TRIBUN-MEDAN.COM - Hubungan China dan AS Semakin Memburuk Menjelang Kongres Partai Komunis China ke-20 pada 16 Oktober.
Partai Komunis China yang berkuasa akan memulai Kongres Partai ke-20 pada 16 Oktober mendatang. Dalam pertemuan sangat penting itu, Presiden Xi Jinping dalam kondisi dua pilihan; dilantik kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ketiga kalinya atau bakal terjungkal.
Selain tekanan politik dari dalam pemerintahan Xi Jinping, Anggota Dewan Negara sekaligus Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi pada Jumat (23/9/2022) mengatakan kepada Menlu Amerika Serikat (AS) Antony Blinken bahwa hubungan China-AS saat ini dalam kondisi rusak parah, dan AS harus mengambil pelajaran dari kondisi itu.
Wang menyampaikan pernyataan tersebut dalam pembicaraan mereka di lokasi Misi Tetap Republik Rakyat China untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kedua diplomat itu turut menghadiri Sidang Majelis Umum PBB ke-77 yang sedang berlangsung.
Wang mengatakan bahwa hubungan China-AS berada di titik kritis, dan sangat penting bagi kedua belah pihak, dengan sikap bertanggung jawab terhadap dunia, sejarah, dan masyarakat di kedua negara, untuk mengadopsi pendekatan yang tepat demi mewujudkan kerukunan antara dua negara besar, serta berupaya untuk menghentikan kemerosotan lebih lanjut pada hubungan bilateral dan menstabilkannya kembali.
Wang secara spesifik berfokus pada pelanggaran-pelanggaran terbaru yang dilakukan pihak AS terkait masalah Taiwan, secara komprehensif menguraikan posisi resmi pihak China.
"Masalah Taiwan merupakan inti dari kepentingan inti China, dan hal itu memiliki bobot yang signifikan di dalam benak rakyat China," demikian Wang menekankan. "Misi kami adalah untuk menjaga kedaulatan nasional dan integritas teritorial, dan sama sekali tidak ada ambiguitas tentang hal itu," ujar Wang kepada Blinken.
Wang mengingatkan Blinken bahwa AS telah membuat komitmen politik yang jelas kepada China mengenai masalah Taiwan, termasuk tiga komunike bersama China-AS yang dicapai beberapa dekade lalu dan pernyataan yang berulang kali disampaikan oleh pemerintah AS saat ini bahwa pihaknya tidak mendukung "kemerdekaan Taiwan." "Namun, apa yang telah dilakukan AS bertentangan dengan komitmennya, dalam berbagai upaya untuk merusak kedaulatan nasional dan integritas teritorial China, menghalangi tujuan besar reunifikasi damai China, dan terlibat dalam apa yang disebut sebagai strategi "menggunakan Taiwan untuk mengekang China," ujar Wang.
Dia juga menambahkan bahwa pihak AS bahkan secara terbuka mengklaim akan membantu melindungi Taiwan, yang telah mengirimkan sinyal yang sangat berbahaya dan salah.
AS harus kembali mematuhi tiga komunike China-AS dan prinsip Satu China sebagaimana adanya, menegaskan kembali kebijakan Satu China-nya tanpa elemen tambahan, dan dengan tegas menyatakan penolakan jelas terhadap segala bentuk aktivitas separatis "kemerdekaan Taiwan," sebut Wang.
Masalah Taiwan merupakan urusan internal China, kata Wang, dan AS sama sekali tidak berhak ikut campur dalam proses penyelesaian masalah Taiwan.
Sikap China terkait penyelesaian masalah Taiwan selalu konsisten dan tidak ambigu, yaitu bahwa China akan terus berpegang pada prinsip-prinsip dasar "reunifikasi damai dan satu negara, dua sistem." Wang menekankan bahwa sangat tidak mungkin bagi resolusi damai untuk berjalan beriringan dengan "kemerdekaan Taiwan."
Semakin aktivitas "kemerdekaan Taiwan" merajalela, semakin kecil kemungkinan untuk menyelesaikan masalah Taiwan secara damai, kata Wang, seraya menambahkan bahwa perdamaian lintas Selat hanya dapat benar-benar dipertahankan dengan secara tegas menentang dan menghalangi aktivitas "kemerdekaan Taiwan."
"China dan AS memiliki kepentingan yang sama dan perbedaan mendasar secara bersamaan, sebuah kenyataan yang tidak akan berubah, ujar Wang di sela-sela Sidang Umum PBB di New York, yang dilaporkan Reuters, Sabtu (24/9/2022).
Wang menyatakan harapan bahwa pihak AS akan memperbaiki persepsinya tentang China, serta memikirkan kembali dan mengubah kebijakan China-nya yang diarahkan oleh pengekangan dan penindasan. "Washington harus mengurungkan niatnya untuk berurusan dengan China dari posisi yang lebih kuat, serta tidak perlu selalu mencari cara untuk mengekang perkembangan China atau terus mengandalkan intimidasi sepihak,"ujarnya.
"AS harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memulai kembali pertukaran normal antara kedua belah pihak, dan mendukung kembalinya hubungan China-AS ke jalur pengembangan yang sehat dan stabil," lanjutnya.
Blinken mengatakan bahwa hubungan AS-China berada dalam situasi yang sulit. Namun, Blinken mengatakan bahwa pihak AS bersedia untuk terlibat dalam komunikasi dan dialog yang jujur dengan China, menghindari kesalahpahaman dan salah perhitungan, serta menemukan jalan untuk ke depannya.
Blinken juga menegaskan kembali bahwa pihak AS tidak berniat untuk memicu "Perang Dingin baru," tidak mengubah kebijakan Satu China-nya, dan tidak mendukung "kemerdekaan Taiwan."
Wang dan Blinken sama-sama memandang terkait situasi Ukraina. Kedua belah pihak menganggap pertemuan itu bersifat jujur, konstruktif, serta penting, dan mereka sepakat untuk menjaga komunikasi, demikian laporan Xinhua.
Analisa Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie
Sementara, Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie menilai memanasnya hubungan China dengan Taiwan bisa berimbas terhadap ekonomi di dunia, khususnya Indonesia. Bahkan jika perang terjadi, dampaknya lebih parah dari pertempuran Rusia-Ukraina. "Kalau perang sampai terjadi, imbasnya bukan hanya dirasakan Indonesia namun juga dunia. Bahkan lebih besar dibanding perang Rusia-Ukraina," kata Connie dalam seminar nasional yang diselenggarakan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Kamis, kemarin.
Connie mengatakan bahwa potensi meletusnya perang di China imbas dari maraknya kehadiran Amerika Serikat di kawasan tersebut. "Selain lokasi yang lebih dekat dengan Indonesia, Taiwan maupun China memiliki pengaruh cukup kuat bagi dunia, khususnya di sektor ekonomi. Taiwan war berbahaya, kenapa? Sebab, Taiwan berada di jalur logistik dunia," kata Connie.
Ia mengatakan sebanyak 33 persen perdagangan laut (seaborne trade) dunia melalui Selat Taiwan, termasuk kontribusi terhadap perdagangan dunia (worldtrade), China menyumbang 12,4 persen, AS sebesar 8,1 persen, dan Taiwan1,7 persen. "Taiwan war (perang Taiwan) akan menyebabkan PDB AS diproyeksikan akan menurun 5-10 persen dan China 25-35 persen," jelasnya.
Dia mengatakan besarnya dampak yang dirasakan dunia seharusnya bisa diantisipasi. Indonesia bersama negara kawasan bisa mengambil peran untuk ikut mendinginkan tensi di kawasan tersebut. "Kita sebagai negara yang ada di negara kawasan harus yakin bahwa kita mampu menghentikan niat Amerika Serikat untuk membuat perang di Taiwan karena bisa membuat 'collapse of the world'," ujar dia.
Menurut Connie, selama ini negara kawasan hanya terpaku pada kekuatan dan ancaman China. Padahal, memanasnya kawasan Taiwan menunjukkan adanya pergerakan AS dan NATO ke perairan kawasan. "Koalisi (AS) sudah mengatur untuk ada di sini dan memicu konflik kalau diinginkan," kata dia.
Menurut Connie, Indonesia sebagai negara maritim besar harus mengambil peran mengantisipasi perang. Menggunakan doktrin pertahanan Presiden Soekarno, ada kebijakan pertahanan berorientasi ke dalam dan luar negeri. Ke dalam untuk melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Sementara ke luar dengan melakukan gelar militer dan gelar operasi untuk mendukung kemerdekaan sebuah negara, seperti halnya yang dilakukan di Aljazair, Afghanistan, dan Pakistan. "Ini yang membuat Indonesia saat itu dikenal sebagai negara militer terbesar di kawasan Indonesia Selatan. Itu bukti kesuksesan Presiden Soekarno untuk mewujudkan agar tak ada negara yang hegemoni," kata Connie.
Baca juga: SOSOK Connie Rahakundini yang Berani Suruh KSAD Jenderal Dudung Jangan Berambisi Jadi Panglima TNI
(*/tribun-medan.com/Kompas.com/kompas.id)