China saat ini dikenal sebagai negara yang sangat menggembar-gemborkan bantuannya untuk negara-negara miskin, meski di sisi lain mereka pun mulai menancapkan kekuasaannya di negara yang mereka bantu tersebut

Sikap Benny Wenda mulai mengemis bantuan dari China sendiri didorong oleh sikap seorang gubernur di sebuah provinsi di negara tetangganya.

Pada 2020, Perdana Menteri Provinsi Malaita di Kepulauan Solomon menuntut wilayahnya merdeka.

Hal ini dipicu oleh perubahan Kepulauan Solomon yang semula mendukung Taiwan, namun kemudian malah mendukung kampanye Satu China.

Kampanye ini sendiri pada akhirnya secara tidak langsung mengakui bahwa Taiwan adalah bagian dari China.

Nah, mengabaikan bahwa China dianggap sebagai penjajah oleh banyak negara, Benny Wenda memilih untuk merayu China karena sadar bahwa musuh utama AS dalam perang dagang ini sangat bernafsu menguasai negara-negara miskin secara utuh.

Ya, pada akhirnya, Benny Wenda yang menuntut kemerdekaan itu malah mulai mengundang China untuk 'menjajah' Papua, meski mungkin hanya secara ekonomi. (*)

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved