Peristiwa Sejarah Hari Ini

Tepat 5 Tahun Jatuhnya Pesawat Lion JT 610 hingga Ibunda Emma Bikin Lomba Mirip Mendiang Putrinya

Hari ini tepat lima tahun dalam sejarah jatuhnya pesawat Boeing 737 MAX 8 Lion Air penerbangan JT 610 di perairan Karawang, Jawa Barat yang menewaskan

|
Istimewa via Tribun Jabar
Ilustrasi kecepatan pesawat Lion Air JT 610. (Istimewa via Tribun Jabar) 

Sementara delapan sisanya merupakan pilot, kopilot, dan enam awak kabin.

Dilansir dari program KOMPAS PAGI, pada 26 Oktober 2019, ratusan orang yang menjadi korban hanya dapat diidentifikasi berjumlah 125 jiwa.

Diketahui, pesawat yang jatuh merupakan termasuk jenis Boeing 737 MAX 8 yang dibuat tahun 2018.

Lion Air sendiri baru mengoperasikan pesawat itu pada 15 Agustus 2018 dan baru memiliki kurang lebih 800 jam terbang.

KRI Spica diberangkatkan mencari black box berisi CVR pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Karawang, Selasa (8/1/2019).
KRI Spica diberangkatkan mencari black box berisi CVR pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Karawang, Selasa (8/1/2019). (KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D)

Satu tahun pasca-tragedi tersebut, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya merilis hasil investigasi terkait penyebab kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 itu.

KNKT menyebut penyebab jatuhnya pesawat Lion Air tujuan Pangkal Pinang tersebut diakibatkan Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) yang belum dikuasai oleh pilot.

Hal itu dikarenakan tidak adanya panduan MCAS untuk pilot yang diberikan perusahaan sehingga menyebabkannya kesulitan mengenali sistem.

Investigator KNKT, Nurcahyo Utomo mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan kecelakaan adalah kesalahan asumsi terkait desain fitur Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS).

Petugas saat menurunkan 2 kantong jenazah pesawat Lion Air JT 610 di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (30/10/2018) Hingga Selasa (30/10) evakuasi terhadap 26 kantong jenazah yang berhasil ditemukan oleh tim gabungan Basarnas di perairan Karawang. (Tribunnews/Jeprima)
Petugas saat menurunkan 2 kantong jenazah pesawat Lion Air JT 610 di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (30/10/2018) Hingga Selasa (30/10) evakuasi terhadap 26 kantong jenazah yang berhasil ditemukan oleh tim gabungan Basarnas di perairan Karawang. (Tribunnews/Jeprima) (Tribunnews/Jeprima)

MCAS merupakan fitur baru dalam desain pesawat Boeing 737 Max 8 yang berfungsi mengontrol bagian hidung pesawat.

Selain itu, pilot gagal mengatasi situasi lantaran tidak mengetahui perihal MCAS yang tidak tercantum dalam buku panduan serta pelatihan pilot.

Saat proses desain, Boeing membuat sejumlah asumsi terkait kerusakan yang dapat memicu aktifnya MCAS. Namun menurut Nurcahyo, kajian terkait efek yang terjadi di cockpit kurang lengkap.

Desain MCAS bergantung pada sensor tunggal, dan berdasarkan asumsi-asumsi tadi, Boeing menilai hal ini tepat dan memenuhi persyaratan sertifikasi.

“Kami justru melihat sistem ini rentan gangguan, sensor bisa saja rusak dan mengalami gangguan lain,” kata Nurcahyo.

Baca juga: VIRAL Pesta Pernikahan Bikin Warga Emosi, Blokade Jalan Raya Demi Sesi Foto, Bikin Macet

Baca juga: Gunung Merbabu Terbakar, 400 Hektare Lahan Pohon Pinus Terbakar, 400 Warga Dievakuasi

Boeing juga tidak menyertakan informasi terkait MCAS di dalam pelatihan dan buku panduan untuk pilot.

“Hal ini menyulitkan saat MCAS aktif, pilot tidak mengenali gejala ini akibat sistem apa karena mereka tidak mengenali sistem MCAS ini,” ujarnya.

MCAS pada penerbangan PK-LPQ aktif karena ada kesalahan kalibrasi pada Angle of Attack (AOA) sensor kiri sebesar 21 derajat.

AOA merupakan parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat. Jika sudut ini terlalu tinggi maka pesawat bisa kehilangan daya angkat.

Namun, Boeing 737 Max 8 tidak memiliki lampu peringatan AOA Disagree sehingga perbedaan sudut penerbangan di sisi kanan dan kiri tidak teridentifikasi.

Dalam penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang, aktifasi MCAS terjadi berulang kali dan tidak dikelola dengan efektif karena situasi yang sulit.

Berdasarkan penelitian terhadap flight data record (FDR), KNKT menemukan padatnya komunikasi dengan air traffic controller, serta komunikasi antara pilot dan copilot kurang baik.

Masalah sama pada penerbangan Denpasar-Jakarta

Pejabat KNKT, Nurcahyo Utomo, mengatakan Lion Air JT 610 tidak laik terbang dan mendesak Lion Air untuk melakukan perbaikan atas budaya keselamatan.
Pejabat KNKT, Nurcahyo Utomo, mengatakan Lion Air JT 610 tidak laik terbang dan mendesak Lion Air untuk melakukan perbaikan atas budaya keselamatan. (BBC INDONESIA)

Situasi yang terjadi dalam penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang juga terjadi pada penerbangan Denpasar-Jakarta pada malam sebelum kecelakaan terjadi. Beruntungnya, pada malam itu pilot berhasil mengatasi situasi.

Indikator kecepatan dan ketinggian pesawat PK-LPQ pertama kali rusak pada penerbangan dari Tianjin, China ke Manado, Indonesia pada 26 Oktober 2019.

Ketika di Denpasar, Bali, teknisi mengganti sensor kiri AOA. Sensor kiri AOA ini ternyata tetap mengalami deviasi 21 derajat pada penerbangan ke Jakarta.

Dalam penerbangan Denpasar-Jakarta, kondisi itu mengaktifkan stick shaker dan terjadi kondisi yang mereka anggap sebagai “runaway stabilizer”. Pilot berhasil mengatasi situasi tersebut setelah mengaktifkan stab trim.

Namun pilot berhasil mengatasinya dengan memindahkan tombol STAB TRIM ke posisi CUT OUT.

Menurut Nurcahyo, ada respons berbeda dari pilot penerbangan Denpasar-Jakarta dengan pilot Jakarta-Pangkal Pinang ketika menghadapi situasi yang sama.

“Awak penerbangan sempat berdiskusi dengan engineer sebelum berangkat dari Denpasar, bahwa pesawat sebelumnya mengalami gangguan di AOA sebelah kiri,” kata dia.

“Setelah terbang, alami gangguan, pilot bereaksi, pasti sebelah kiri yang salah sehingga dengan beberapa upaya MCAS berhasil dimatikan,” lanjut Nurcahyo.

Pilot tidak melaporkan seluruh informasi tersebut begitu pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, sehingga teknisi tidak mengambil tindakan perbaikan yang tepat.

Dalam penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang, situasi yang sama terjadi namun pilot gagal mengatasinya.

Menurut Nurcahyo, faktor terakhir yang menyebabkan pesawat jatuh adalah padatnya komunikasi dengan Air Traffic Controller (ATC), serta komunikasi antara pilot dan copilot kurang baik.

Begitu tiba di Jakarta, pilot tidak melaporkan aktifnya stick shaker dan terjadinya kondisi yang mereka anggap sebagai runaway stabilizer, sehingga teknisi tidak melakukan langkah perbaikan yang diperlukan.

Sementara pada penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang, pilot tidak melihat ada catatan kerusakan tersebut, ditambah situasi sulit dan komunikasi yang tidak efektif.

Pesawat tersebut mengangkut 189 orang. Berdasarkan catatan manifest, 181 merupakan penumpang pesawat yang terdiri atas 124 laki-laki, 54 perempuan, satu anak-anak, dan dua bayi. Sementara itu, tujuh orang lainnya merupakan pilot, kopilot, dan lima awak kabin.

Proses pencarian korban dilakukan sejak 29 Oktober hingga akhirnya dihentikan pada 23 November 2018. Selama 24 hari masa pencarian, hanya 125 jasad korban yang berhasil diidentifikasi.

Sedangkan 64 korban tak teridentifikasi lantaran tidak ditemukan jasadnya atau bagian tubuh saat proses pencarian dan evakuasi berlangsung.

9 Faktor Penyebab Kecelakaan Lion Air JT-610

1.      Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat saat proses desain dan sertifikasi Boeing 737-8 Max nyatanya tidak tepat.

2.      Kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di kokpit.

3.      Desain MCAS andalkan satu sensor rentan kesalahan.

4.      Pilot kesulitan respons pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk di buku panduan dan pelatihan.

5.      Indikator AOA Disagree tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 MAX.

6.      AOA sensor pengganti alami kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi saat perbaikan sebelumnya.

7.      Investigasi tak dapat tentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang di pesawat, kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.

8.      Informasi stick shaker dan penggunaan prosedur non normal runaway stabilizer di penerbangan sebelumnya tidak tercatat, pilot dan teknisi sulit ambil tindakan tepat.

9.      Berulangnya aktivasi MCAS dan padat komunikasi dengan ATC tidak terkelola secara efektif.

(*/TRIBUN-MEDAN.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter    

Sumber: Tribun Medan
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved