News Video
Hotman Curhat Ngadu ke Presiden Tak Ada Respon, Terkait PT TPL Diduga Buat Mata Air Keruh
Dikatakannya, permintaan masyarakat seharusnya para pejabat cepat menanggapi persoalan tersebut. Ditegaskannya seluruh perusak lingkungan yang ada
Hotman Curhat Ngadu ke Presiden Tak Ada Respon, Terkait PT TPL Diduga Buat Mata Air Keruh
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Hotman Siagian, warga Desa Mario, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba adalah salah satu massa aksi yang berunjuk rasa ke depan Kantor DPRD Sumut, Rabu (24/11/2021).
Hotman menjelaskan tuntutannya tidak lebih dan tidak kurang agar PT. TPL angkat kaki dari sekitar Danau Toba. Sebab, sebagian masyarakat adat Batak telah merasakan kehadiran PT. TPL membawa petaka.
"Ada banyak tindakan PT. TPL yang menyakiti masyarakat tano Batak sudah sering diutarakan ke pimpinan negeri ini," katanya.
"Mulai dari anggota dewan, gubernur, dan presiden, tapi tidak ada tindak lanjut atau respon yang mengobati hati rakyat," tambahnya.
Dikatakannya, permintaan masyarakat seharusnya para pejabat cepat menanggapi persoalan tersebut. Ditegaskannya seluruh perusak lingkungan yang ada di sekitar Danau Toba dikeluarkan.
"Karena dampaknya sangat banyak penderitaan yang dirasa masyarakat misalnya dalam bentuk kriminalisasi, perampasan tanah adat, serta kerusakan lingkungan," bebernya.
Hotman pun mencurahkan isi hatinya bahwa tepat di sumber mata air yang sering digunakan masyarakat kini telah diduduki PT. TPL. Walhasil air menjadi keruh dan tidak layak untuk diminum.
Pihaknya sempat melarang tapi PT. TPL tetap beroperasi. Bahkan sempat PT TPL berjanji perbaikan air tapi sampai saat ini tak terjadi.
"Contoh di Sihaporas, jelas sumber air minum mereka untuk kebutuhan rumah tangga dan ritual terkena racun akibat pengguna pestisida oleh PT. TPL," ungkapnya.
"Tapi sampai sekarang tidak ada tindakan dari pemerintah dan sampai saat ini berlangsung," sambungnya.
Oleh karena itu lah, ia bersama rekannya yang lain sesama masyarakat terdampak tetap melakukan aksi penolakan terhadap PT. TPL.
"Untuk hari ini setelah dari DPRD Sumut kami akan berlangsung ke Gubernur Sumut. Kami akan tunggu sampai gubernur mau menjawab persoalan ini," tegasnya.
Diketahui, saat ini TPL memiliki luas konsesi sekitar 167,912 hektar di Sumut. Dari data AMAN Tano Batak, hingga saat ini ada sekitar 37.500 hektar wilayah adat dari 21 komunitas adat yang tumpang tindih dengan wilayah konsesi tersebut.
Akibatnya, sering kali terjadi intimidasi dan kriminalisasi terhadap anggota masyarakat adat yang berjuang mempertahankan wilayah adatnya.
Sebelumnya, Juniaty Aritonang, Kordinator Studi & Advokasi BAKUMSU, mengatakan bahwa pasca re-operasi di tahun 2002, PT. TPL telah melahirkan rentetan peristiwa kekerasan, kriminalisasi dan diskriminasi hak-hak hukum.
Rangkaian kekerasan, kriminalisasi dan diskriminasi hukum sejalan dengan semakin kompleks dan meluasnya persoalan struktural yang disebabkan kehadiran PT TPL.
Tercatat sebanyak 93 orang menjadi korban langsung kriminalisasi akibat keberadaan PT TPL. Dari 90 orang tersebut, 40 diseret ke meja hijau.
Ada 39 kasus dinyatakan terbukti bersalah dan 1 orang bebas murni oleh majelis hakim karena tidak terbukti bersalah.
Sisanya, sebanyak 47 dinyatakan berstatus tersangka, dan 6 lainnya berstatus terlapor.
Berangkat dari data itu, PT TPL, diyakini menghadirkan tindakan kekerasan, kriminalisasi dan diskriminasi hukum terhadap masyarakat adat dan lokal telah terjadi secara sporadis di berbagai wilayah konsesi PT TPL berada.
Selain itu, kehadiran PT. TPL juga dikatakan menyumbang deforestasi di Sumut. Hal itu disampaikan oleh Roy Lumbangaol selaku Deputi I Advokasi dan Kampanye Walhi Sumut.
"Hal itu dapat diketahui misalnya dari praktek ahli fungsi lahan berskala besar di dalam kawasan Bentang Tele," ujarnya.
Dijelaskannya, Bentang Tele pada dasarnya memiliki fungsi ekologis yang sangat penting untuk kawasan Danau Toba dan puluhan desa sekitar.
Namun Bentang Tele sedang menghadapi ancaman dari keberadaan konsesi PT.TPL seluas 68.000 Ha.
Sebab, temuan Walhi Sumut mencatat tangkapan citra sentinel tahun 2016, keberadaan PT.TPL menyebabkan setidaknya 20.000 Ha tutupan hutan hilang dibentang alam tele.
Bahkan tangkapan citra sentinel tahun 2020, keberadaan PT.TPL menyebabkan setidaknya 22.000 tutupan hutan hilang dibentang alam tele.
Melihat laju deforestasi kawasan hutan dikawasan danau toba, PT.TPL berkontribusi atas rusaknya 4.000 Ha kawasan hutan lindung, dan 18.000 Ha kawasan hutan Produksi di kawasan hutan bentang alam Tele.
"Praktek perusakan kawasan hutan lindung yang dilakukan oleh TPL dibentang alam tele indikasi yang kuat telah melakukan perbuatan melanggar hukum," sebutnya.
Makanya pemerintah harus melakukan evaluasi dan menerapkan penegakkan hukum setegas tegasnya terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT.TPL.
Maka dari itu, tuntutan para massa aksi di antaranya :
1. Hentikan operasional PT. TPL di Tano Batak
2. Cabut izin konsesi PT. TPL dari Tano Batak
3. Wujudkan reforma agraria sejati dan kembalikan tanah adat kepada masyarakat adat
4. Lindungi kemenyan sebagai tanaman endemik
5. Hentikan kriminalisasi dan intimidasi kepada masyarakat adat
6. Selamatkan tano Batak dari limbah perusahaan - perusahaan yang merusak lingkungan Danau Toba
7. Selamatkan hutan Tano Batak dari aktivitas penggundulan.
(cr8/tribun-medan.com)