Sunarti Sri Hadiyah Istri Letjen Sarwo Edhie Wibowo, Ibu Mertua SBY Meninggal Dunia di Usia 91 Tahun
Ibu mertua Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sunarti Sri Hadiyah Sarwo Edhie Wibowo meninggal dunia pada Senin (20/9/2021).
TRIBUN-MEDAN.COM - Ibu mertua Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sunarti Sri Hadiyah Sarwo Edhie Wibowo meninggal dunia pada Senin (20/9/2021) sore di Jakarta.
Selain dikenal sebagai ibu dari Ani Yudhoyono dan mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo, Sunarti merupakan istri dari Sarwo Edhie Wibowo, tokoh dalam pemberantasan Gerakan 30 September 1965.
Dia juga dikenal dengan panggilan Ibu Ageng.
"Telah berpulang, almarhumah Ibu Ageng/Sunarti Sri Hadiyah Sarwo Edhie Wibowo binti Danu Sunarto, ibunda almarhumah Bu Ani Yudhoyono, nenek dari Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, pada usia 91 tahun," kata Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Senin.
Herzaky menuturkan, saat ini jenazah disemayamkan di rumah duka yang terletak di kawasan Condet, Jakarta Timur sebelum dibawa ke Purworejo pada malam ini.
"Almarhumah akan dikebumikan esok hari di pemakaman keluarga di Purworejo, Jateng," ujar Herzaky.
Ani Yudhoyono bersama ibundanya, Sunarti Sri Hadiyah atau biasa disapa Ibu Ageng. (Instagram/@aniyudhoyono)
Herzaky memohon doa agar almarhumah ditempatkan di sisi terbaik dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan.
Informasi meninggalnya Ibu Ageng juga disampaikan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY di akun Instagram-nya.
AHY menilai neneknya itu sebagai sosok yang menjadi pengayom keluarga.
"Bu Ageng adalah sosok ibu dan eyang panutan yang selama ini selalu bijaksana, penuh semangat, dan cinta, serta selalu menjadi pengayom keluarga. Sosoknya begitu berkesan mendalam di hati kami semua," ujar AHY.
Kesan ini bahkan diperkuat dengan sebutan khusus untuk Bu Ageng, yang diberikan oleh Ani Yudhoyono selama hidupnya.
"Almarhumah Memo (Ani Yudhoyono) selalu menyebutnya menjadi 'pamonge jagad' dalam keluarga kami," tuturnya yang dikutip dari Kompas.com.
Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD (Kopassus) menumpas pemberontakan PKI 1965. (Facebook.com)
Biodata Sarwo Edhie Wibowo:
Nama: Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo.
Ia adalah seorang tokoh militer Indonesia.
Kelahiran: 25 Juli 1925, Kabupaten Purworejo.
Meninggal: 9 November 1989, Jakarta.
Dimakamkan: 10 November 1989 di Purworejo.
Pasangan: Hj. Sri Sunarti Hadiyah.
Mereka mempunyai 7 anak:
- Wijiasih Cahyasasi,
- Wrahasti Cendrawasih,
- Kristiani Herrawati,
- Mastuti Rahayu,
- Pramono Edhie Wibowo,
- Retno Cahyaningtyas,
- Hartanto Edhie Wibowo
Cucu:
- Agus Harimurti Yudhoyono,
- Edhie Baskoro Yudhoyono,
- Ayu Ratna Pratiwi,
- Yusuf Putra Pramono
Orang tua: Raden Ayu Sutini, Raden Kartowilogo.
Karier:
- Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951),
- Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953),
- Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961),
- Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962-1964),
- Komandan RPKAD/Danjen Kopassus ke-5 (1964-1967),
- Panglima Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan ke-13 (25 Juni 1967 – 2 Juli 1968),
- Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih ke-4 (2 Juli 1968 – 20 Februari 1970).
Selain itu Sarwo Edhie Wibowo pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan, serta menjadi Gubernur AKABRI.
Sarwo Edhie Wibowo memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini).
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yani diculik dari rumah mereka dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Sementara proses penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Radio Republik Indonesia (RRI), dan gedung telekomunikasi.
Hari dimulai seperti biasanya bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD yang sedang menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di Cijantung, Jakarta. Kemudian Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba.
Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari markas Kostrad dan menginformasikan kepada Sarwo Edhie tentang situasi di Jakarta.
Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Panglima Kostrad diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat.
Setelah memberikan banyak pemikirannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.
Setelah Sudiro pergi, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S.
Sarwo Edhie mengatakan kepada Sabur dengan datar bahwa ia akan memihak Soeharto.
Pada pukul 11:00 siang hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan telekomunikasi pada pukul 06:00 petang (batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah).
Ketika pukul 06:00 petang tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena pasukan itu mundur ke Halim dan bangunan diambil alih pada pukul 06:30 petang.
Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soeharto ternyata tertuju ke Pangkalan Udara Halim.
Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S.
Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara.
Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.
(*/tribunmedan/wikipedia)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/sunarti-sri-hadiyah.jpg)