35 Tahun Berlalu Kembar Siam Pertama Yuliana dan Yuliani Diselamatkan, Kini Sudah Jadi Dokter
Masih ingat Yuliana dan Yuliani bayi kembar siam dempet kepala? 35 tahun lalu, Yuliana dan Yuliani berhasil dioperasi.
Yuliani menyampaikan, operasi pemisahan oleh Pakde, begitu Yuliana Yuliani biasa memanggil Dokter Padmosantjojo, memungkinkan mereka meraih capaian seperti sekarang.
Jika tak dioperasi saat itu, amat mungkin ia menghabiskan hidup dengan terbaring karena sulit bergerak akibat kembar siam.
Menurut Yuliana, pengalaman hidup menjalani operasi pemisahan membentuk mereka seperti saat ini.
Banyak pihak berkontribusi dalam keberhasilan mereka, yakni orang tua, Pakde, dan masyarakat yang mendoakan agar operasi pemisahan tahun 1987 silam berhasil.
Oleh karena itu, Yuliana menjadikan hidupnya sebagai ucapan terima kasih kepada mereka yang berjasa dalam hidupnya.
"Kami ingin membuat bangga orang tua, Pakde juga. Mereka tersenyum bangga atas prestasi kami sudah cukup bagi saya," ujarnya.
Yuliana menambahkan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, tanggung jawab sosial terhadap masyarakat kian tinggi.
Itu yang selalu diajarkan orang tua dan Pakde.
Setelah operasi pemisahan, Pakde jadi sumber inspirasi bagi si kembar Yuliana Yuliani.
Sebagai dokter, Yuliani dididik Pakde agar tak berorientasi uang. Pakde mengajarkan, motivasi jadi dokter seharusnya menolong sesama.
"Pakde selalu mengajar kami berbagi dengan orang lain dan memberi manfaat bagi orang banyak," ucap Yuliani.
Ke depan, Yuliana ingin membagi ilmunya dengan menjadi dosen atau peneliti.
Sementara Yuliani ingin meneruskan pendidikan dokter spesialis bedah saraf seperti Pakde, sumber inspirasinya.
Sekilas tentang Dokter Padmosantjojo
Ya, Dokter Padmosantjojo selama di RSCM selalu menggratiskan bedah saraf yang dilakukannya.
"Saya dibayar 2M per pasien. Makasih, Mas. Matur nuwun, Mas," ujarnya sambil tertawa.
Menurut Padmosantjojo, perhatiannya pada Yuliana Yuliani juga merupakan bentuk protes kepada pemerintah yang disampaikan dengan contoh nyata.
Bahwa untuk memberi akses layanan kesehatan tak perlu jargon politik, hanya perlu empati dan kemauan menolong mereka yang membutuhkan.
Padmosantjojo, yang belajar bedah saraf di Rijk Universiteit, Groningen, Belanda, menyatakan Indonesia merdeka, tapi akses warga pada layanan kesehatan, khususnya bedah saraf, belum merata.
Tidak semua warga bisa mengakses layanan ini, apalagi sejumlah provinsi belum punya dokter spesialis bedah saraf.
Hal ini membuat pasien yang butuh menjalani bedah saraf bisa meninggal karena tak tertangani.
Penghargaan prestasi dokter bedah saraf pun seolah enggan dilakukan pemerintah.
Padmosantjojo pernah ditawari bekerja di Belanda dan akan dikukuhkan sebagai guru besar di Groningen, tetapi ia memilih balik ke Indonesia.
"Demi bangsa," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut. (*)
Baca juga: Daftar Jenderal Rusia Tewas Bertambah, 40 Ribu Tentara Putin Tewas Selama Perang Melawan Ukraina
Baca juga: Paulo Dybala Jadi Incaran Barcelona Setelah Hengkang dari Juventus
Baca juga: PENGAKUAN Olla Ramlan Jauh Hari Sebelum Gugat Cerai, 2 Alasan Dirinya Bisa Meninggalkan Suami
Artikel ini telah tayang di Tribun-Timur.com
KISAH Kembar Siam Pertama Yuliana dan Yuliani Diselamatkan, 35 Tahun Berlalu Kini Sudah Jadi Dokter