Piala Dunia di Kedai Tok Awang
Jangan Sampai Messi Menangis Lagi
Argentina dan Prancis berhadapan di partai puncak Piala Dunia 2022, untuk satu gengsi dan rekor yang akan tercatat dengan tinta emas dalam sejarah.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Messi kurang lebih sama. Dia pernah juara liga bersama Barcelona dan Paris Saint Germain. Juara Liga Champions saat masih berkostum Barcelona. Atas pencapaian-pencapaian ini ia menyabet berbagai penghargaan individu, satu di antara yang paling prestisius tentu Ballon d'Or yang diganjarkan kepadanya sebanyak tujuh kali. Di level kenegaraan, Messi membawa Argentina juara Copa Amerika tahun 2021.
"Jadi memang Piala Dunia Qatar inilah penentunya. Kalok Argentina menang, perdebatan siapa lebih hebat antara Ronaldo dan Messi selesai, dan Messi sekaligus akan setara dengan Maradona," ujar Lek Tuman yang segera saja disambar Tok Awang dari balik steling.
"Seru memang ini. Kalok betul-betul juara, bisa-bisa di Argentina akan lahir agama baru lagi. Agama Messi," katanya ikuti tawa ngakak.
Eric Cantona, pesohor sepak bola Prancis, pernah diminta pendapat tentang Maradona dan dia melontar satu pendefenisian yang tinggi dan canggih. Bilang Cantona, "suatu ketika orang akan berkata, Maradona adalah dia, yang dalam puisi adalah Rimbaud dan dalam musik adalah Mozart."
Wolfgang Amadeus Mozart dan Jean Nicholas Arthur Rimbaud, nama-nama yang abadi dalam musik dan puisi. Namun dibanding bagaimana orang-orang Argentina memandang Maradona, pendefenisian ini belum apa-apa.
Di Argentina, bahkan ada gereja bernama Iglesia Maradoniana. Didirikan 30 Oktober 1998, bertepatan ulang tahun Maradona ke 38, gereja ini menjalankan ritus-ritus pemujaan berdasarkan 'Sepuluh Perintah Tuhan' yang dimodifikasi dan semuanya berkaitpaut dengan Maradona. Termasuk rapal 'Doa Bapa Kami', dan tiap jemaat berkewajiban menamai anak lelaki mereka dengan unsur nama 'Diego'.
"Piala Dunia ini memang bisa jadi indah untuk Messi. Ibaratnya, disinilah dia menyempurnakan sejarahnya. Tapi jangan kelen lupa, ini final piala dunia," kata Jek Buntal menimpali. Dia belum lama tiba. Berbeda dari Leman Dogol dan Mak Idam, Jek datang mengenakan jersey Prancis edisi 1998 KW 11 yang bagian punggungnya bertuliskan 'Zidane'.
"Prancis juga punya kepentingan untuk mencatat sejarahnya sendiri. Messi punya sejarah. Mbappe juga punya sejarah. Kalok Prancis menang, dia akan setara dengan Pele," ujarnya.
Edson Arantes do Nascimento atawa Pele, datang ke Swedia di tahun 1958. Masih 17 tahun dan langsung membelalakkan mata para penonton bola Eropa. Brasil memainkan sepak bola yang sempurna, sepak bola yang tajam sekaligus indah, dan Pele menjadi elemen terpenting di dalamnya.
Empat tahun kemudian, di Chile, Brasil mengulang kedigdayaan. Namun berbeda dari empat tahun sebelumnya, di kejuaraan ini kontribusi Pele berkurang. Dia cuma mencetak satu gol dan hanya masuk starting line up hingga laga kedua babak penyisihan grup melawan Cekoslovakia. Pele mengalami cedera. Ia dicadangkan di laga ketiga melawan Spanyol dan terus begitu sampai final.

"Jadi kalok Perancis yang menang, Mbappe bahkan bisa terhitung lebih hebat dari Pele. Setidaknya di piala dunianya yang kedua, Mbappe tetap pemain inti dan sekarang berpeluang pulak jadi top skor sekaligus pemain terbaik. Argentina harus hati-hati. Ini duel ambisi, jangan sampek Messi nanti menangis lagi," ucap Jek menambahkan.
Lionel Messi memang beberapa kali menangis lantaran kegagalan di final kejuaraan besar. Di Brasil 2014, Argentina yang bermain apik kalah dari Jerman. Di Copa Amerika, dua kali beruntun di tahun yang juga beruntun, 2015 dan 2016 (perayaan 100 tahun turnamen), mereka disungkurkan Chile.
Saking frustasinya, saat itu Messi menyatakan pensiun dari tim nasional, meski ia comeback beberapa bulan kemudian.
Kali, barangkali, tidak ada kesempatan untuk kembali lagi. Andaikata Messi menangis, maka ini akan menjadi tangisnya yang terakhir bagi Tim Nasional Argentina.
“One last cry, tapi mestinya tangis bahagia, lah, jangan tangis sedih lagi,” kata Leman Dogol.
Mendengar ini, Tante Sela yang sedang mengambil gelas jamunya yang tertinggal di kedai, berteriak nyaring. Nadanya kedengaran gembira.
“Alamak, Man, tak sangka awak kau penggemar Elvi Sukaesih. Kak Nensi, Si Leman penggemar Elvi Sukaesih!”
Ocik Nensi tak menjawab, tapi dari balik steling bernyanyi. Aku menangis karena bahagia, lepas dari semua deritaaa... (t agus khaidir)