Piala Dunia di Kedai Tok Awang
Messi-Alvarez, teringat Duet Maradona-Caniggia
Argentina punya duet baru yang mengingatkan pada Diego Maradona dan Claudio Caniggia di Piala Dunia 1990. Apakah pencapaian mereka bisa dilampauai?
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Saat namanya diumumkan sebagai bagian dari skuat Argentina ke Piala Dunia 2022, tidak banyak orang yang memperkirakan Julian Alvarez bakal jadi bintang. Selain Lionel Messi, sorotan lebih banyak ditujukan kepada Lautaro Martinez.
Tolok ukurnya, pertama, sepak terjang di klub. Martinez bermain untuk Inter Milan dan jadi sosok yang krusial di sana. Hingga pekan ke 15 Serie A, Martinez menjadi pelesak gol terbanyak kedua Inter di bawah Edin Dzeko (8 gol: 7 Serie A + 1 Liga Champions).
Alvarez pun sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Berseragam Manchester City, musim ini ia bermain 19 kali, mencetak 6 gol dan 2 assist. Namun Lionel Scaloni sepertinya memang lebih mempercayai Martinez.

Sepanjang fase kualifikasi zona Conmebol (negara-negara Amerika Selatan), dari total 17 laga [mestinya 18, tapi Argentina dan Brasil atas kesepakatan bersama dan persetujuan FIFA tidak memainkan laga mereka yang tertunda lantaran faktor nonteknis –di samping apapun hasilnya memang sudah tidak lagi berpengaruh pada posisi akhir], Scaloni bahkan tidak memanggil Julian Alvarez dalam tujuh pertandingan.
Alvarez baru dipanggil pada laga kontra Peru pada 3 Juli 2021. Ia duduk di bangku cadangan dan tidak bermain. Sebaliknya, Lautaro Martinez selalu dipanggil dan hampir selalu pula menjadi starter.
Martinez kemudian menjadi pencetak gol terbanyak bagi Argentina di fase kualifikasi bersama Lionel Messi dengan torehan 7 gol, sedangkan Alvarez cuma mencetak satu gol yang diciptakannya di matchday terakhir kontra Ekuador pada 29 Maret 2022. Untuk kali pertama pula di laga ini dia masuk di jajaran starting line up.
“Kalok nengok Alvarez ini aku jadi teringat Caniggia. Ingat kelen? Di Piala Dunia 1990, dia pun kayak Si Alvarez. Awal-awal yang diduetkan sama Maradona, kan, bukan dia, tapi Abel Balbo," kata Lek Tuman.
Memang, persis Martinez dan Alvarez, antara Balbo dan Claudo Caniggia juga tidak ada perbedaan teknis dan pengalaman yang terlalu jauh. Balbo waktu itu bermain untuk Udinese sedangkan Caniggia untuk Atalanta. Di era 1990, Liga Serie A Italia masih menjadi "kiblat" sepak bola dunia. Pemain-pemain bintang, juga pemain-pemain muda berbakat, berkumpul di sana. Usia Balbo 24, Caniggia setahun lebih muda.
Argentina sebagai juara bertahan langsung lolos ke putaran final Piala Dunia 1990. Mereka tidak perlu melalui fase kualifikasi. Di laga pertama Argentina kontra Kamerun di Stadion San Siro, Pelatih Kepala Argentina Carlos Bilardo memasang Balbo sebagai pemain nomor 9 –ujung tombak utama [meski ia kala itu bernomor punggung 3].
Babak kedua, Caniggia masuk menggantikan Oscar Ruggeri.
"Penyerang masuk ganti pemain bertahan. Wajar, karena waktu itu Argentina sedang tertinggal dari Kamerun. Tapi yang aku heran, setelah pertandingan lawan Kamerun, pertandingan kedua dan seterusnya sampai final, Balbo gak main lagi. Aku nggak ingat, entah kenak cedera atau apa dia, pastinya Caniggia terus yang main," ujar Lek Tuman lagi.
Duet Claudio Caniggia dan Diego Maradona kemudian melahirkan sederet sensasi. Kecerdikan Maradona dan belaian Dewi Fortuna yang membuat kaki dan kepala Caniggia tiba-tiba menjadi sakti, membuat La Albiceleste –julukan Tim Nasional Argentina– menekuk lawan-lawan yang sebenarnya bermain jauh lebih baik dari mereka.
Brasil disingkirkan lewat satu serangan tunggal di menit 81. Padahal sepanjang laga itu, Muller dan Careca berulangkali mencecar gawang Argentina yang dikawal Sergio Goycochea, kiper "tidak terkenal" yang naik pangkat jadi pilihan pertama setelah Neri Pumpido mengalami patah tangan.
Argentina seolah-olah sudah berada di ambang kekalahan sebelum Maradona, dengan pergerakannya yang sungguh di luar nalar, di tengah kepungan pemain-pemain Brasil, mampu memberi umpan terobosan yang kemudian dituntaskan Caniggia dengan sangat dingin.

Kemudian berturut-turut mereka mengirim pulang Yugoslavia dan membikin menangis seantero Italia. Keduanya lewat adu tendangan penalti.