Cuaca Panas

BAHAYA Cuaca Panas Meningkatkan Gula Darah karena Tubuh Dehidrasi, China dan Amerika Parah

Ancaman cuaca panas kembali me;landa belahan bumi. Dampaknya membahayakan kesehatan manusia . . .

Editor: Salomo Tarigan
Ilustrasi cdn image
Cuaca Panas 

TRIBUN-MEDAN.com - Ancaman cuaca panas kembali me;landa belahan bumi.

Dampaknya membahayakan kesehatan manusia.

Bahaya Cuaca Panas Meningkatkan Gula Darah karena Tubuh Dehidrasi.

Kondisi gelombang panas yang melanda China dan Amerika Parah

Baca juga: Formasi CPNS 2023 Lulusan SMA/SMK, Lowongan CPNS Kemenkumham,Daftar Formasi CPNS untuk lLlusan D3/S1

Badan Kesehatan Dunia (WHO) nyatakan gelombang panas ekstrem di belahan bumi utara semakin membebani sistem perawatan kesehatan.

Salah satu penyakit yang kondisinya diperburuk oleh gelombang panas adalah diabetes.

Loh kok bisa?

Kenapa gelombang panas ekstrem bisa memperburuk pasien diabetes?

Baca juga: Jadwal Lengkap Liga 1 Siaran Langsung PSIS Semarang vs Borneo FC, Persik vs Persib Live Indosiar

Terkait hal ini, Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Dicky Budiman pun jelaskan kaitannya.

Ia mengungkapkan jika pasien diabetes akan mengalami kesulitan mengendalikan gula darah saat terjadinya gelombang panas.

"Sebetulnya orang dengan diabetes ini akan mengalami gangguan kesulitan mengatasi mengendalikan gula darah ketika terjadi gelombang panas," ungkapnya saat ditanyai Tribunnews, Rabu (26/7/2023).

Hal ini dikarenakan saat terjadinya gelombang panas, seseorang berisiko alami dehidrasi.

Dehidrasi menyebabkan napas menjadi cepat dan bisa menganggu metabolisme tubuh bahkan menganggu pada beberapa organ.

Situasi ini yang mendorong kadar gula meningkat.

"Karena dehidrasi itu yang terjadi ketika gelombang panas menyebabkan kadar gula meningkat," kata Dicky.

Kalau kadar gula sudah meningkat, tentu kondisi pasien diabetes bertambah buruk.

"Sehingga panas ini akhirnya berdampak pada kondisi diabetes seseorang," pungkasnya.

Suhu Panas di China, AS dan Eropa

Tiga benua dilanda gelombang panas pada bulan Juli ini.

Gelombang panas ini diduga terjadi karena perubahan iklim yang terjadi karena aktivitas manusia.

Pada bulan Juli ini, Amerika, Eropa dan China, dilanda gelombang panas yang cukup parah.

Akibatnya, sejumlah negara mengalami cuaca ekstrim.

Suhu panas yang memecahkan rekor terjadi di China, Amerika Serikat (AS), dan Eropa selatan.

Suhu yang sangat panas memicu kebakaran hutan, kekeringan, dan banyak orang yang harus dilarikan ke rumah sakit karena sengatan gelombang panas.


Menurut sebuah studi dari World Weather Attribution, peristiwa-peristiwa tersebut kecil kemungkinan terjadi jika tidak ada perubahan iklim akibat aktivitas manusia.

World Weather Attribution adalah tim ilmuwan global yang meneliti peran yang dimainkan oleh perubahan iklim dalam cuaca ekstrem, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (25/7/2023).

“Suhu (panas) di Eropa dan Amerika Utara hampir tidak mungkin terjadi tanpa efek perubahan iklim,” kata Izidine Pinto dari Royal Netherlands Meteorological Institute, salah satu penulis studi tersebut.

Pinto mengatakan, suhu panas 50 kali lebih mungkin terjadi gelombang panas dan panas ekstrem bila dibandingkan masa lalu.

World Weather Attribution memperkirakan, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) membuat gelombang panas di Eropa lebih panas 2,5 derajat celsius daripada yang seharusnya.

Peningkatan GRK juga membuat gelombang panas di Amerika Utara lebih panas 2 derajat celsius dan gelombang panas di China 1 derajat celsius lebih panas.

Merusak Pertanian

Selain berdampak langsung pada kesehatan manusia, gelombang panas telah menyebabkan kerusakan bersekala besar terhadap tanaman pertanian dan kerugian ternak, kata para ilmuwan.

 
Tanaman jagung dan kedelai AS, sapi-sapi di Meksiko, zaitun di Eropa selatan, serta kapas di China sangat terpengaruh.

Di beberapa daerah, El Nino juga berkontribusi terhadap bertambahnya panas.

Baca juga: Formasi CPNS 2023 Lulusan SMA/SMK, Lowongan CPNS Kemenkumham,Daftar Formasi CPNS untuk lLlusan D3/S1

Namun, meningkatnya emisi GRK di atmosfer tetaplah menjadi faktor utama.

Dan gelombang panas akan semakin mungkin kerap terjadi jika emisi GRK tidak dikurangi.

Mereka memperkirakan bahwa periode panas ekstrem yang berkepanjangan kemungkinan besar akan terjadi setiap dua hingga lima tahun jika suhu global rata-rata naik 2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.

Suhu rata-rata saat ini diperkirakan telah meningkat lebih dari 1,1 derajat celsius.

“Peristiwa yang telah kita amati tidak jarang dalam iklim saat ini,” kata Friederike Otto, seorang ilmuwan dari Grantham Institute for Climate Change di London, Inggris.

“Selama kita terus membakar bahan bakar fosil, kita akan melihat semakin banyak hal ekstrem ini,” sambungnya.

Baca juga: Update Klasemen Liga 1, Jadwal PSIS Semarang vs Borneo FC, Susunan Pemain PSIS vs Borneo, Akses Link

Baca juga: GAJI Ahok Pernah Disebut 3,2 Miliar Per Bulan, BTP Kini Dikabarkan Akan Jabat Dirut Pertamina

(*/TRIBUN-MEDAN.com)

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved