Seruan Tutup TPL Makin Berkobar, Kini Togu Simorangkir Cs Aksi Jalan Kaki ke Jakarta
Empat orang melakukan aksi jalan kaki ke Jakarta. Mereka ingin bertemu Presiden Jokowi dan menyampaikan tuntutan agar TPL segera ditutup.
TRIBUN-MEDAN.com - Gelombang protes terhadap keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara terus bergulir. Masyarakat dari berbagai kalangan tajk henti melakukan aksi yang menuntut agar pemerintah menutup TPL.
Terkini, empat orang melakukan aksi jalan kaki ke Jakarta. Mereka ingin bertemu Presiden Jokowi dan menyampaikan tuntutan agar TPL segera ditutup.
Aksi jalan kaki ke Jakarta dimulai Senin (14/6/2021) pagi ini. Aktivis Togu Simorangkir didampingi anaknya Bumi Simorangkir, serta Anita Hutagalung dan Irwandi Sirait terlebih dahulu menggelar ritual adat di makam Raja Sisingamangaraja XII di Soposurung, Balige.
Pantauan wartawan Tribun Medan, suasana haru terjadi saat Togu pamit kepada ibu, istri dan anak-anaknya.
"Jumpa kita dua bulan lagi ya amang," ucap Togu kepada anaknya yang berada di gendongan sang istri.
Baca juga: Ingin Bertemu Jokowi Minta Tutup PT TPL, Tiga Aktivis Toba Hari Ini Jalan Kaki ke Jakarta
Kepada awak media, Togu Simorangkir menceritakan kalau PT TPL telah merusak alam dan merampas tanah adat.
"Hal ini kita lakukan sebagai respon kita atas peristiwa 18 Mei 2021 di Desa Natumingka, kita sudah geram, kita sudah muak dengan perusahaan TPL yang semena-mena terhadap lingkungan," ucapnya.
Ternyata Togu Simorangkir, Anita Hutagalung dan Irwandi Sirait sudah mempersiapkan diri sekitar sebulan.
Aksi ini juga peringatan 114 tahun gugurnya Raja Sisingamangaraja XII.
"Kita mulai perlawanan dengan TPL dari makamnya. Dan semoga, kalaupun dulu Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun melawan penjajah dan sekarang kita sebenarnya melawan penjajah dari bangsa sendiri," ujarnya.
"Kami mohon doa-doa kawan semua dalam perjalanan ini," ujarnya.
Bentrok Berdarah di Desa Natumingka
Seruan tutup TPL berkobar setelah terjadi bentrok antara masyarakat adat Natumingka versus pekerja PT TPL di Desa Natumingka,Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba pada Selasa (18/5/2021) lalu.
Di wilayah tersebut, banyak terdapat makam leluhur masyarakat adat yang tinggal di Desa Natumingka. Selain itu, masyarakat sudah turun temurun mengelola lahan tersebut untuk menyambung hidup. Di sisi lain, pihak TPL ingin membuka lahan di wilayah tersebut demi mengeruk keuntungan dari bisnisnya.
Masyarakat pun berupaya mempertahankan makam leluhurnya hingga akhirnya terjadi bentrok. Sejumlah warga desa mengalami luka. Insiden ini telah dilaporkan ke Polres Toba, namun hingga kini belum ada penetapan tersangka.
Baca juga: REKAMAN Detik- detik Bentrok Warga dengan TPL yang Mengakibatkan 5 Orang Luka Serius
Bentrok ini memunculkan beragam aksi masyarakat. Sejumlah elemen masyarakat di Kabupaten Toba mengadakan aksi pengumpulan tanda tangan masyarakat di Bundaran Balige.
"Ini merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat kepada pihak PT TPL. Pihak TPL yang arogan dan bahkan merusak tatanan masyarakat serta merusak kehidupan masyarakat adat yang ratusan tahun mereka kelola," kata Perwakilan AMAN Tano Batak, Wilson Nainggolan.
"Seruan kita, ya tutup TPL. Dan kepada pemerintah, kita inginkan agar mencabut izin TPL," tuturnya.
Seorang warga sekitar Julis P Siahaan menyampaikan bahwa dirinya mengapresiasi seluruh aliansi yang memiliki sikap solidaritas kepada masyarakat adat Desa Natumingka.
"Inilah kita lihat, sejak pihak TPL datang pada tahun 1986 telah berulang aksi yang menimbulkan kekerasan pada masyarakat. Ini sudah berulang lagi ya kan," pungkasnya.

Kirim Goni ke Bupati Toba
Aksi perlawanan terhadap TPL merembet ke Kota Medan. Di ibu kota Provinsi Sumatera Utara ini muncul aksi kumpulkan 1 juta goni.
Dimulai dari kediamannya di Jalan Batu Tulis, Medan, Bernita Siburian satu dari sekian seorang pemulung Kota Medan menjajal sudut-sudut kota.
Dia mengumpulkan goni-goni untuk dikirimkan melalui Kantor Pos Medan ke Bupati Toba, Jumat (11/6/2021) dalam rangka program "tarhilala". "Sejak beberapa hari lalu, kita sudah mengumpulkan goni," ujar Bernita Siburian.
Bernita beralasan, pengiriman itu mereka lakukan untuk menyindir program "Tarhilala" yang jadi slogan pembangunan Toba. Menurut mereka, tidak seharusnya Bupati Toba menerima goni dari pihak PT TPL.
Pengiriman goni itu termasuk buntut kekecewaan mereka terhadap Bupati Toba yang justru menerima goni dari PT TPL pada Jumat 7 Mei 2021. Menurut mereka penghibahan goni itu mereka lakukan didorong kesadaran personal sebagai orang Batak peduli Tanah Batak, meski di bawah garis kemiskinan atau "Batak Napogos".

Ketua Yayasan Pemulung Sejahtera dan Peduli Batak Napogos, Uba Pasaribu, salah satu inisiator mengatakan, mendukung program "tarhilala" bupati Toba dalam rangka mengumpulkan sampah di seluruh wilayah kabupaten Toba.
"Gerakan Peduli Batak Napogos adalah gerakan peduli terhadap "Bangso Batak" yang hidup marginal. Sebagian anggota Batak Napogos adalah pemulung," tambahnya lagi.
"Gerakan 1 Juta Goni 4 Toba adalah gerakan yang dinisiasi putra putri Batak, yang peduli terhadap kabupaten Toba. Keinginan bupati Toba membersihkan seluruh kabupaten Toba dari sampah harus didukung, terutama dari sampah-sampah besar yang merusak, mencemari, bahkan menghancurkan kehidupan di kabupaten Toba," sebut Uba.
Baca juga: Pemulung akan Kirim 1 Juta Goni ke Bupati Toba, Sindiran Bantuan PT TPL
Sandera Truk Kayu di Siantar
Perlawanan terhadap TPL juga terjadi di Kota Pematangsiantar. Sejumlah pemuda dan mahasiswa menggelar aksi penolakan atas masih beroperasinya TPL di Tanah Batak.
Aksi dilaksanakan, Sabtu (5/6/2021) siang di Jalan Sisingamangaraja (Depan Universitas Simalungun) dengan pengawasan aparat kepolisian.
Dalam aksinya mereka meminta PT TPL angkat kaki dari Sumatera Utara. Perusahaan bubur kertas tersebut dianggap memberi dampak mudharat dibanding dampak positif pada kehidupan masyarakat lokal.
"Palao TPL Dame ma Bangso Batak," sebait lirik lagu yang dinyanyikan Arif Girsang, pemandu musik dalam aksi penolakan PT TPL ini.
Baca juga: Unjuk Rasa Tolak TPL, Mahasiswa Sandera Truk Pengangkut Kayu di Siantar
Dalam aksinya, puluhan mahasiswa dan pemuda yang mengatasnamakan Gerilyawan sempat menyetop truk hijau pengangkut kayu yang diduga milik PT TPL saat hendak melintas. Mereka menaiki dan mengibarkan bendera berwarna khas Batak.
Selain itu, mereka juga memasang poster bertuliskan 'Usir TPL' dan menggelar aksi teatrikal di depannya. Gerilyawan menyebutkan daftar riwayat dampak buruk setelah hadirnya PT TPL pertama kali pada 22 Desember 1983 dengan nama awal PT Inti Indorayon Utama (PT IIU).
Setelahnya perlawanan demi perlawanan dilakukan masyarakat adat. Pada Juli-Agustus 1987, operasional PT IIU di Kabupaten Toba mengakibatkan longsor yang menutupi areal sawah warga dan menewaskan 15 orang masyarakat. Longsor lanjutan kembali terjadi dua bulan kemudian dan menewaskan 15 orang kembali.
Ketua MPR Dukung Tutup TPL
Keresahan masyarakat atas keberadaan TPL sampai ke Senayan. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan pabrik TPL pantas ditutup seperti dilakukan Presiden BJ Habibie pada tahun 1999. Dampak negatif atau mudarat kehadiran TPL lebih banyak daripada manfaatnya bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
“Sudah jelas, seperti pernah saya sampaikan, saatnya pemerintah mengkaji ulang, dan bila perlu, kembali mengambil sikap seperti dilakukan Presiden BJ Habibie (tahun 1999) yaitu mencabut izin konsesi PT TPL. Karena lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi masyarakat,” ujar Bambang Soesatyo usai menerima tujuh orang perwakilan masyarakat kawasan Danau Toba yang tergabung dalam Aliansi GERAK Tutup TPL di Jakarta, Senin (31/5/2021) pagi.
Menurut Bambang, ia kedatangan kelompok masyaratak Danau Toba yang melaporkan tentang, apa yang sudah pernah sampaikan ke publik mengenai dampak kehadiran perusahaan pengolah kayu untuk menjadi bubur kertas dan kertas.
“Kehadiran TPL sangat menimbulkan dampak yang negatif kepada masyarakat sekitar. Dampaknya bisa merusak lingkungan, bia juga merusak tatanan adat Batak,” ujar Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo, politisi Partai Golkar.
Baca juga: Ketua MPR Tegaskan Tutup TPL, Alihkan ke Industri Pariwisata Danau Toba dan Pertanian
Saat pernyataan Bambang mengenai pemerintah layak mencabut izin konsensi PT TPL di Sumatera Utara, pekan lalu, ia mengaku ada sebagian masyarakat yang bertanya melalui media sosial mengenai nasib pekerja PT TPL, andaikata perusahaan itu tutup.
Bambang meneruskan, solusi pengganti TPL adalah mengembangkan pariwisata dan pertanian modern di Kawasan Danau Toba. “Sebaiknya kawasan TPL (Danau Toba) itu dibangun menjadi kawasan pariwisata plus pertanian yang lebih menjanjikan dan menenteramkan masyarakat sekitar,” ujar Bambang.
“Manfaat TPL buat masyarakat dan negara, sedikit sekali. Visi pemerintah kan untuk meningkatkan pariwisata desitinasi, Danau Toba masuk destinasi utama (destinasi superprioritas). Semoga desakan publik terus menguat,” imbuhnya.
Bambang mengaku telah menjadi komunikasi dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. “Saya sudah tanyak Pak Menko, “bang, apakah TPL ini punya abang? Apakah ada bagian abang di sana?”Beliau mengatakan, tidak,” kata Bambang saat dialog.
Ephorus HKBP Tentang Penebangan Hutan
Ephorus HKBP Pendeta Robinson Butarbutar juga mendesak Pemerintah Pusat peka atas kerusakan yang terus menerus terjadi di kawasan Danau Toba. Pernyataan Ephorus HKBP ini terkait longsor dan banjir bandang yang menerjang Kota Wisata Parapat.
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima Tribun Medan, Jumat (14/5/2021) Ephorus menentang keras pengelolaan hutan yang terus diubah menjadi tanaman eucalyptus.
Pendeta Robinson menilai, banjir bandang yang terjadi pada 13 Mei 2021, sekitar pukul 17.00 WIB, di Parapat, Simalungun, merupakan dampak dari penurunan kualitas lingkungan hidup dan hutan di sekitar Danau Toba.
Banjir bandang serupa sudah terjadi beberapa kali, seperti pada Desember 2018, Februari 2019 dan Juli 2020. Banjir bandang mengakibatkan kerugian material di pihak masyarakat, termasuk terganggunya arus lalu lintas di daerah tersebut.
"Berdasarkan investigasi Komite Giereja cdan Masyarakat (KGiM) HKBP dengan mitranya atas rentetan peristiwa tersebut, kami mempelajari bahwa banjir-banjir bandang ini memiliki kaitan yang erat dengam aktivitas penebangan hutan di Sitahoan dan kawasan hutan Sibatuloting," ujar orang nomor 1 di lingkup Jemaat Gereja HKBP tersebut.
"Baik untuk kepentingan hutan tanaman industri (penanaman eucalyptus), pemanfaatan kayu dan hasil hutan oleh para pengusaha lokal, ditambah oleh aktivitas pertanian masyarakat dalam skala yang jauh lebih kecil. Di Sualan sampai Tanjung Dolok, Parapat, terdapat sejumlah aliran sungai yang sumber airnya berasal dari Sitahoan dan Kawasan lutan Sibatuloting," tambahnya lagi.
Baca juga: BREAKING NEWS Ephorus HKBP Pdt Robinson Menentang Keras Pengubahan Hutan jadi Lahan Eucalyptus
Kini, kata Ephorus, bila hujan deras terjadi, sungai-sungai kecil ini akan meluap dan membawa material lumpur dan bebatuan yang sangat mengancam.
Seperti yang sudah terjadi berulang-ulang, jika degradasi hutan terus berlangsung, banjir bandang di kawasan ini akan semakin sering terjadi.
"Menjaga kelestarian lingkungan hidup dan hutan yang berkesinambungan adalah panggilan kita sebagai warga gereja. HKBP mendesak pemerintah pusat dan daerah, swasta, serta masyarakat agar sesegera mungkin melakukan langkah-angkah konkret untuk menyelamatkan lingkungan hidup dan hutan di sekitar Danau Toba,” ujarnya.
(Tribun-medan.com)