Buah Naga

Kebun Buah Naga yang Berproduksi di Luar Musim dengan Bantuan Sinar Lampu

Budidaya buah naga di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, banyak tersebar di lahan dan tepian jalan desa.

TRIBUN MEDAN
Petani memanfaatkan cahaya lampu pada tanaman buah naga, Rabu (24/2/2021).TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI 

Selanjutnya, ia bersama kelompok taninya mencoba menggunakan lampu dengan sumber tenaga dari genset diesel pada awal 2014.

Ternyata benar buah naga yang mendapatkan sinar lampu mampu berbunga di luar musim panen.

Penggunaan lampu marak di kebun buah naga

Selanjutnya, penggunaan lampu di kebun yang lebih luas dan banyak mulai dilakukan pada 2015 ke atas.

Hal ini setelah ada dukungan dari PLN dan Dinas Pertanian untuk pengembangan dan penggunaan listrik di kebun.

Cara ini kemudian tersebar luas dan banyak petani buah naga mengikutinya.

Kabid Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Banyuwangi Ilham Juanda mengatakan pengembangan lampu ini dilakukan secara kolektif.

Pihaknya tak memiliki catatan siapa yang pertamakali memulai inovasi ini.

"Ini kolektif petani di desa itu memulai inovasi ini," katanya kepada Kompas.com, Kamis (5/8/2021).

Dari temuan petani itu, Dinas Pertanian dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) intens melakukan pendampingan. 

Pasalnya, saat itu jaringan lampu yang digunakan masih skala kecil dan dianggap belum aman.

Lantas kerja sama dilakukan untuk menemukan formula atau Prosedur Operasi Standar (SOP) penggunaan lampu.

Dalam prosesnya, akhirnya ditemukan SOP bagaimana pemupukan, usia tanaman, buah naga, dan keamanan jaringan lampunya.

"Prosesnya lama dan 2016 SOP sudah matang formulanya," kata dia.

SOP ini lantas dinamakan penggunaan lampu tingkatkan produksi buah naga (Puting Si Naga).

Inti dari penggunaan lampu ini yakni membantu fotosintesis batang dan memunculkan bunga di sela duri tanaman kaktus itu.

"Setelah berbunga bunga dikawinkan secara manual, yakni serbuksari ditaburkan ke putik, setelah itu berbuah," kata dia.

Inovasi ini melingkupi penyiapan lahan, persiapan bibit, penananaman, pemupukan, perawatan, penggunaan lampun, hingga pemanenan.

Standar tersebut yakni pemasangan instalasi listrik saat usia tanaman minimal 2 tahun dan dilakukan berdasarkan standar dan kerja sama dengan PLN.

Lalu jenis lampu yang digunakan LHI yang berstandard SNI sesuai anjuran PLN.

Kemudian penggunaan lampu dilakukan di luar musim panen (April-September).

Dalam luasan 1 hektar tanaman buah naga dipasang lampu sebanyak 400-800, dengan daya 12-15 watt.

Waktu penggunaan penyinaran lampu pukul 17.00-05.00 WIB.

Juanda mengatakan dampak langsung untuk petani dari penggunaan lampu ini yakni panen sepanjang tahun dan harga tinggi di luar musim panen.

Tanpa lampu, produktivitas lahan buah naga dengan luasan 1 hektar bisa menghasilkan 14 ton tiap tahunnnya. Sementara dengan lampu, lahan yang sama bisa menghasilkan 26 ton.

Untuk penghasilan petani sebelum menggunakan lampu yakni Rp 28 juta tiap hektar dengan asumsi harga Rp 2.000 per kilogram saat panen raya.

Sedangkan dengan lampu, bisa Rp 260.000 setiap tahun dengan luas lahan yang sama.

Hal ini dengan perhitungan harga stabil di angka Rp 10.000 saat di luar musim.

Adapun produksi buah naga Banyuwangi tahun setiap tahunnya mencapai 19.068 ton dengan luas tanaman 1.362, sebelum tahun 2019.

Setelah marak penggunaan lampu dan bertambahnya luas tanaman, setelah 2019 produksinya mencapai 82.544 ton dari luas lahan 3.786 hektar.

Sementara luas lahan yang sudah menggunakan teknologi lampu sebanyak 2.608 hektar.

Inovasi ini telah direplikasi di delapan Kecamatan di Banyuwangi, yakni Siliragung, Pesanggaran, Cluring, Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo, Sempu, dan Srono.

Inovasi juga ditiru dan dikembangkan Dinas Pertanuan Nusa Tenggara Timur, Dinas Pertanian Blitar, Sidorajo, hingga Karangasem, Bali.

Pertanian buah naga ini diklaim berdampak luas ke masyarakat karena 1 hektar lahan bisa mempekerjakan 20 orang, mulai dari penananaman, perawatan, hingga panen.

Kini, untuk peningkatan nilai jual buah naga juga dilakukan dengan pengolahan buah naga oleh sejumlah UMKM dan menyediakan jaringan pemasaran.

Permintaan terbesar berasal dari Pasar di Jakarta, Surabaya, hingga Bali.

Kerja sama banyak pihak

Juanda mengatakan, inovasi ini berkat kerja sama yang terjalin antara petani, Dinas Pertanian, dan PLN sebagai penyedia listrik.

PLN, kata dia, mempermudah petani dalam pemasangan listrik dan subsidinya.

Manager PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi Jawa Timur UP3 Banyuwangi Krisantus H. Setyawan mengatakan pihaknya mendukung penuh penyediaan listrik untuk penerangan kebun buah naga ini.

"Listrik kami support keandalannya sehingga kami pastikan tetap menyala. Sejauh ini, belum pernah ada gangguan," ujar Kris.

Dengan inovasi ini, kata Kris, diharapkan bisa meningkatkan perekonomian petani.

"Apalagi dengan lampu ini, pohon buah naga bisa berbuah di luar musim. Saat ini petani pelanggan kami sebanyak 12.743 pelanggan," tuturnya.

Sarankan pertanian organik

Petani buah naga asal Tegaldlimo, Jefri Trisna (39) mengaku menggunakan lampu untuk kebun buah naga mulai sekitar 2015.

Hal tersebut setelah melihat banyak petani yang untung besar ketika menggunakan lampu ini.

Untuk instalasi lampu, lahan 1/4 hektar menghabiskan uang Rp 25 juta dengan 300 lampu LED berdaya 12 watt.

Untuk biaya listriknya yakni sekitar Rp 400.000 selama 10 hari. Adapun buah naga berbunga hingga muncul buah membutuhkan waktu 40 hingga 60 hari.

Meski biaya produksi naik, namun keuntungan dari hasil penjualan buah naga menggunakan lampu lebih tinggi dibanding dengan budidaya buah naga konvensional.

"Yang jelas produktivitas buahnya sepanjang tahun. Ini yang jadi pembeda antara lampu dan konvensional," katanya.

Meski demikian menurutnya ada sejumlah faktor lain yang membuat buah naga bisa berbunga di luar musim panen.

Misalnya terkait tingkat kesuburan tanah, metode perawatnya, hingga cuaca.

Jefri menyarankan petani beralih dengan sistem organik. Jefri mengelola kebun buah naga organik seluas 1 hektar sejak setahun terakhir.

Sebelum itu, ia bertani secara konvensional.

Menurutnya, harga di pasaran bisa jauh lebih tinggi dengan pertanian konvensional. Harganya bisa selisih Rp 4.000 antara buah naga organik dan konvensional.

Selain itu panen juga bisa lebih cepat. Buah naga organik dari berbunga hingga panen membutuhkan waktu 35 hari. Buahnya juga bisa mencapai bobot 500 gram ke atas.

Sementara yang konvensional bisa 40 hingga 60 hari karena menggunakan pembesar.

"Kami tanpa menggunakan pembesar dan hanya mengandalkan pupuk organik dan buat sendiri dari sisa limbah pertanian dan rumah tangga," katanya.

Pertanian organik, kata Jefri, juga lebih ramah lingkungan. Pertanian model ini dilakukan dengan memgembalikan kesuburan tanah.

Caranya dengan pupuk organik dan mengurangi pupuk kimia.

Menurutnya, selama ini banyak petani berlebihan dalam pemupukan.

Pemupukan yang berlebih menyebabkan kesuburan tanah menurun.

Saat pandemi Covid-19, Jefri mengaku masih bisa bernapas lega. Pesanan masih terus datang meski perekonomian sedang lesu.

Meski pandemi Covid-19, ia menyebut permintaan buah naga organik tetap tinggi.

Bahkan seminggu ada permintaan 1 ton dari satu pemasok yang belum bisa dipenuhi, sehingga ia menyarankan petani lain untuk menerapkan pasar organik.

"Kita mengumpulkan teman-teman untuk mencoba organik ini," kata ketua kelompok tani Wayah Mekar ini.

(*/Kompas.com/Tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved