Berita Viral

Dosen USU Ini Sebut Masyarakat yang Menolak RKUHP Kurang Literasi

Dosen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Mahmud Mulyadi berpendapat, penolakan RKUHP terjadi sebab masyarakat kurang literasi.

Tribun Medan/HO
Dosen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Mahmud Mulyadi 

TRIBUN-MEDAN.COM, MEDAN - Ketentuan pidana mengenai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden yang diatur dalam Pasal 218-220 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dinilai bermasalah.

Pengesahan RKUHP menuai banyak kritik dari berbagai koalisi masyarakat hingga hari ini. Terkait salah satu pasal yang dianggap bermasalah di atas Dosen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Mahmud Mulyadi berpendapat, hal ini terjadi sebab masyarakat kurang literasi.

"Penjelasan pasal itu sudah ada pembatasannya, yang dimaksud dengan penyerangan kehormatan atau nama baik itu masuk penghinaan, tapi bukan penghinaan ringan, tapi penghinaan berat," ujar Mulyadi kepada Tribun, Selasa (6/12/2022).

Penghinaan berat yang dimaksudkan adalah bentuk fitnah, disebutnya jika hanya menyebutkan mirip sesuatu, itu bukan penghinaan berat. 

"Jadi yang masuk dalam penghinaan berat adalah memfitnah presiden atau wakil presiden, misalnya menyebutkan sesorang mirip sesuatu itu bentuknya penghinaan ringan, bukan begitu yang dimaksud dalam pasal tersebut," pungkasnya.

Mulyadi juga turut memberi masukkan terhadap pasal 218 yang dimaksud pada acara Menkumham goes to kampus jauh sebelumnya. Dirinya mengaku juga memberi masukan terkait penghinaan yang dimaksud dalam pasal tersebut seperti apa halnya harus dijelaskan.

"Budaya literasi kita harusnya tinggi, saya juga memberi masukan dalam pasal 218, dalam kegiatan Menkumham goes to campus pada waktu itu. Jadi disini sudah dimasukkan pendapat saya, dipenjelasannya ada dijelaskan, termasuk menyiksa atau memfitnah," jelasnya.

Kemudian yang dimaksud dengan yang dilakukan untuk kepentingan umum yang diungkap melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi. Dijelaskan Mulyadi bahwasanya berbeda pendapat dengan kebijakan pemerintah tentu boleh, unjuk rasa dan sejenisnya masih boleh.

"Dalam negara demokrasi kritik merupakan hal penting sebagai bagian dari berekspresi. Walaupun hal tersebut mengandung ketidaksetujuan dengan kebijakan presiden dan wakil presiden. Dipenjelasannya sudah jelas itu, boleh mengkritik, pada dasarnya kritik dalam pasal ini bentuk pengawasan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat," tukasnya.

Diketahui ada 21 lembaga yang menolak RKUHP ini yaitu YLBHI, LBH Jakarta, Trend Asia, BEM Kema Unpad, Greenpeace Indonesia, BEM SI Kerakyatan, HRWG, BEM UI, BEM STH Indonesia Jentera, serta Aliansi Jurnalis Independent (AJI).

Kemudian, Imparsial, KontraS, Walhi, ICEL, PBHI, HuMa, LBHM, Dompet Dhuafa, Bangsa Mahasiswa, YIFoS Indonesia, dan AMAN.

Ke 21 lembaga ini tergabung dalam koalisi masyarakat sipil dan melakukan aksi menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/12/2022).

Lantas benarkah ke 21 lembaga ini yang kurang literasi atau Mulyadi yang kurang literasi?

Ketua AJI Medan, Cristison Sondang Pane saat berunjuk rasa di Bundaran Majestic menolak RKUHP tersebut, Senin (5/12/2022) menyampaikan bahwa AJI bersama koalisi masyarakat sipil lainnya sudah melakukan telaah mendalam terhadap pasal-pasal bermasalah.

"Ada 17 pasal yang bisa mengekang kerja jurnalis," ujarnya.

Aliansi Jurnalis Independen Kota Medan melakukan aksi unjuk rasa di bundaran Majestik, Jalan Gatot Subroto, Senin (5/12/2022).
Aliansi Jurnalis Independen Kota Medan melakukan aksi unjuk rasa di bundaran Majestik, Jalan Gatot Subroto, Senin (5/12/2022). (Tribun Medan/M Fadli Taradifa)

Berikut kajian lengkap AJI dan koalisi masyarakat sipil lainnya.

ANALISIS DIAMBIL DARI KAJIAN AJI TERKAIT 17 PASAL BERMASALAH, DISKUSI RKUHP, ARGUMEN LBH PERS.
BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA

Bagian 1: Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara

Paragraf 1: Penyebaran atau Pengembangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme

Pasal 188

1) Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) mengakibatkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian Harta Kekayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan orang menderita Luka Berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(6) Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

ANALISIS:

Pasal ini berpotensi dialamatkan ke pers karena pemberitaan investigatif bisa mengangkat kasus-kasus yang terkait korban dari stigma komunisme, yang dalam realitasnya seringkali tak dibedakan antara produk pers atau kegiatan jurnalistik atau bukan.

Peristiwa pemberangusan Pers Mahasiswa Lentera karena liputan berkaitan dengan soal komunisme, merupakan contoh bagaimana publik dan pula aparat yang tidak memberi perlindungan terhadap liputan media saat mengangkat kasus tersebut. Sebaliknya, aparat kepolisian menarik majalah tersebut.

Bagian 2

Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 218

(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

ANALISIS

Pasal ini bertentangan dengan prinsip hukum hak asasi manusia, khususnya berkaitan dengan doktrin Prinsip-Prinsip Siracusa terkait pembatasan yang memiliki legitimasi, selain pula tak sejalan dengan prinsip perlindungan kebebasan ekspresi terkait dengan kritik terhadap pejabat publik.

Presiden dan Wakil Presiden adalah subjek yang sah untuk dikritik, sehingga hukum-hukum yang melarang kritik pada pejabat publik, misalnya penghinaan perlu dirumuskan dengan tidak melanggar kebebasan berekspresi (UN Human Rights Committee, General comment no. 34, Article 19, Freedoms of opinion and expression, CCPR/C/GC/34, 12 September 2011).

Lihat kasus Soeharto v. Pop Magazine (Rey Hanintyo), 1974 dan kasus Megawati v. Rakyat Merdeka (Supratman), 2003.2

Pasal 219

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

ANALISIS

Sama dengan alasan sebelumnya, pasal ini berpotensi melanggar Prinsip-Prinsip Siracusa, menjelaskan bahwa pembatasan harus dirumuskan secara ketat untuk kepentingan hak yang dilindungi tersebut dan konsisten dengan tujuan ketentuan ICCPR, sehingga pembatasan tersebut tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang dan tanpa alasan yang sah.

Bagi pers, terutama kegiatan jurnalistik yang menggunakan rekaman sebagai salah satu aktivitasnya, termasuk menyebarluaskan dan memberitakan rekaman dalam rangka kegiatan jurnalistik, menjadi potensi dipidana.

Pasal 220

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

ANALISIS:

Rumusan aduan bukan oleh individu, melainkan pejabat publik, dan ini justru kemunduran bagi perumusan pasal-pasal pidana yang seharusnya melindungi kepentingan publik dan kebebasan ekspresi maupun kebebasan pers.

Masukan selain dari kajian hukum AJI, meskipun berbasis pengaduan, pada praktiknya kerapkali laporan hukum ini bisa dilakukan oleh siapa saja dan kecenderungannya akan diproses oleh penegak hukum (hasil diskusi Twitter Spaces KKJ 25 Nov 2022).

Paragraf 2: Penghinaan terhadap Pemerintah

Pasal 240

(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

(4) Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.

ANALISIS:

Pemberitaan pers berpotensi dikait-kaitkan dengan pasal 240, dan menjadi ancaman tersendiri, terlebih dalam kasus-kasus hukum.

Perubahan minor tersebut tidak menjamin jurnalis aman dalam bekerja. Tetap saja keberadaan pasal problematik ini berpotensi menimbulkan ancaman kriminalisasi atau pengekangan kerja-kerja jurnalistik.

Pasal penghinaan ini jauh di bawah standar hukum hak asasi manusia, khususnya pasal 19 ayat 2 dan 3 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia bersama DPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.

Pasal 241

(1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

(4) Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.

ANALISIS:

Argumen sama dengan analisis berkaitan dengan pasal 219 RKUHP di atas.

Pasal penghinaan sudah seharusnya dihapuskan, karena bertentangan dengan standar hukum HAM yang berkaitan dengan pembatasan yang memiliki tujuan terlegitimasi (legitimate aim), selain itu pula potensi disalahgunakan untuk mempidanakan, dan secara tidak proporsional yang mengancam kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Kasus demikian terus berulang pemidanaannya, dan semangatnya lebih memperlihatkan motif retaliasi daripada semangat untuk membangun demokratisasi dan partisipasi warga untuk berekspresi. Tak terkecuali dalam aktivitas jurnalistik

Paragraf 7: Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong

Pasal 263

1) Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

(2) Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

ANALISIS:

Dalam kasus pemberitaan pers yang dianggap “…menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong..”, harus diuji dengan mekanisme khusus hukum pers, terutama dengan memanfaatkan hak jawab dan hak koreksi (sesuai dengan standar dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers), karena bila ini diterapkan oleh penegak hukum justru akan berdampak pada kebebasan pers.

Mengingat, pers akan bekerja untuk mengawasi dan mengawal kepentingan publik, dan seringkali menghadapi tudingan pembohongan dari pihak-pihak yang diberitakan.
Lihat kasus S.A.S (Harian Sinar Pagi, 1982); kasus H. Abdul Wahid (Berita Buana, 1989); kasus Bambang Harymurti, A Taufik dan Teuku Iskandar (Tempo, 2003); kasus Upi Asmaradhana (2008)3 .

Sependapat dengan AJI, kritik lain terkait Pasal 263 diungkapkan LBH Pers. Unsur-unsur pada pasal ini tidak memiliki ukuran yang jelas dan berpotensi dijadikan alat kriminalisasi terhadap masyarakat sipil. Padahal, pemidaan terhadap suatu tindakan haruslah jelas ukurannya sebagai bentuk pemenuhan kepastian hukum.
Selain itu, frasa "berita bohong" dinilai kontradiktif karena "berita" merupakan informasi yang telah diolah dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Jika suatu informasi merupakan kebohongan maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai "berita".

Pasal 264

Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

ANALISIS:

Dalam konteks kegiatan jurnalistik, seringkali pemberitaan pers dianggap “….berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap..”, dan hal tersebut juga akan mengancam pers ketika mekanisme hukum pers tidak digunakan untuk menguji.

BAB VI TINDAK PIDANA TERHADAP PROSES PERADILAN

Bagian 1: Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan Pasal 280 Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung:

a. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;

b. bersikap tidak hormat terhadap aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan padahal telah diperingatkan oleh hakim;

c. menyerang integritas aparat penegak hukum, petugas pengadilan, atau persidangan dalam sidang pengadilan; atau

d. tanpa izin pengadilan memublikasikan proses persidangan secara langsung.

ANALISIS:

Perubahan minor tersebut tetap berpotensi problematik untuk kerja-kerja jurnalistik. Karena frasa ‘tanpa izin pengadilan mempublikasikan proses persidangan secara langsung’ pada huruf c masih tetap ada.

Mengingat, beberapa proses persidangan di Indonesia (yang terbuka untuk publik) kerapkali memerlukan peran jurnalis untuk mengawal/watch dog. Lagipula, soal izin persidangan ini sudah diatur dalam hukum acara pidana

Dalam praktek berhukum di peradilan, kerja jurnalistik seringkali ditekan dan dibatasi untuk melakukan liputan-liputan kasus yang seharusnya terbuka untuk umum atau publik. Upaya mengambil gambar, atau merekam, justru mendapat pengusiran-pengusiran, tanpa dasar yang jelas.

Subyektifitas hakim, atau bahkan diskresi peradilan yang membatasi pers dikhawatirkan justru mengancam dan memidanakan jurnalis yang sedang menjalankan aktifitas jurnalismenya. Contoh: Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengusir pengunjung dan wartawan yang meliput persidangan kasus pembunuhan tanpa hukum terhadap enam anggota Laskar FPI atau unlawfull killing. (“Hakim Usir Wartawan dari Ruang Sidang Pembunuhan Laskar, CNN Indonesia FPI”)

BAB VII TINDAK PIDANA TERHADAP AGAMA, KEPERCAYAAN, DAN KEHIDUPAN BERAGAMA

Bagian 1: Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan

Pasal 302

Pasal 300

Setiap Orang Di Muka Umum yang:

a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;

b. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau

c. menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

ANALISIS:

Pers dapat tersasar pasal ini bila pemberitaan kritis terkait isu agama dan kepercayaan tidak diupayakan penyelesaiannya melalui mekanisme hukum pers.
Kasus Arswendo (Monitor, 23 Oktober 1990) adalah salah satu contohnya. Dalam kasus ini, mekanisme hukum pers atau hak jawab, sama sekali tak pernah dihormati dan dilindungi, sehingga pemidanaan justru membungkam kebebasan pers itu sendiri.

Pasal 303

(1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.

ANALISIS:

Sama dengan analisis terkait pasal 302. Kasus yang pula sempat menjadi perhatian ketika pemimpin redaksi Jakarta Post dijadikan sebagai tersangka penistaan agama. Ia diperiksa polisi karena harian itu memuat karikatur tentang organisasi teror ISIS.

Pasal 304

(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

(2) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

ANALISIS:

Sebuah pemberitaan pers sangat mungkin dikait-kaitkan dengan pasal yang dinilai menghasut untuk beragama atau tak beragama. Pasal ini, dalam konteks hukum pers, akan menjadi masalah bila sebuah pemberitaan tidak diuji melalui mekanisme hukum pers, melainkan langsung diproses pemidanaan.

Bagian 3: Penghinaan Ringan

Pasal 440

Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterima kan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II

ANALISIS:

Catatan sama terhadap pasal ini sebagaimana penghinaan di pasal 352.

BAB XVII TINDAK PIDANA PENGHINAAN

Bagian 1: Pencemaran

Pasal 437

1) Setiap Orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.

(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.

ANALISIS:

Formulasi pasal penghinaan demikian ini tidak bisa diterapkan, bahkan sebaliknya bila diterapkan akan justru mengakibatkan pelanggaran atas hak asasi manusia itu sendiri, termasuk jaminan kebebasan pers.

Jaminan atas kebebasan pers seringkali dilanggar oleh pasal-pasal pencemaran nama baik, atau defamasi.

Praktek negara-negara di dunia banyak yang mulai menghapus pemidanaan terhadap defamasi, karena selain tidak demokratis, pula mengganggu jaminan perlindungan hak asasi manusia lainnya, karena bisa eksesif disalahgunakan.

Padahal, sebagaimana standar pembatasan, ada alasan “necessary‟ yang dalam kerangka hukum maupun penegakannya harus terhubung dengan tujuan untuk mencapai fungsi perlindungan, “must be appropriate to achieve their protective function.” (Prinsip Prinsip Siracusa).

Bagian 6: Pencemaran Orang Mati

Pasal 443

(1) Setiap Orang yang melakukan pencemaran atau pencemaran tertulis terhadap orang yang sudah mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan Tindak Pidana tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.

(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dituntut jika tidak ada pengaduan suami atau istrinya, atau dari salah seorang keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus atau menyamping sampai derajat kedua dari orang yang sudah mati tersebut.

(4) Dalam masyarakat matriarkat pengaduan dapat juga dilakukan oleh orang lain yang menjalankan Kekuasaan Ayah.

ANALISIS:
Pembatasan atas makna “pencemaran tertulis‟ diperlukan agar tak menjangkau karya jurnalistik atau pers.

Bila karya jurnalistik dilaporkan pemidanaan ke aparat penegak hukum, maka harus menempuh mekanisme hak jawab terlebih dahulu sebagai mekanisme utama dalam hukum pers. Hal demikian diakui secara universal untuk merespon karya jurnalistik.

Bagian 2: Tindak Pidana Penerbitan dan Pencetakan

Pasal 598

Setiap Orang yang menerbitkan tulisan atau gambar yang menurut sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:

a. orang yang meminta menerbitkan tulisan atau gambar tidak diketahui atau pada teguran pertama setelah dimulai penuntutan tidak diberitahukan; atau

b. penerbit mengetahui atau patut menduga bahwa orang yang meminta menerbitkan pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar negeri.

ANALISIS:

Pasal ini jelas diniatkan pembentuk hukum untuk menyasar ke pihak yang terlibat dalam penerbitan dan pencetakan, yang tentunya akan pula menjangkau pers. Hal ini dipertegas dalam penjelasannya yang menyebut eksplisit delik pers.

Pasal “Delik Pers” jelas merupakan ancaman bagi kebebasan pers, karena pasal ini mengonfirmasi pengutamaan mekanisme pemidanaan yang sama sekali tak menghargai karya jurnalistik, dampak pemberlakuan pasal dan tidak dipahaminya perkembangan hukum soal penghapusan delik pers yang berkembang hukumnya di berbagai dunia (dekriminalisasi), atau setidaknya lebih dari 50 negara telah menghapuskannya. Mengenai penjelasan Pasal 594 yang berbunyi: “Tindak Pidana dalam ketentuan ini lazim disebut dengan delik pers. Pada dasarnya dalam delik pers, pelaku Tindak Pidana adalah orang yang membuat tulisan. Akan tetapi apabila syarat sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b dipenuhi, penerbit yang harus mempertanggungjawabkan Tindak Pidana tersebut.”, maksud pembentuk hukum memformulasikan eksplisit “delik pers” dalam pasal 598 RKUHP menjadi penjelas bahwa niat pembentuk hukum RKUHP telah menggunakan cara pandang konvensional dan kolonial atas perkembangan maju hukum di dunia dan universal diakui dalam rangka dekriminalisasi pers.

Kriminalisasi pers akan menjadi dampak terbesar penggunaan pasal ini. Ini bentuk kekeliruan pembentuk hukum yang tidak mempertimbangkan ancaman demokrasi, kebebasan sipil dan pers, serta hilangnya kontrol publik atas tindakan kesewenang-wenangan.

Pasal 599

Setiap Orang yang mencetak tulisan atau gambar yang menurut sifatnya dapat dipidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:

a. orang yang meminta mencetak tulisan atau gambar tidak diketahui atau pada teguran pertama setelah dimulai penuntutan tidak diberitahukan; atau

b. pencetak mengetahui atau patut menduga bahwa orang yang meminta mencetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut atau menetap di luar negeri.

ANALISIS:

Konsekuensi pasal 599 (atau dalam draf baru Pasal 595) sama dengan pasal 598 (atau dalam draf baru menjadi Pasal 594), yang berdampak terhadap ancaman demokrasi dan kebebasan pers. Penyebutan yang menjangkau pihak yang berada di luar negeri (sebagaimana pula pasal 598), pasal ini pula dapat menyasar penerbit maupun pencetak dari media asing atau luar negeri yang melakukan upaya pemberitaan di Indonesia.

Standar yang digunakan untuk pembatasan juga sangat kabur, tidak legitimate, serta tidak jelas makna hukum untuk bagaimana pengaturan demikian konsisten dengan pemberlakuan hukum HAM internasional yang telah diakui dalam sistem hukum nasional,
terutama berkaitan dengan Kovenan Internasional

(cr26/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved