Bumper Sibolangit
Jejak Rezim Soeharto di Bumi Perkemahan Sibolangit, Ratusan Masyarakat Terancam Diusir
Kekuasaan Soeharto ternyata ada dampak khusus terhadap masyarakat Bumi Perkemahan Sibolangit
"Berjalannya waktu pihak PTP atau BUMN yang tadinya menguasai mundur karena biaya operasinal tidak ada subsidi dari mana pun," ujarnya.
"Belakangan ini tanpa sepengetahuan kami, dengan cara sepihak pemprov memberikan surat peringatan pengosongan lahan," sambungnya.
"Pemprov Sumut mengklaim, tanah kami milik mereka dengan penerbitan sertifikat hak guna pakai nomor 002 dan 003 tahun 1988," kata Beni.
Ia membeberkan bahwa, semasa kepemimpinan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi mereka baru diusik.
"Setelah zaman Edy Rahmayadi inilah terjadi masalah, sebelumnya tidak pernah ada masalah," ungkapnya.
Bukan hanya Beni yang merasakan konflik lahan di sana, warga lainnya Dariatmo juga menceritakan sejarah lahan di sana.
Di tahun 1972, ia mengaku masih kecil. Ketika itu dirinya bersama dengan kedua orangtuanya sedang bertani di sawah milik mereka.
Tiba-tiba, sekelompok pria berbaju loreng mendatangi ia dan orangtuanya memaksa keluarga nya untuk meninggalkan lahan mereka.
Ketika itu, pria berpakaian loreng ini menyampaikan bahwa lahan tersebut akan dipakai untuk kegiatan Jambore Pramuka.
"Tahun 72 di sana padi semua, jadi disitu aku masih kecil. Jadi begitu datang Tentara bawa Laras panjang minta kami untuk pergi detik itu juga. Kalau tidak dikosongkan ditudih bapak ku PKI," ujarnya.
Dengan berat hati, keluarganya pun langsung meninggal lahan pertaniannya tanpa membawa apapun.
"Jaman itu, semua penduduk tidak boleh lagi memasuki pekarangan yang akan dibuat kegiatan Jambore," ucapnya.
"Kami mau ngambil kayu di dalam juga nggak boleh, kalau kedapatan langsung di redam ataupun dipopor pakai senjata," tambahnya.
Sementara warga lainnya, Suludin mengaku sejak lahan tersebut dipakai hingga saat ini, pemerintah pemprov Sumut tidak pernah mengeluarkan surat Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk masyarakat di sana.
Sebab, sebagian dari masyarakat juga tidak memiliki sertifikat lahan karena telah dirampas dan tidak pernah dikembalikan.
Namun, SHM Suludin masih tersimpan, karena pada saat itu ia tidak memberikannya kepada panitia pelaksana Jambore.
Kepada Tribun-medan.com, ia sempat menunjukkan SHM yang dia miliki, dari surat tersebut terlihat bahwa SHM itu keluarkan pada tahun 1967 dan dicap setempat oleh kepala desa Bandar Baru.
"PBB itu tidak ditetbitkan lagi semenjek kwartir Pramuka memakai lahan pinjaman ini, jadi lahan pinjaman inilah artinya yang diperalat untuk menyertifikatkan lahan itu sama pemprov Sumut," bebernya.
Ia juga menjelaskan, warga disana akan kebingungan ketika harus diusir dari lahan yang telah diduduki masyarakat selama berpuluh-puluh itu.
Selama ini, masyarakat di sana hanya bertahan hidup dari hasil tani dan pariwisata.
Sebagian warga di sana juga telah, membangun sejumlah rumah mewah untuk dijadikan tempat wisata.
Menurut pengakuannya, sejumlah bangunan mewah yang berbentuk villa itu merupakan rumah warga di sana.
Sebab, menurut pengakuannya tanah di sana tidak ada yang diperjualbelikan, dan kepemilikannya turun temurun.
"Semua yang ada disini termasuk bangunan mewah itu milik masyarakat di sini, kalaupun ada pindah tangan itu mungkin pada menantu. Tidak ada pernah jual beli," ungkapnya.
"Itu bukan villa, itu rumah pribadi kami. Salah penilaian kita, itu bukan villa itu rumah masyarakat yang punya rejeki lebih," sambungnya.
Suludin juga tidak terima, ketika Gubernur Sumut Edy Rahmayadi menilai mereka tidak mampu memiliki rumah dengan harga miliaran rupiah.
"Jadi jangan dibilang gubernur masyarakat tidak bisa membangun rumah senilai 1 miliar. Menurut Edy Rahanyadi kita adalah manusia paling miskin karena menurut dia, kami menggarap tanah dia," tegasnya.
Seorang warga lainnya, Suryanto mengaku curiga dengan sikap Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, yang secara tiba-tiba mau mengusir mereka.
"Kami curiga sama Edy Rahmayadi ini apa misi dia. Apakah dia ada bermain sama mafia tanah, itu jelas kami curiga disitu, ada apa dengan Edy Rahmayadi ini," ungkapnya.
Ia menegaskan, dirinya bersama dengan ratusan warga lainnya akan mempertahankan tanah mereka, hingga titik darah penghabisan.
Mereka juga menolak, jika diiming-imingi ganti untung ataupun dialokasikan ketempat lain.
Karena, lahan-lahan disana merupakan tempat mereka mencari kehidupan.
"Tuntutan kita sebagai masyarakat Desa Bandar Baru khususnya Dusun I dan V, tetap mempertahankan tanah kami. Apapun itu kami akan mempertahankan hak kami," ucapnya.
"Jangankan untuk ganti rugi, ganti untung pun kami tidak akan menerima, karena kami menghargai warisan leluhur kami," pungkasnya.(tribun-medan.com)