Qunut Empat Mazhab
Cara Doa Qunut Subuh Empat Mazhab, Ada Kisah Pembantaian Hafiz Quran sampai Nabi Berduka
Mengenai hukum qunut, ternyata dilatarbelakangi kisah 70 hafiz Aquran dibantai di Bir Ma’unah
Penulis: Dedy Kurniawan | Editor: Dedy Kurniawan
TRIBUN-MEDAN.com - Umat Islam bertanya kepada Ustadz Adi Hidayat tentang hukum qunut Subuh.
Di masyarakat, masih ada saling perbedaan tentang hukum melakukan doa qunut, terutama saat sholat (salat) subuh.
Bahkan, dalam satu masjid, tidak semua jemaah satu pemahaman tentang membaca doa Qunut.
Imam sholat sekali pun ada yang memakainya, ada juga yang tidak memakai ketika memimpin sholat.
Lantas seperti apa sebenarnya hukumnya qunut yang dikerjakan setiap Subuh?”
Ustadz Adi Hidayat secara rinci memberi pemahaman fiqih atau hukum qunut.
Katanya, perlu diperhatikan, bahwa ada hukum dan sikap hukum.
Sikap hukum adalah pilihan seseorang untuk menentukan hukum mana yang sesuai. Sedangkan hukum adalah semua turunan hukum yang dipesankan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Ustadz Adi Hidayat mencontohkan hukum membaca basmalah dalam shalat, bisa dibaca empat cara. Pertama, jahr. Kedua, sirr. Ketiga, tidak dibaca sama sekali. Keempat, dibaca pada rakaat pertama saja. Sikap hukum terhadap keempat hukum itu adalah memilih salah satu.
Diingatkannya, terhadap sesama muslim yang sikap hukumnya berbeda namun berada dalam kerangka hukum tersebut, seharusnya tidak berselisih dan tidak saling menyalahkan. Karena di balik perbedaan ada alasan masing-masing dan harus sesuai Alquran dan dalil hadist.
Mengenai hukum qunut, ternyata dilatarbelakangi kisah di Bir Ma’unah. Sekelompok orang datang menghadap Rasulullah.
Mereka mengaku seluruh desanya masuk Islam dan membutuhkan pengajaran dan pendidikan Islam. Maka Rasulullah pun mengutus 70 sahabat hafizh Quran untuk mengajari mereka. Namun, ketika sampai di Bir Ma’unah, para sahabat tersebut dibantai.
Rasulullah sedih dan begitu amat kecewa. Rasulullah kemudian mendoakan kecelakaan atas orang-orang yang telah membunuh para sahabat beliau tersebut.
Setelah kejadian pembataian Bir Ma’unah, setiap shalat, beliau mendoakan kecelakaan dan laknat atas mereka bahkan menyebut langsung nama tokoh dan kabilah mereka. Sebagian riwayat menyebutkan beliau berdoa saat ruku’ sebagian riwayat menyebutkan beliau berdoa saat bangkit dari ruku’ (i’tidal).
Lalu turun lah Surat Ali Imran 128-129 yang melarang Rasulullah mendoakan kejelekan tersebut. Sebab Rasulullah berbeda dengan nabi-nabi terdahulu yang umatnya diazab saat menentang dakwah.
Maka beliau kemudian mengganti doa tersebut dengan doa yang baik, yang dalam istilahnya disebut qunut. Rasulullah pun mengajarkan doa qunut itu kepada cucu beliau Hasan dan juga beberapa sahabat. Yakni doa “Allahummah dinii fiiman hadait…” dan seterusnya.
Sebagian sahabat mempraktikkan doa itu dalam shalat witir, juga ada yang mempraktikkan doa itu dalam shalat Subuh. Dan itu didiamkan oleh beliau.
Juga diriwayatkan Rasulullah pernah membaca doa qunut ini dalam shalat Subuh meskipun sebagian menilai riwayatnya dhaif. Karena Rasulullah mengajarkan doa yang baik (qunut) dan beliau mendiamkan para sahabat mempraktikkan doa qunut tersebut.
Dari sini para ulama menyimpulkan hukumnya dan terbagi menjadi tiga.
Hukum Qunut Subuh dalam Empat Mazhab
Pertama, Mazhab Hanafi
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi, lebih dikenal dengan nama Abu Ḥanifah atau Pendiri dari Madzhab Fiqih Hanafi menyimpulkan bahwa qunut itu tidak ada, karena sebelumnya Nabi tidak berdoa qunut dan menghentikannya setelah turun surat Ali Imran ayat 128.
Kedua, Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’i
Kedua imam ini menyimpulkan, sunnahnya qunut Subuh. Karena Nabi mengajarkan doa qunut dan sebagian sahabat mempraktikannya. Bedanya, Imam Malik qunut sebelum ruku’ dengan sirr sedangkan Imam Syafi’i qunut setelah bangkit dari ruku’.
Ketiga Mazhab Hambali
Mazhab Hambali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hambal atau dikenal dengan nama Imam Hambali. Ia wafat pada 855 masehi. Pada masa mudanya beliau berguru kepada Abu Yusuf dan Imam Syafi'i.
Imam Ahmad menyimpulkan, qunut berlaku saat ada masalah besar dan perlunya mendoakan secara khusus. Dasarnya karena Nabi berdoa saat ada masalah besar. Masalah atau peristiwa besar disebut dengan nazilah, maka dikenal dengan qunut nazilah.
Ketiga hukum ini diakui oleh para ulama sejak zaman dulu hingga saat ini. Maka siapapun yang sikap hukumnya mengambil salah satu dari tiga hukum ini, tidak boleh disalahkan dan harus saling menghormati.
Sesama umat Islam harus mencontoh sebagaimana Imam Syafi’i ketika berkunjung ke wilayah Imam Abu Hanifah. Meskipun saat itu Imam Abu Hanifah telah wafat, beliau tidak qunut. Pun Imam Ahmad saat berkunjung ke Imam Syafi’i beliau qunut meskipun tidak ada peristiwa besar.
Ustadz Adi Hidayat pun menyampaikan hikmah di balik perbedaan, makmum harus mengikuti imam. Jika imamnya qunut, makmum dianjurkan mengaminkan. Jika imamnya tidak qunut, makmum juga tidak perlu qunut.
(*/Tribun-Medan.com)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/ustaz-adi-hidayat.jpg)