Masjid Azizi Tanjung Pura, Peninggalan Megah Kesultanan Langkat yang Dibangun Tahun 1899
Masjid Azizi yang terletak di Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara (Sumut) menjadi salah satu saksi sejarah penyebaran Islam di Indonesia
TRIBUN-MEDAN.com - Dibangun tahun 1899, Masjid Azizi yang terletak di Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara (Sumut) menjadi salah satu saksi sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Tanah Melayu.
Dihimpun Tribunmedan.com, Masjid Azizi mulai dibangun di masa Kesultanan Langkat oleh Sultan Musa Al Holidin Muazzam Syah pada tahun 1899.
Masjid ini berdiri di atas lahan seluas 18.000 meter persegi dan dibangun atas saran Syekh Abdul Wahab Rokan.
Masjid yang terletak di Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) ini baru rampung dan diresmikan oleh putranya, Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah pada 13 Juni 1902.
Saat ini, Masjid Azizi menjadi salah satu cagar budaya nasional.

Setiap momen Ramadan, Masjid Azizi ramai dikunjungi oleh pendatang dari luar daerah dan masyarakat setempat.
Masjid yang bercorak perpaduan Timur Tengah dan India ini bia menampung sekitar 2000 jemaah.
Biasanya, warga yang datang untuk melaksanakan ibadah salat dan menikmati suasana masjid peninggalan Kesultanan Langkat.
Selain itu, warga juga melakukan ziarah ke makam Sultan, yang berada di samping masjid.
Baca juga: Panduan Sholat Tahajud di Bulan Ramadhan, UAH Jelaskan Rahasia Istimewa Sholat Malam
Masjid yang terletak di jantung Kota Tanjung Pura ini masih berdiri kokoh meski telah berusia lebih dari 100 tahun.
Bangunan didominasi warna kuning yang sangat kental dengan unsur budaya Melayu.
Terdapat pula berbagai ornamen berupa ukiran di jendela, kubah, bahkan menara masjid yang dipengaruhi dengan budaya Persia, Hindia, Arab dan Turki.
Kehadiran ornamen lampu hias di ruang tengah menambah kemegahan Masjid Azizi.
Detail huruf-huruf Alquran terukir rapi di dinding-dinding.
Bahkan mimbar kayu yang didatangkan dari Turki masih berdiri kokoh hingga saat ini meski sudah berusia ratusan tahun.
Masjid Azizi menjadi satu di antara bangunan atau masjid peninggalan Kesultanan Langkat yang terbesar di Sumut. Bangunan ini menyimpan banyak cerita peradaban Kesultanan Langkat.
Masjid ini dibangun karena amanah sang ayah Sultan Abdul Aziz, yaitu Syekh Abdul Wahab Rokan.
Jadi wajar saja, dalam catatan sejarah Masjid ini tertulis jelas sosok yang mengusulkan pendirian masjid, yakni Syekh Abdul Wahab Rokan.
Masjid berwarna kuning dan hijau itu diberi nama Azizi, mirip dengan nama pendirinya, Sultan Abdul Aziz. Kemakmuran Kesultanan Langkat tercermin dari megahnya Masjid Azizi.
Biaya pembangunan Masjid Azizi yang megah itu ditanggung seluruhnya oleh Sultan Aziz.
Bahkan, Sultan Aziz menolak bantuan sumbangan dari kerajaan-kerajaan lain, demi malksanakan amanah dari almarhum ayahnya.
Masjid ini diarsiteki bangsawan Jerman bernama GD Langereis. Pembangunannya dilaksanakan oleh warga lokal dan orang-orang Tionghoa.
Baca juga: Dibangun dengan Menggunakan Putih Telur, Berikut Kemegahan Masjid Kedatukan yang Berusia 137 Tahun
Pembangunan Masjid Azizi tampaknya bersamaan dengan masa kejayaan Kesultanan Langkat.
Hal ini dipengaruhi juga karena Kesultanan Langkat kaya akan sumber daya alam, serta letaknya yang strategis sangat menunjang perekonomian kerajaan.
Kekayaan Kesultanan Langkat juga tercatat di tahun 1883 ketika menerima royalti besar dari produksi massal minyak bumi pertama oleh Royal Dutch.
Sumber daya minyak bumi tersebut berasal dari Pangkalan Brandan.
Material-material pembangunan masjid didatangkan dari Penang dan Singapura didatangkan lewat jalur tersebut.
Kemegahan Masjid Azizi tampak dari konsep arsitekturnya yang sangat berbeda dengan masjid-masjid di Indonesia pada umumnya.
Kubahnya ada belasan, terbuat dari tembaga yang berwarna hitam. Kini, masjid tersebut juga termasuk sebagai cagar budaya nasional.
Bangunan Masjid Azizi memiliki 22 kubah yang beragam tipenya, yaitu satu kubah induk, tiga kubah teras, empat kubah sudut, 14 kubah piramidal berukuran kecil.
Arsitekturnya juga diperkaya pilar-pilar tinggi dengan pelengkung di atasnya, seperti masjid-masjid di Timur Tengah. (tribunmedan.com)