Tribun Wiki
Inilah Penginjil Pertama yang Menyebarkan Kristen di Suku Batak, Dua Misionaris Dibunuh Raja
Siapakah penginjil yang menyebarkan kristen di suku Batak? Berikut ini adalah ulasan singkat yang kami rangkum
TRIBUN-MEDAN.COM,- Suku Batak menjadi satu diantara etnis yang cukup mendominasi di Sumatra Utara.
Saat ini, suku Batak menyebar di banyak daerah dan menganut beragam agama.
Ada yang menganut aliran kepercayaan atau Parmalim, ada juga yang menganut Kristen dan Islam.
Namun, tahukah Anda siapa penginjil pertama yang menyebarkan Kristen di suku Batak?
Bagaimana perjuangan mereka saat bertemu dengan masyarakat adat? Berikut ini ulasan singkatnya.
Percaya Debata Asiasi
Dikutip dari wikipedia, sebelum masyarakat suku Batak menganut ajaran Kristen, umumnya mereka belum memiliki agama.
Mereka masih menganut aliran kepercayaan animisme, Hindu dan magi.
Pada zaman dahulu kala, suku Batak masih percaya dengan Yang Maha Kuasa atau Debata Asiasi.
Debata Asiasi adalah sosok yang diyakini menciptakan seluruh alam semesta.
Debata Asiasi tidak mengatur apa yang diciptakan dan memerintahkan ketiga anaknya untuk menjadi dewa yang mengatur dunia.
Anak pertama bernama Batara Guru yang merupakan Dewa Keadilan, Soripada yang merupakan dewa belas kasih, dan Mangala Bulan yang merupakan sumber kejahatan dan dewa paling kuat di antara ketiga dewa ini.
Masyarakat Batak pada masa itu percaya, bahwa sangat penting untuk mengambil hati Mangala Bulan, karena dewa ini dipercaya dapat menghancurkan kehidupan mereka.
Ketiga dewa ini juga tidak langsung memimpin karena juga mempercayakan pemerintahan kepada para delegasinya yang dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu Debata Di Ginjang (dewa atas), Debata Di Toru (dewa bawah dan Debata Dos Tonga (dewa tengah) .
Selain para dewa, masyarakat batak pada masa tersebut juga percaya terhadap penunggu.
Masuknya Penginjil
Dalam wikipedia dikisahkan, bahwa penginjil pertama kali datang ke Tanah Batak berkisar tahun 1920-an.
Ada tiga penginjil yang saat itu masuk ke wilayah Sumatra.
Mereka berasal dari Baptist Missionary Society.
Ketiga penginjil itu yakni Nathan Ward, Evans Meers, dan Richard Burton.
Mulanya, ketiga penginjil ini dikirim ke Bengkulu untuk menemui Thomas Stamford Raffles.
Sebelumnya, mereka bertiga bertugas di Sumatra di tiga tempat berbeda.
Ward ditugaskan di Bengkulu, Burton di Sibolga dan Meers di Padang.
Kemudian Raffles menyarankan supaya mereka pergi ke utara, ke daerah tempat tinggal orang Batak yang masih belum menganut kristen.
Mereka berangkat pada tanggal 30 April 1824 dan melakukan perjalanan di pesisir Tapanuli.
Setelah dua jam melewati dataran rerumputan, mereka tiba di desa Parik Debata mencakup wilayah dari Pagaran lambung.
Pagaran lambung terdiri dari 10-20 desa. Mereka disambut dengan baik oleh raja setempat dan dipersilakan menginap semalam di rumah kepala desa serta mendapatkan tanda kehormatan keesokan harinya.
Mereka melanjutkan perjalanan dan menyusuri rute selama 6 jam perjalanan sebelum beristirahat di desa yang berlokasi di tengah Pagaran Lambung.
Selama dua hari perjalanan, mereka akhirnya melewati Huta Tinggi pada hari senin setelah 4 jam perjalanan dari tempat peristirahatan sebelumnya.
Perjalanan ini merupakan perintah dari Raffles untuk pergi ke utara, yakni Silindung (wilayah Batak Toba).[9]
Mereka melanjutkan 5 jam perjalanan dari Huta Tinggi dan bermalam di sebuah gubuk sebelum melanjutkan perjalanan pada selasa pagi atau tanggal 4 Mei dan tiba di Silindung.
Pada awalnya, rencana perjalanan direncanakan hingga Danau Toba, tapi perjalanan terhenti karena penyakit kolera yang harus ditangani oleh Ward.
Ward merupakan seorang ahli medis yang ditugaskan menyelediki penyakit yang menular di wilayah ini.
Mereka tinggal di Silindung selama seminggu dan meninggalkan Silindung pada jam 7 pagi tanggal 11 Mei.
Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk.
Penduduk salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan bahwa kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil.
Penduduk tidak suka hal ini, karena itu para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.
Para misionaris tersebut juga menerjemahkan pasal satu dari Alkitab ke dalam bahasa Batak Toba.
Penginjil dari ABCFM Dibunuh
Dikisahkan pula, bahwa ada lagi penginjil yang mulanya hendak datang ke Sumatra.
Ia adalah Karl Gützlaff.
Namun, niatnya terbendung karena terjadinya konflik atau perang Padri.
Gutzlaff kemudian ke Jakarta untuk menyebarkan injil kepada Tionghoa yang tinggal disana.
Kemudian, pada tahun 1834, dua orang Amerika, yaitu Samuel Munson dan Henry Lyman yang merupakan utusan gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatra.
Pada 17 Juni 1834, mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana.
Pada 23 Juni 1834, mereka berangkat menuju pegunungan Silindung.
Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh di dekat Lobu Pining.
Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak.
Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.
Kisah Kedatangan Nommensen
Masih dari wikipedia, pada tahun 1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku Batak.
Dalam buku tersebut, Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk membuka zending Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau Sumatra.
Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche Bijbelgenootschap di Belanda, hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama Herman Neubronner van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan Alkitab.
Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali.
Ia juga orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja.
Ia merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya.
Van der Tuuk memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli, langsung ke daerah pedalamannya.
Tahun 1857, pekabar Injil G. Van Asselt, utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda, melakukan pelayanan di Tapanuli Selatan.
Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani.
Pada 31 Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar.
Pada tahun yang sama, tepatnya pada 7 Oktober 1861, diadakan rapat empat pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine dan Pdt. Klemmer serta oleh dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz dan Pdt. Asselt.
Mereka melakukan rapat untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische Missionsgesellschaft.
Hari tersebut dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Kemudian Ludwig Ingwer Nommensen (1834—1918) tiba di Padang pada tahun 1862.
Ia menetap di Barus beberapa saat untuk mempelajari bahasa dan adat Batak dan Melayu.
Ia tiba melalui badan Misi Rheinische Missionsgesellschaft.[6] Kemudian, pada tahun 1864, ia masuk ke daerah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi kantor pusat HKBP).
Dalam menyampaikan Injil, Ludwig Ingwer Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumbantobing (Raja Batak pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya.
Pada awalnya, Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena menerima orang lain yang tidak memelihara adat.
Pada satu saat, diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban.
Saat itu, sesudah kerasukan roh, Sibaso (pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ.
Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata kepada orang banyak:
"Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat.
Masa nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunannya!,"
Segera Sibaso jatuh ke tanah.
Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah lembut, hingga lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu berbuat tidak baik padanya.
Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut malam dan tertidur lelap, Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa malu, melihat perbuatan baik Nommensen.
Sikap penolakan Raja Batak ini disebabkan kekhwatiran bahwa Nommensen adalah perintisan dari pihak Belanda.(tribun-medan.com)
Profil Arief Kurnia Risdianto, Direktur PT PGN Lulusan Maritime University |
![]() |
---|
Mengenal Panthera Pardus Melas, Macan Tutul Jawa yang Terancam Punah |
![]() |
---|
SOSOK Ria Norsan, Gubernur Kalimantan Barat yang Diperiksa KPK Soal Korupsi Jalan Mempawah |
![]() |
---|
Profil Jungkook, Personel BTS yang Lagunya Tembus 2,5 Miliar Streaming di Spotify. |
![]() |
---|
Link Pendaftaran Online Lowongan Kerja PT KAI 2025 untuk Lulusan SMA hingga S1 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.