LPKA Medan

Kisah Kepala LPKA Kelas I Medan dalam Program Berantas Buta Aksara Bagi Anak Binaannya

Pasalnya, sampai saat ini Rafi yang telah berusia remaja belum mampu membaca dan menulis. Akibat buta aksara, Raffi pun gelisah, apa yang bisa

Dok. Kemenkumham Sumut
Semangat Rafi dalam belajar dan mengikuti kegiatan sekolah sebagai salah satu upaya Program Pembinaan dalam Berantas Buta Aksara di LPKA Medan 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Kumandang azan magrib menggema di setiap sudut-sudut ruangan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Medan. Azan magrib menjadi pengingat berhentinya segala aktivitas anak binaan di LPKA Medan itu. Selepas magrib, seorang anak binaan, sebut saja Rafi (17) salah satu anak binaan di LPKA Medan yang tengah dilanda bingung bukan kepalang.

Pasalnya, sampai saat ini Rafi yang telah berusia remaja belum mampu membaca dan menulis. Akibat buta aksara, Raffi pun gelisah, apa yang bisa dilakukannya untuk masa depannya kelak.

Sungguh, tidak mudah bagi Rafi, yang di usia menjelang dewasa itu masih buta aksara. Tak ingin terus larut dalam kesedihan dan berputus asa, semangat Rafi dalam belajar dan mengikuti kegiatan sekolah sebagai salah satu upaya Program Pembinaan dalam Berantas Buta Aksara di LPKA Medan turut dilakoninya dengan baik.

Kisah Rafi adalah potret seorang anak yang di zaman serba digital sekarang, masih mengalami buta aksara. Tidak bisa baca tidak bisa tulis. Sebuah realitas anak bangsa yang jarang dilirik banyak orang. 

Bisa jadi, Rafi tidak hanya sendiri di LPKA Medan, atau mungkin masih banyak Rafi lainnya di pelosok negeri Indonesia. Sebuah keadaan anak bangsa yang buta aksara.

Berawal dari keprihatinan kisah Rafi inilah, Tri Wahyudi, Kepala LPKA Medan tergugah dan merasa patut terjun langsung dalam memberantas buta huruf atau buta aksara.

Kepeduliannya akan kaum buta aksara, menjadikan Wahyudi, begitu panggilan Kepala LPKA Medan yang kemudian memilih  mencurahkan perhatian dan waktunya untuk mengatasi masalah buta huruf bagi anak binaanya di LPKA Medan.

Wahyudi, selaku Kepala LPKA Medan harus memutar otak dan bersiasat, untuk menghimpun anak-anak binaan penyandang buta aksara agar mau belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana.

Tak jarang semangat belajar anak-anak binaannya harus di pantik menggunakan para pengajar yang dalam usia muda. Hanya sebagai motivasi dan menyemangati, salah satunya dengan memanfaatkan mahasiswa-mahasiswa yang sedang melaksanakan tugas praktek kerja lapangan (PKL) di LPKA Medan.

"Ikut peduli mengatasi buta huruf di kalangan anak binaan menjadi panggilan hati saya, Rafi mungkin hanya sekelumit kisah miris anak-anak di negeri ini. Bahkan hampir tidak diperhatikan banyak orang. Makanya saya terjun langsung untuk mengajar mereka," kata Wahyudi yang tiap selesai magrib mengajar anak binaanya buta aksara.

Dari Rafi pula, Wahyudi belajar dan menganalisis pola interaksi orang tua dalam mendidik anaknya. Perkembangan pendidikan anak berpotensi terhambat, hanya karena keterbatasan orang tua dan kurangnya perhatian orang tua dalam pendidikan anak. Wahyudi bertekad, kisah Rafi yang mengalami masa kebingungan ketika menghadapi masa depan dan kehidupannya tidak boleh terus berulang.

Memberantas buta huruf atau buta aksara, memang tidak mudah di zaman now. Selain faktor usia dan kesadaran, faktor gengsi pun masih menyelimuti kaum buta huruf. Apalagi di tengah himpitan ekonomi, makin kuat alasan mereka enggan mengakui dan malu belajar. (*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved