Mafia Tanah

Jejak Mafia Tanah di Karang Gading Langkat, Hutan Lindung Jadi Perkebunan Sawit, Nelayan Sengsara

Kasus mafia tanah di Karang Gading Kabupaten Langkat sampai saat ini tak kunjung usai ditangani Kejati Sumut

Editor: Array A Argus
DOC KJI
Suasana menuju Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Sebagian wilayah Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut, Sumatera Utara. 

TRIBUN-MEDAN.COM, MEDAN - Suara mesin perahu mengiringi perjalanan tim Klub Jurnalis Investigasi (KJI) menuju Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Lokasi desa ini berada di dalam Suaka Margasatwa Karang Gading, Langkat Timur Laut.

Sebagian besar kawasan hutan lindung ini berubah menjadi perkebunan sawit dan saat ini kasusnya sedang bergulir di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan sertifikat lahan hutan lindung tersebut dirilis Kejaksaan Tinggi Sumut pada November 2021 lalu, tepatnya pascamenerima Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dari Kejaksaan Agung Nomor Print-16/L.2/Fd.1/11/2021.

Perjalanan kami menuju Desa Tapak Kuda ditemani seorang warga setempat bernama Wan.

lahan marga satwa disulap jadi sawit
Suasana menuju Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat. Sebagian wilayah Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut, Sumatera Utara.(DOC KJI)

Ia bercerita, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit memberikan dampak signifikan terhadap penghasilan warga sekitar yang mayoritas bermata pencaharian nelayan.

“Waktu masih banyak bakau, melaut satu atau dua mil sudah banyak dapat ikan, sekarang sudah jauh kali dapat enggak seberapa. Macam tadi malam, biaya melaut keluar Rp 500 ribu tapi ikan hanya dapat 2 kilo,” kata Wan, saat menemani tim KJI akhir September lalu.

Meskipun pohon mangrove masih berjejer di tepi sungai yang menjadi jalur utama nelayan di sekitar Desa Tapak Kuda, di dalam kawasan hutan sudah dipenuhi pepohonan sawit, tanaman mangrove tak lagi terlihat.

Tinggi pohon-pohon sawit itu berkisar 10 meter dan tumbuh rapi hampir di seluruh sudut Desa Tapak Kuda.

Buah yang masih ada di pohon juga tidak terlihat segar.

Di antara pohon sawit, ada sapi-sapi yang digembalakan.

Menurut Wan, alih fungsi lahan hutan lindung ini sudah terjadi sejak akhir 1990-an hingga tahun 2000. Sejak saat itu, perekonomian warga sekitar kian sulit dan harus berpikir mencari sumber penghasilan lain selain melaut.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor SK579/2014, kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading resmi ditetapkan dengan luas sekitar 15.765 hektare.

SM Karang Gading disoroti oleh Kejaksaan Agung RI karena ditemukan alih fungsi lahan hutan lindung untuk peruntukan yang tidak semestinya.

"Tim penyelidik telah menemukan adanya peristiwa pidana dengan bukti permulaan yang cukup, bahwa di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading-Langkat Timur Laut, tepatnya di Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat ditemukan fakta bahwa sebagian Kawasan Suaka Margasatwa telah dialih fungsikan yang seharusnya menjadi hutan bakau mangrove," ujar Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung saat itu, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Senin (6/12/2021) lalu.

Berdasar Sprindik itu, KJI melakukan penelusuran. Ada 210 hektare lahan yang diduga dikuasai mafia tanah. Sebanyak 60 sertifikat lahan terbit atas nama perorangan.

Ada 28 ribu batang sawit yang tumbuh di atasnya.

Dalam kasus ini, lahan yang dikuasai ada di dua desa.

Desa Tapak Kuda dan Pematang Cengal.

Keduanya masuk dalam Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.

Modus penguasaan lahan ini menggunakan Koperasi Serba Usaha (KSU). Dalam kasus yang tengah bergulir, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menemukan Koperasi Serba Usaha Sinar Tani Makmur atau disingkat KSU-STM.

“Lahan hanya dikuasai satu orang yang diduga mafia tanah,” ujar Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati Sumut Yosgernold A Tarigan, Rabu (21/9/2022).

Kasus dugaan mafia tanah ini sudah bergulir hampir setahun di Kejaksaan.

Namun belum ada satu pun yang ditetapkan menjadi tersangka.

Kabar terakhir, Kejati Sumut sudah memeriksa setidaknya 40 orang saksi.

Di antara 40 orang saksi, terseret sejumlah nama mantan pejabat di antaranya; DH (Kepala BPN Langkat 2002-2004), SMT (Kepala BPN Langkat 2012), Nurhayati (Kepala BPN Langkat 2009 - 2012), Saut Ganda Tampubolon (Kepala BPN Langkat 2013).

Kasten Situmorang (KS) (Kepala BPN Langkat 2015), dan RM sebagai mantan Kepala Seksi Penetapan Lahan pada Kantor BPN Langkat.

Kejaksaan juga sudah memeriksa Alexander Halim alias Akuang (AK) yang merupakan pemilik lahan. Kemudian R alias A (mantan karyawan perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit), R (Ketua Koperasi STM), Kepala Desa Tapak Kuda Imran.

Termasuk Camat dan orang - orang yang terlibat dalam koperasi.

Pria yang akrab disapa Yos itu juga mengatakan, Kejati Sumut sudah melakukan penggeledahan di dua lokasi.

Kantor Pertanahan Langkat dan Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sumut.

Dari dua lokasi itu tim membawa beberapa dokumen dan data lainnya untuk melengkapi barang bukti.

Pihaknya juga sudah melakukan cek lapangan, bersama beberapa pihak terkait.

Kebun Sawit di Atas Hutan Lindung Sudah Lebih 30 tahun

KJI Sumut melakukan penelusuran jejak kasus dugaan penyerobotan lahan SM KG-LTL oleh Alexander Halim alias Akuang.

Sepak terjangnya menguasai dan mengusahai perkebunan sawit di kawasan Karang Gading juga sudah cukup lama, lebih dari 30 tahun.

“Sudah sejak 1990 an,” ujar Kepala Dusun V Desa Tapak Kuda Amrun, Minggu (27/9/2022).

Kala itu, Amrun baru saja dipindahkan oleh pemerintah dari Desa Tapak Kuda Lama.

Satu pulau kecil yang penduduknya terpaksa direlokasi karena terancam tenggelam akibat abrasi.

Perencanaan pemindahan mulai dibahas pada 1985. (Sumber: Arsip Tempo 1985 dan 1991). Ancaman tenggelamnya pulau di Selat Malaka itu sudah terjadi sejak 1975.

Ombak kian deras menghantam dan menggerus daratan.

Pada 1985, ketinggian air yang naik ke daratan mencapai 1 meter.

Relokasi masyarakat kemudian dilakukan bertahap sejak 1987 sampai 1992.

Masyarakat dipindahkan ke wilayah Desa Pangkal Pasar Bubun.

Setelah mereka pindah, sebagian wilayah ini pun berganti nama, menjadi Desa Tapak Kuda atau dikenal Tapak Kuda Baru.

“Kementerian sosial sama Kementerian kehutanan yang memindahkan. Satu orang dikasih rumah, di atas tanah berukuran 20 x 30 meter. Ini juga rumah kami masih biru (kawasan konservasi) kalau di peta,” kata Amrun sembari menunjukkan satu rumah yang bentuknya masih asli sejak awal pemindahan.

Amrun adalah warga asli di Tapak Kuda lama. Hanya makam moyangnya yang tersisa di sana.

Belakangan, di pulau Tapak Kuda, kembali ditanami mangrove.

Di Desa Tapak Kuda yang baru, Amrun sudah menjabat sebagai Kepala Dusun 30 tahun lamanya.

Dia juga menjadi saksi hidup bagaimana mangrove di sekitar lokasi tempat tinggalnya berganti menjadi kebun sawit.

Amrun mengetahui sedikit jejak Akuang. Menurutnya, pembukaan lahan dimulai di akhir 1990-an.

Ada alat - alat berat yang masuk. Amrun menuturkan, tidak hanya Akuang yang mengusahai lahan di kawasan konservasi.

“Tidak hanya dia (Akuang). Tapi ada yang lain juga, mereka masuk dan mengusahai kawasan di tahun - tahun yang tidak jauh berbeda dengan Akuang,” ungkapnya. Sepengetahuan Amrun, ada sembilan orang terduga mafia tanah yang memiliki sertifikat atas nama masing-masing.

“Yang banyak itu Akuang, sekitar 300 hektare, selebihnya hanya 100 hektare,” ucapnya.

Pria paruh baya itu mengaku heran, bagaimana orang lain bisa dengan gampang masuk ke kawasan hutan dan menggantinya dengan sawit. “Sementara masyarakat sampai saat ini kesulitan untuk mendapatkan lahan. Kalaupun ada, statusnya hanya hak pengelolaan melalui kemitraan konservasi dengan pemerintah,” kata Amrun.

Hitung Kerugian Negara

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut Yosgernold A Tarigan saat ditemui KJI pada Senin (10/10/2022) mengatakan saat ini selain memeriksa saksi, pihaknya juga masih menunggu hasil penghitungan kerugian negara baik secara ekologi maupun perekonomian.

“Kita tidak hanya mencari kerugian negara, tapi kita juga mencoba mencari kerugian perekonomian negara,” katanya.

Yos menuturkan, sertifikat lahan yang dimiliki oleh Akuang dikeluarkan dalam rentang tahun 2009 hingga 2012.

Akuang diduga membeli lahan atas nama orang lain yang juga sebagian besar adalah karyawannya dan mengalihkan seluruh sertifikat menjadi atas namanya pada tahun 2013.

“Bisa dibilang, proses penyelidikan kita temukan perbuatan melawan hukum. Di penyidikan ini tentunya, perbuatan melawan hukum itu kan digali secara komprehensif. Apa saja aturan yang dilanggarnya. Yang pada intinya, kawasan SM berdiri sawit. Ini kan kawasan, sudah ada aturannya,” ujarnya.

Kini sebagian besar dari 60 sertifikat yang terbit sudah atas nama Akuang.

Kata Yos, apa yang dilakukan Akuang sudah jelas merupakan perbuatan melanggar hukum.

Namun pihaknya masih terus menggali lebih jauh duduk perkaranya.

“Kita secara prinsip ingin ini cepat. Cuma secara pemberkasan, maunya ini mumpuni dan komprehensif,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Desa Tapak Kuda Imran yang juga diperiksa sebagai saksi, mengaku tidak banyak mengetahui soal duduk perkara penerbitan sertifikat lahan yang dikuasai Akuang.

Imran baru saja dilantik pada Agustus 2022 lalu. Namun dia juga pernah menjadi Kepala Desa Tapak Kuda pada era 2010 - 2015 lalu.

Dia tahu Akuang memiliki lahan di sana. Namun tidak tahu bahwa ternyata lahan itu berada di kawasan konservasi.

“Tidak ada pemberitahuan kepada kita sebagai pimpinan wilayah, kalau itu masuk ke dalam wilayah konservasi,” kata Imran lewat sambungan telepon, Senin (10/10/2022) petang.

Imran juga tidak mengetahui soal proses jual beli lahan milik Akuang.

Kata dia, kawasan itu sudah dikelola masyarakat sejak awal 1990 - an.

Dia juga mengatakan, Akuang sudah memiliki sertifikat lahan sejak era 2000-an.

“Setelah bermasalah ini, baru kita tahu (itu konservasi),” ungkapnya.

Imran mempertanyakan kinerja dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut.

Mengapa seakan tidak ada pencegahan dan pengawasan yang jelas di kawasannya yang belakangan diserobot menjadi perkebunan sawit.

“Semenjak saya duduk (menjabat), lahannya sejak 2000-an sudah bersertifikat. 2000-an awal itu. 2001 atau 2005. Ada yang 2001, ada yang 2005,” kata Imran.

Dia juga bingung, kenapa BPN menerbitkan sertifikat jika itu merupakan kawasan konservasi.

Padahal harusnya, BPN melakukan pengecekan, apakah kawasan yang diterbitkan sertifikatnya tidak di dalam kawasan lindung.

“Saya juga bingung, pihak yang bertanggung jawab ini siapa. Kita tidak ada dikasih tahu. Pemberitahuan bahwa itu kawasan juga gak ada. Sertifikat itu kan bukan bim salabim. Kan panjang lho. Bukan mau mengeluarkan rapor anak sekolah. Jadi saya pun bingung lah dengan masalah ini,” pungkasnya.

Pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alamat (BBKSDA) Sumut yang dimintai komentar terkait alih fungsi lahan di kawasannya, tidak memberikan tanggapan.

Kepala Seksi Wilayah II BBKSDA Sumut, Herbert Aritonang yang dikonfirmasi akhir September lalu, meminta KJI untuk mencari informasi hanya dari Kejati Sumut.

Padahal, KJI ingin mengetahui, sejauh mana peran mereka dalam melakukan pengawasan di kawasan lindung.

KJI kembali meminta konfirmasi dari Kepala Sub Bagian Data Evlap dan Kehumasan BBKSDA Sumut Andoko Hidayat. Andoko pun tidak memberikan jawaban pasti.

“Saya izin pimpinan dulu,” kata Andoko, Kamis (6/10/2022).

Persekongkolan Pemerintah Desa

Dari Amrun, KJI beralih ke narasumber lain. Dua orang masyarakat Adi dan Rusli –bukan nama sebenarnya– membeberkan cerita bagaimana Akuang bisa menguasai lahan.

KSU Sinar Tani Makmur yang diduga bodong menjadi ‘kendaraannya’. Hanya bermodal plang, dan pengurus yang tidak jelas.

Persekongkolan penguasaan lahan diduga melibatkan pemerintahan desa.

Adi dan Rusli menunjukkan salinan dokumen per tahun 1998 berjudul Surat Pernyataan Bersama soal ganti rugi.

Warkat berlogo garuda di sudut kiri atas itu diteken Djamian sebagai Kades Pematang Cengal dan Ismail, Kades Tapak Kuda.

Ada lima poin pernyataan yang tertulis di dalam dokumen.

Di antaranya adalah, bahwa Djamian menguruskan ganti rugi tanah masyarakat Desa Tapak Kuda seluas 400 hektare.

Besaran ganti rugi yang dibayarkan, Rp 400 ribu per persil (sebidang tanah dengan ukuran tertentu) untuk masyarakat dan Rp 300 ribu untuk pemerintah Desa Tapak Kuda.

Ganti rugi yang diserahkan Djamian, diduga berasal dari Akuang. Kedua Kades diduga terlibat menjadi makelar Akuang untuk menguasai lahan.

“Kepala desa bekerjasama menjualkan lahan itu,” kata Adi.

Lahan - lahan yang diganti rugi seolah pernah dikelola masyarakat.

Adi juga mengaku pernah mendapat keterangan dari orang yang diminta seolah menjual lahan dan diberikan ganti rugi.

“Dari yang menjual itu bilang. Kami disuruh tebas. Kemudian diambil satu pancang -satu pancan,” katanya.

KJI juga menemukan sejumlah salinan sertifikat lahan dan surat iuran pembangunan daerah tahun 1975 milik orang-orang yang bukan penduduk Desa Tapak Kuda.

Salinan surat - surat berharga itu diteken Kepala Sub Direktorat Agraria - Kepala Seksi Pendaftaran Tanah bernama NT Silangit.

Nama - nama pemilik di antaranya berinisial IA dan H. Adi menyebut H sudah dipanggil ke Kejaksaan.

Dia menjelaskan, H adalah anak dari salah satu kepala desa yang pernah menjabat selain Ismail.

Sementara itu, lahan milik IA dipindahkuasakan kepada D pada 2007.

Persil-persil ini kemudian diduga menjadi bagian yang dijual kepada Akuang.

“Itu semua melalui kepala desa. Kami juga gak tahu belakangan ada sertifikat yang terbit. 60 sertifikat (yang sedang diperkarakan) itu kita itu gak tahu siapa – siapa saja namanya. Tapi rata – rata orang luar Tapak Kuda,” ungkapnya.

Adi mengingat, Akuang mulai melakukan pembersihan lahan pada awal 2000 - an.

Setelah hutan bakau bersih, barulah ditanami sawit.

Saat pembukaan lahan, masyarakat setempat tidak ada yang terlibat.

Akuang menggunakan pekerja dari luar Tapak Kuda.

Untuk memastikan temuan di lapangan dan dari Kejaksaan, KJI mencoba mengonfirmasi Akuang.

Dua nomor ponselnya tidak tersambung. Begitu juga dengan pesan singkat yang dikirimkan.

KJI sudah mengirimkan surat permintaan wawancara kepada petugas di kebun Akuang.

Namun hingga tulisan ini diturunkan, belum ada jawaban.

Untuk mengetahui jejak penerbitan sertifikat lahan, KJI juga sempat menemui Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara, Indra Imanuddin.

Namun Indra tidak ingin mengomentari kasus yang tengah bergulir. Dia menyarankan untuk mengonfirmasi kepada Kepala BPN Langkat.

Kami juga mendapatkan informasi bahwa penerbitan sertifikat lahan dilakukan oleh Kantor Pertanahan atau BPN Langkat, namun saat dihubungi, Kepala BPN Langkat Syafrizal Pane juga tidak merespon konfirmasi KJI.

Mencari Ikan Semakin Sulit

Alih fungsi lahan mangrove membuat warga Desa Tapak Kuda dan sejumlah desa lainnya kesulitan mencari ikan. Seperti Amrun yang dulunya bisa sejahtera di Tapak Kuda Lama, mengaku mulai kesulitan mencari ikan sejak tahun 2010-an.

Ia mengaku ikan semakin sulit didapat karena kawasan mangrove rusak parah.

Untuk melaut, Amrun dan nelayan lain harus menempuh jarak lebih jauh. Hasilnya juga tidak sepadan.

Berbeda jauh saat mereka baru dipindahkan ke sana dan saat hutan mangrove masih lebat.

“Kalau dulu cari 20 kilogram gampang. Enggak sampai ke lepas pantai sana,” ungkapnya.

Amrun dan warga lainnya kemudian mencari cara agar bisa mendapat penghasilan tambahan.

Mereka mengajukan program kemitraan konservasi melalui Kelompok Tani Tumbuh Subur.

Syaratnya, mereka melakukan upaya pemulihan. Kementerian Lingkungan Hidup kemudian memberikan izin kelola seluas 250 hektare lahan bekas kebun sawit di dalam kawasan SM Karang Gading.

Dari lahan itu mereka mendapat penghasilan tambahan.

Kelompok sudah mulai memanen beberapa komoditas pertanian.

Keresahan Amrun soal kondisi lingkungan yang kian rusak juga dirasakan Wan.

Sebelum berubah menjadi perkebunan sawit, hasil tangkapan ikan melimpah ruah. Penghasilan sebagai nelayan juga cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

“Sampai ada anggapan toko emas berjalan. Emak – emak kalau undangan, ‘bersirip’ emas itu. Zaman sekarang habis sudah,” kata Wan.

Karena tangkapan semakin menurun, para nelayan rela menyabung nyawa melaut hingga perbatasan Malaysia di Selat Malaka. Di sana mereka akan bertahan selama seminggu.

Nasib lebih berat dialami Wan. Dia hanyalah nelayan tradisional yang menyewa kapal milik tauke.

Hasil yang didapat harus berbagi dengan pemilik kapal.

Mereka juga harus bersaing dengan nelayan modern pengguna pukat.

Dulu, saat kondisi mangrove masih baik, Wan bisa dengan mudah mendapatkan penghasilan Rp 5 juta per bulan.

Itu didapat dengan skema, satu hari melaut, satu hari libur.

“Kalau sekarang ini, seminggu kita ke laut pun susah dapat. Tiap hari ke laut, mencari Rp2 juta per bulan susah. Kalau mengharap dari laut semata – mata, anak tak bisa sekolah,” tuturnya.

Untuk mendapat penghasilan tambahan, istri Wan terpaksa bekerja sebagai pencari udang.

Meski upahnya tidak seberapa, mau tidak mau itu harus dilakukan untuk sekadar memenuhi kebutuhan harian.

Ancaman kemiskinan di Tapak Kuda juga membuat banyak warganya yang memilih menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan merantau ke luar negeri.

“Sekarang ini di mana ada pesisir, koperasi pinjaman uang laris manis.

Banyak yang ngutang. Padahal kita ambil, belum tentu berbayar. Karena kebutuhan itu makanya meminjam,” imbuhnya.

Kerugian Jasa Lingkungan Capai Rp 48,3 Miliar Per Tahun

Laporan Bank Dunia pada 2022 dalam “The Economics of Large-scale Mangrove Conservation and Restoration in Indonesia” menyebutkan, mangrove memberikan jasa lingkungan yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Jasa lingkungan ini juga termasuk perlindungan pantai, pengaturan iklim, habitat bagi perikanan, penyedia bahan baku, dan jasa budaya.

Hitungan riset itu, jasa lingkungan kawasan mangrove menghasilkan manfaat rata-rata USD 15 ribu per hektare per tahun atau setara dengan Rp 230 juta.

Namun pada beberapa wilayah, manfaatnya bisa mencapai hampir USD 50 ribu per hektare per tahun atau setara dengan Rp 767 juta.

Tergantung pada kondisi ekosistemnya.

“Jika diasumsikan demikian, 210 hektare yang sedang berperkara, bisa menghasilkan jasa lingkungan hingga Rp 48,3 miliar per tahun,” ujar Dosen sekaligus Peneliti Mangrove dari Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Onrizal saat ditemui KJI, Rabu (13/10/2022).

Sebelum ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa lewat SK Menhut Nomor 579/2014, Langkat Timur Laut dan Karang Gading adalah kawasan hutan dengan Zelfbestuur Besluit (ZB) atau surat keputusan masing - masing pada 1932 dan 1935 yang disahkan dengan Besluit (ketetapan) Seripadoeka Toean Besar Goeverneur dari Pesisir Timoer Poela Pertja.

Luas hutan di Karang Gading adalah 6.425 hektare dan Langkat Timur Laut 9.520 hektare.

Kemudian dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 November 1980, kedua kawasan tersebut ditunjuk sebagai Suaka Alam Cq. Suaka Marga Satwa.

Secara administratif, SM KG-LTL terletak di Kecamatan Hamparan Perak dan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang serta di Kecamatan Secanggang dan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat dengan total luas 15.765 hektare.

Riset Onrizal menunjukkan kondisi SM KG-LTL pada 1989 memiliki mangrove 11.179,09 hektare. Dalam tiga dekade, bakau yang hilang mencapai 25 persen atau 2.871 hektare. Pada 2018, hutan mangrove yang tersisa tinggal 8.303,35 hektare.

“Hilangnya kawasan disebabkan perluasan perkebunan sawit serta tambak. Kondisi ini membuat nelayan kehilangan 40 persen pendapatannya,” jelasnya.

Deforestasi SM KG-LTL menyumbang angka dalam hilangnya 60 persen hutan mangrove Pantai Timur 30 tahun terakhir.

Musnahnya 100 hektare mangrove berakibat pada hilangnya lebih kurang 1,2 ton udang. Karena udang bergantung pada ekosistem mangrove yang sehat. Hasil riset lainnya menunjukkan dua per tiga biota laut menghuni hutan mangrove yang baik.

Kerusakan juga berakibat intrusi air laut. Kondisi air tanah di seputar kawasan pesisir akan menjadi asin. Karena penyaringnya hilang. Potensi abrasi pantai semakin besar. Mangrove juga berperan penting menjaga iklim, karena menyimpan karbon lima kali lipat dari hutan yang ada di daratan.

“Kehilangan mangrove berarti membunuh secara perlahan masyarakat pesisir. Orang di kota bisa makan seafood karena ada mangrove,” pungkasnya.(cr14/tribun-medan.com)

*Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaborasi yang dilakukan oleh anggota Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Sumut; IDN Times dan Tribun Medan

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved