Profil TB Simatupang, Jenderal yang Pensiun di Usia 39, Berani Banting Pintu di Depan Soekarno
Sejarah mencatat, Indonesia pernah mempunyai jenderal yang pensiun di usia sangat muda. Dia adalah Tahi Bonar Simatupang atau TB Simatupang
TRIBUN-MEDAN.com - Sejarah mencatat, Indonesia pernah mempunyai jenderal yang pensiun di usia sangat muda. Dia adalah Tahi Bonar Simatupang atau biasa disebut TB Simatupang.
Di masanya, TB Simatupang termasuk the rising star militer. Kariernya melesat dengan cepat. Di usia 30 tahun, dia sudah menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Perang RI (KSAP) dengan pangkat Mayor Jenderal.
Dalam hierarki organisasi saat itu, jabatan KSAP berada di atas Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara. KSAP berada di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan.
Namun, karier cemerlang itu pupus setelah TB Simatupang terlibat “konflik” dengan Presiden Soekarno.
Pria kelahiran Sidikalang, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara itu akhirnya rela meninggalkan karier militernya.
Belakangan, pemerintah akhirnya menghargai jasa Jenderal TB Simatupang. Ia pun dianugerahkan Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama TB Simatupang diabadikan sebagai nama ruas jalan di beberapa daerah. Wajahnya pernah diabadikan pada pecahan uang logam pecahan Rp 500 pada tanggal 16 Desember 2016.
TB Simatupang lahir pada 28 Januari 1920 di Sidikalang, Kabupaten Dairi. Ia merupakan anak kedua dari delapan bersaudara.
Ayahnya bekerja sebagai pegawai kantor pos dan telegraf (PTT: Post, Telefoon en Telegraaf) yang sering berpindah tempat tugas, mulai dari Sidikalang pindah ke Siborong-borong, kemudian ke Pematangsiantar.
Ia mengenyam pendidikan di HIS Pematangsiantar dan lulus pada 1934. Kemudian bersekolah di MULO Dr Nomensen di Tarutung pada 1937.
Sosok yang akrab disapa Sim ini merantau ke Jakarta pada usia 17 tahun. Tujuan dia ke Ibu Kota karena ingin melanjutkan pendidikan di institusi binaan Belanda.
Ia masuk AMS di Salemba, Jakarta dan selesai pada 1940. Saat bersekolah di Batavia, TB Simatupang terbilang siswa yang pintar, termasuk fasih berbahasa Belanda.
Di masa pergolakan tahun 1941, TB Simatupang yang masih berumur 22 tahun, masuk Akademi Militer Belanda yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat.
Saat itulah jiwa tempurnya diasah. Apalagi, ia memiliki rekan-rekan yang menjadi perwira di Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).
Ia lulus KMA pada 1942. Bukan sekadar lulus, ia tercatat sebagai lulusan terbaik dan mendapatkan mahkota perak atas prestasinya di bidang teori. Rekan seangkatannya di KMA antara lain AH Nasution dan lex Kawilarang.
Pada masa itu, TB Simatupang sudah membaca dan mendalami buku "Tentang Perang" karya Carl von Clausewitz. Dalam pertemuan alumni, biasanya dia yang paling banyak bicara dan memberikan analisis-analisis. Bahkan menurut Kawilarang, seandainya TB Simatupang orang Belanda, dia pasti akan mendapatkan mahkota emas.
Namun, setelah lulus dari KMA, Jepang berhasil merebut kekuasaan di Hindia Belanda. Alhasil, KNIL pun dibubarkan. TB Simatupang dan beberapa temannya direkrut Jepang dan ditempatkan di Resimen Pertama di Jakarta dengan pangkat Calon Perwira.
Beberapa tahun berselang, Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaan. Hal ini membuat TB Simatupang menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ia ikut dalam perang kemerdekaan, ketika Belanda ingin kembali menguasai Indonesia.
TB Simatupang tidak memfokuskan kemampuan fisik selama berperang. Melainkan tentang strategi dan taktik di medan perang.
Atas kelihaiannya, putra dari Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan Mina Boru Sibutar ini pun dipercaya sebagai Kepala Organisasi Markas Besar TKR. Tugas itu diberikan langsung oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.
Ia dikenal sangat pintar bertempur, sehingga wajar saat kariernya di militer melesat begitu cepat. Dalam tempo singkat, ia diberi kepercayaan mengemban jabatan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Sedangkan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) tidak lain adalah Jenderal Besar Sudirman.
Intelektualitas dan pengalaman gerilya, bersama Jenderal Sudirman pun menjadi bekal yang cukup baginya untuk berpartisipasi dalam upaya diplomasi saat Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 1949.
Karier TB Simatupang terus bersinar. Pada 1950, Jenderal Sudirman meninggal dunia, sehingga TB Simatupang diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan pangkat Mayor Jenderal. Saat itu umurnya baru 30 tahun.
Namun, ketika itu terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat. Kolonel Bambang Supeno yang merupakan komandan institusi pelatihan perwira militer Candradimuka, mendekati Presiden Soekarno untuk membujuknya agar memecat Kolonel AH Nasution dari posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Alasannya, banyak perwira kurang berkenan dengan AH Nasution yang tengah berupaya meningkatkan kualitas tentara.
Soekarno setuju dengan memberikan syarat para Pangdam sependapat dan memberikan tanda tangan. Syarat itu bisa dipenuhi oleh Supeno.
Kabar itu pun sampai ke telinga TB Simatupang. Ia tak terima dan langsung menemui Presiden Soekarno di Istana Negara. Pertemuan saat itu dihadiri Menteri Pertahan Sri Sultan HB, AH Nasution, dan Kawilarang.
Ketika itu, AH Nasution menyatakan siap dicopot demi keutuhan Angkatan Darat. Namun, tak demikian pemikiran TB Simatupang.
Tanpa tedeng aling, ia menyatakan keberatan atas rencana pergantian AH Nasution atas dasar pengaduan Supeno. Ia menilai tindakan seperti itu merupakan preseden buruk dan bisa menimbulkan situasi yang berbahaya di masa depan dalam organisasi militer.
Cara tersebut bisa dicontoh oleh pejabat militer lain yang ingin mengamankan posisinya dengan mendekati Presiden Soekarno. Pada saat yang sama, apabila ada panglima-panglima divisi yang tidak menyukai seorang pimpinan, mereka bisa mengumpulkan tanda tangan, lalu meminta Soekarno untuk mencopot orang tersebut.
Namun, Soekarno bersikukuh dengan rencana pergantian AH Nasution sebagai KSAD, dengan dasar adanya tanda tangan para panglima divisi.
Ketika itulah, TB Simatupang Bonar murka. Kepada Presiden Soekarno, ia secara tegas menyatakan selama dirinya menjabat KSAP, dia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Soekarno juga marah atas penolakan TB Simatupang untuk mengganti AH Nasution sesuai permintaan Bambang Supeno.
Bahkan, keduanya tidak berjabat tangan lagi seusai pertemuan tersebut. Konon, saat itu TB Simatupang yang sedang marah sampai menutup tutup dengan keras. Braakkk!!!
Cekcok ini kian bergolak. Presiden Soekarno menghapuskan jabatan KSAP pada tahun 1953. Dampaknya, TB Simatupang menjadi jenderal tanpa jabatan. Ia hanya ditugaskan sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI.
TB Simatupang sempat dua kali ditawarkan untuk menjadi duta besar. Namun, dia menolak karena tawaran itu tak lebih sebagai bentuk pengasingan dirinya.
Dia pun menyadari waktunya di militer telah berakhir. Setelah tujuh tahun menjadi penasihat di Kementerian Pertahanan, TB Simatupang dipensiunkan di usia masih 39 tahun. Ia keluar dari militer dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal (Letjen).
TB Simatupang kemudian mendedikasikan hidup untuk pelayanan agama. Selain berceramah di gereja-gereja, ia pun menulis sejumlah buku tentang Kristen. Tulisan-tulisannya juga dimuat di surat kabar Suara Pembaruan. Hingga akhir hayatnya, TB Simatupang melayani lewat jalan agama.
Ia pernah menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja-Gereja Asia, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia. Dia juga pernah menjadi Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM). Bonar yang gemar membaca buku ini akhirnya dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat pada 1969.
(Tribun-medan.com/berbagai sumber)