Breaking News

Edy Ijeck Pecah Kongsi

ISU Edy-Ijeck Pecah Kongsi Jadi Karpet Merah bagi Pasangan Ketiga, Ini Alasannya

Isu Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dan Wakilnya Musa Rajekshah (Ijeck) akan pecah kongsi dan menjadi lawan pada Pilkada 2024 semakin nyata.

TRIBUN MEDAN/Muhammad Nasrul
Musa Rajekshah (kanan) membantu memakaikan kancing baju Edy Rahmayadi (kiri), saat menghadiri perayaan Imlek bersama Hati Emas (Harapan Tionghoa Untuk Eramas), di Jalan Pembangunan no 41 Medan Helvetia Timur, Jumat (16/2/2018). 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Isu Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi dan Wakilnya Musa Rajekshah (Ijeck) akan pecah kongsi dan menjadi lawan pada Pilkada 2024 semakin nyata.

Hal ini lantaran Edy Rahmayadi semakin terang-terangan melakukan pendekatan kepada partai-partai politik dan meminta dukungan. Ia pun menyebut yakin akan bersaing dengan Golkar yang dipimpin Ijeck saat ini di DPD Sumut.

Pengamat Politik asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar mengatakan jika Edy-Ijeck benar-benar pecah kongsi nantinya, hal ini akan menjadi karpet merah (jalan mulus) bagi pasangan ketiga.

"Karpet merah itu bermakna jalan mulus bagi pasangan ketiga. Artinya pasangan ketiga sangat diuntungkan oleh konflik Edy Rahnmayadi vs Musa Rajekshah," ujar Shohibul, Senin (7/3/2022).

Ia pun mengatakan hal ini bukan tidak beralasan, lantaran faktor identitas dalam politik Indonesia masih sangat kental.

Hal ini akan sangat memungkinkan bagi pasangan ketiga untuk bisa bermain di antara identitas yang mengikat pasangan Edy Rahmayadi - Musa Rajekshah (Eramas) pada Pilgub 2018 lalu.

"Dalam anatomi politik Indonesia, faktor identitas masih sangat penting. Identitas yang mengikat Eramas dengan konstituen yang memilihnya adalah Nasionalisme dan Islam,"

"Jika pasangan ketiga tahu berselancar di antara kedua variable itu, keuntungan besar buat dia," jelasnya.

Sementara itu, terkait kondisi partai politik ke depan yang akan mendapatkan posisi terbaik, Shohibul mengaku integritas Pemilu masih rendah.

"Pemilu yang seolah demokratis, namun sama sekali sangat buruk. Mulai dari penentuan siapa penyelenggara, kualitas buruk DPT, penghitungan suara, sampai ketidakadilan bertempur di mahkamah konstitusi," katanya.

Menurutnya, praktik transaksional dalam demokrasi membuat partai yang paling memiliki akses ke modal yang bisa menjuarai setiap pemilu.

"Artinya, hanya partai yang paling memiliki akses ke modal dan paling mampu memainkannyalah yang akan berhasil menjuarai setiap pemilu di negara yang mengasaskan transaksi sebagai pengendali demokrasinya. Indonesia ada pada posisi itu dan sedang senang-senangnya dengan praktik itu," pungkasnya.

(cr14/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved