Cuitan Dosen Ini Ternyata Bikin Banyak Warganet Tersinggung

Postingan seorang dosen yang sering aktif di media sosial memantik perdebatan netizen.

Editor: AbdiTumanggor
VIA TRIBUN SUMSEL
Postingan Dosen memantik perdebatan di media sosial, Sabtu. 

TRIBUN-MEDAN.COM - Postingan seorang dosen yang sering aktif di media sosial memantik perdebatan netizen.

Pasalnya, Dosen Akuntansi Universitas Padjadjaran, Ersa Tri Wahyuni mencuit mempertanyakan mengapa generasi muda sulit sekali mencapai tes TOEFL 550, ambang batas atas tes kemampuan berbahasa Inggris.

Biasanya, jumlah skor TOEFL ini jadi persyaratan untuk meraih beasiswa ke luar negeri.

Namun, pertanyaan Ersa lebih menyudutkan generasi muda sampai menyebut nama generasi Milenial.

Bahkan lebih terkesan meremehkan dan merendahkan generasi sekarang.

Padahal, menurut Ersa Tri Wahyuni, harusnya segala fasilitas seperti menonton YouTube, film, ebook bahasa Inggris dan sebagainya lebih memudahkan skor itu tercapai.

"Serius nanya utk mereka yg usianya 17-21 tahun.

Emangnya susah banget ya mencapai TOEFL 550?

Kalian kan milenial, nonton youtube, film, ebook bahasa inggris dsb?

Harusnya mudah gak sih ya?," tulisnya ditutupi kalimat tanya, pada Kamis (20/5/2021) malam. 

Dia mengisahkan betapa susah mendapat buku tata-bahasa ataupun untuk tes, berbeda dengan zaman sekarang. 

"Atau mungkin gak ngerasa penting kali punya nilai TOEFL atau IELTS score tertentu gitu ya?

Jadi pada santai aja gitu ya walaupun nyadar bahasa inggrisnya lemah?

Saya asli nanya sih ini," lanjut Ersa bertanya lebih tajam pada Jumat (21/5/2021) dini hari.

"Bayangin perjuangan boomer kayak saya dulu belajar (bahasa) Inggris, lebih berat," sambungnya.

Namun, pernyataan justru menyinggung rata-rata warganet karena beberapa hal.

Warganet paling benci dengan adu-aduan nasib generasi dulu yang lebih susah ketimbang generasi sekarang.

"Lho banyak yg tersinggung ternyata (emotikon tertawa ngakak).

Padahal asli nanya saya ini, pengen tahu beneran.

Saya pikir akan lebih gampang untuk kalian krn lebih terekspose dengan bahasa ini di lingkungan sekeliling, gitu lho.

Oh tapi ternyata gak juga ya? Ya baiklaaah... (tertawa kecil)

Jadi paham," tulisnya Jumat (21/5/2021) petang.

Bahkan Ersa sendiri baru sadar dirinya masuk dalam Generasi X (lahir tahun 1965-1980), bukan Baby Boomer (lahir tahun 1946-1964). 

Tambahan pula, warganet melihat awal cuitan Ersa salah sasaran menuduh generasi Milenial dengan menyebut usia 17 hingga 21 tahun.

Pasalnya, rentang usia itu masuk dalam golongan Gen Z (antara 2002-2006), bukan Gen Y atau Milenial.

"Milennial-milennial wae, ngarti teu sih sabenerna? (Milennial-milennial aja, paham nggak sih sebenarnya?" ujar pengguna @rzl____ menggunakan bahasa Sunda.

Tak lupa, melampirkan tabel penamaan generasi.

Mengutip Kompas.com, saat menerbitkan hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2020, Badan Pusat Statistikmengelompokkan Gen Z lahir antara tahun 1997-2021, dengan usia saat ini 8-23 tahun.

Sedangkan Milenial lahir antara 1981-1996, dengan usia saat ini 24-39 tahun. 

Meski demikian, lebih banyak yang kesal dengan tanggapan dan cara bertanya Ersa yang lebih menghakimi dan meremehkan. 

Malahan, ada warganet melihat Ersa hanya mencuit ulang balasan yang menguatkan pendapatnya. 

"Nanya mah nanya aja, Bu. Hanya kalimat “apa ya alasan generasi milenial sulit mencapai nilai TOEFL 550?” sudah cukup jelas dan padat.

Tidak perlu pertanyaan yang menggampangkan hal tsb.

Lagian test spt itu mkin pindah generasi ya standardnya makin disesuaikan," ungkap @desirganja.

"Saya juga yakin gak semua orang punya kesempatan untuk tinggal di kota yg dmn sdh punya jaringan yang memadai.

Kalau lingkungan Ibu sdh sprti itu ya syukur, tapi dunia gak cuma berputar di lingkungan Ibu," tutup @desirganja. 

"Saya niatnya cuma nanya" Astaghfirullah, itu kok kalimatnya meremehkan ya.

Padahal setiap orang punya pemahaman yang berbeda.

Kalaupun mengetahui istilah–istilah bahasa inggris, bisa jadi kebanyakan istilah yang 'gaul' atau sedang ngetren," balas @go0pal. 

"Bertanya boleh ibu, kalau meremehkan dan adu nasib beda lagi.

Walaupun sudah di era digital, bukan berarti selalu bisa berbahasa inggris apalagi bisa mencapai nilai tersebut di TOEFL," tukas @go0pal.

"Ibu coba intropeksi diri, templatenya gini trs. pertanyaan dimulai dgn "serius nanya",

tp ketika ada yg jwb (pun dgn santun)

mlh diblg "kok byk yg kesinggung (masukkan emot )" ini jelas perilaku gaslighting,

seakan usaha netijen dlm menjelaskan itu tdk valid & sekedar baperan," saran @mollynyan12. 

"Yg di RT pun cm yg dukung narasi ibu, seolah millenial kok bodoh pdhl kemajuan teknologi,

akses info sudah mendukung. Sangat judgy skali.

Sama ky nyalahin millenial knp susah beli rumah,

pdhl udh kerja keras banting tulang kerja bagai kuda sampai minimal tipes 7x di usia 35thn.," lanjut @mollynyan12. 

Selain itu, ucapan bertanya seperti meremehkan itu tak layak keluar dari mulut (jari) seorang pendidik seperti Ersa.

"Beda tipe belajarnya, beda akses. Anak gabisa dipukul rata dengan stimulus yang sama akan menghasilkan output yg sama.

Kaya ga belajar ilmu pedagoy aja buk," ungkap @ashisicha. 

"saya merasa penting bu. tp mengingat tidak semua anak punya kesempatan yg sama.

ada yg bisa tapi pas pasan, mau ujian juga ga ada biaya.

ada yg ga ada waktunya bu, sibuk kuliah, kerja. ada yg harus urusin keluarga dllnya," balas @springshee. 

Kemudian, setiap orang mempunyai kemampuan dan minat berbeda.

"Ngapunten (mohon maaf) ibu dosen yang terhormat.

Paparan sumber ilmu yang tinggi belum tentu berbanding lurus dengan tingkat pemahaman seseorang terhadap ilmu tersebut.

Tiap2 individu itu unik. Ada yang gampang paham dg paparan minimal, ada yg susah paham meskipun paparan sudah banyak banget," ujar @afrkml. 

"Saya hanya mencoba menjawab saja. Semoga pertanyaan ibu tersebut tidak didasari oleh prinsip bahwa seseorang akan otomatis paham jika dijejelin banyak informasi.

Masuknya sebuah pengetahuan itu sifatnya spesifik. Kalau dipaksa-paksa apalagi berdalih sumber sdh banyak, ya kasihan, " lanjut @afrkml.

"Alih2 menggeneralisasi semuanya, sebaiknya ajak individu untuk mengenal dirinya sendiri terlebih dahulu sehingga bisa menemukan teknik belajar yang cocok untuknya.

Dengan begitu, seseorang bisa mudah paham terlepas sedikit/banyak sumber ilmu yang dapat ia raih. Terima kasih," pungkas @afrkml. 

"Orang Indonesia yang sehari-harinya ngobrol pake bahasa Indonesia aja nilai ulangan Indonya masih banyak yang remed, Bu. Apalagi bahasa enggres," tanggap @billie9eulis·. 

"Hanya karena kamu yang datang dari latar belakang tertentu bisa melakukan sesuatu, lolos ujian tertentu dan kerja ini itu, bukan berarti seluruh sistem terkait itu semua udah beres & tersedia dgn baik u/ dukung orang lain.

Basic empathy. Meletakkan diri di posisi orang yg beda," tanggap @bennysiauw89, seorang praktisi psikologi. 

Sampai seorang warganet memberikan analogi yang pas mengenai cuitan dosen satu ini.

"temen saya jago bahasa indonesia bu

setiap hari menggunakan bahasa indonesia dan menonton sinetron ikatan cinta yg berbahasa Indonesia

tapi aneh ya bu dia ulangan bahasa Indonesia di bawah 7 terus

gapernah dapet 10 padahal tiap hari pake bahasa indonesia bu," tulis @tioohutabarat memisalkan. (*)

Artikel telah tayang sebelumnya di Tribun Sumsel.com:Viral Cuitan Dosen Soal Generasi Muda Susah Dapat TOEFL 550, Tapi Diprotes Karena Beberapa Hal Ini

Sumber: Tribun Sumsel
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved