Tribun Wiki

Sirang-sirang, Tradisi Pemakan dengan Cara Kremasi Masyarakat Karo

Sirang-sirang, tradisi pemkaman dengan cara kremasi bagi masyarakat Karo ini diyakini pengaruh ajaran Hindu masa lalu

Editor: Array A Argus
INTERNET
Foto masa lalu masyarakat Karo saat akan melakukan tradisi Sirang-sirang 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Dalam agama atau aliran kepercayaan tertentu, biasanya memiliki tradisi, khususnya menyangkut proses pemakaman.

Sama halnya dengan masyarakat Karo yang menganut ajaran Hindu.

Mereka juga memiliki tradisi yang namanya Sirang-sirang.

Sirang-sirang adalah tradisi upacara pemakaman yang dilakukan dengan cara kremasi.

Upacara Sirang-sirang ini diketahui sempat dilakukan oleh masyarakat Karo yang bermarga Sembiring.

Baca juga: Pemena, Agama Pertama Suku Karo

Mengutip dari laman Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, bahwa mereka yang bermarga Sembiring melakukan kremasi karena diduga pengaruh Hindu dalam budaya mereka, yang disebut masih keturunan orang Tamil, India.

Terlebih, di masyarakat suku Karo, ada kepercayaan yang disebut sebagai Pemena.

Pemena adalah kepercayaan tradisional yang menghormati roh nenek moyang dan menjaga keseimbangan dengan alam.

Dari berbagai literasi yang ada, Pemena juga memiliki kemiripan dengan agama Hindu, terutama dalam hal upacara keagamaan.

Sehingga, Pemena dimasukkan ke dalam agama Hindu karena memiliki banyak kesamaan, khususnya dalam prosesi ritual.

Terkait tradisi Sirang-sirang ini, biasanya ritual dimulai sebelum jenazah dibawa ke tempat kremasi.

Baca juga: Sisingamangaraja XII, Raja Sekaligus Imam Parmalim yang Dibunuh Belanda

Ketika jenazah akan dibawa menuju keluar rumah, pihak keluarga lebih dahulu meletakkan kudin (belanga dari tanah liat) yang berisi cipera (gulai ayam khas Karo) di depan pintu.

Lalu, istri ataupun suami yang ditinggalkan menendang belanga ini hingga pecah.

Adapun makna dari prosesi ini melambangkan hancurnya hati istri atau suami yang baru saja kehilangan pasangan hidupnya.

Selanjutnya, daging ayam tersebut akan dihidangkan dan disantap oleh kerabat dekat saat makan siang.

Dengan menyantap hidangan tersebut, diharap kepedihan karena kehilangan keluarga tercinta segera sirna.

Baca juga: Raja Uti, Perintis Agama Parmalim di Tanah Batak

Setelah itu mayat dibawa ke tempat kremasi di daerah lapangan terbuka dekat dengan sungai.

Sebelumnya telah dipersiapkan kayu bakar oleh anak beru (keluarga dari pihak laki-laki).

Kayu pembakar mayat berasal dari kayu pohon dokum.

Selama proses pembakaran mayat, kayu tidak boleh ditambah, sehingga harus diperhitungan dengan matang jumlah kayu yang akan digunakan.

Setelah sampai di tempat pembakaran mayat, keluarga dari yang meninggal diminta kembali ke rumah.

Baca juga: Tradisi Penggal Kepala yang Dijadikan Maskawin, Ada di Indonesia

Yang tinggal di lokasi kremasi hanyalah dukun dengan empat orang sindapur (petugas yang membantu dukun membakar jenazah).

Sebelum api disulutkan, dukun yang memimpin ritual memerintahkan sindapur untuk melepas semua pakaian jenazah dan ditelungkupkan di atas batang kayu dokum, dan sindapur diperintahkan oleh sang dukun untuk memukul kaki jenazah sekuat-kuatnya agar arwahnya tidak kabur dan gentayangan.

Bagi wanita yang meninggal melahirkan, bayinya juga dibakar dengan sang ibu.

Barulah kemudian sang dukun membakar jenazah di atas kayu yang telah dipersiapkan.

Setelah pembakaran mayat, sindapur harus segera membuang abu jenazah ke sungai terdekat dan membersihkan sisa-sisa upacara agar sisa-sisa jenazah tidak digunakan oleh orang-orang yang menunut ilmu hitam.

Baca juga: Tradisi Minum Darah Dua Suku Pedalaman, Diyakini Bikin Gemuk

Kemudian sindapur harus menjalani ritual yang dipimpin oleh sang dukun.

Mereka dimandikan dengan lau penguras atau air yang sudah dijampi-jampi oleh sang dukun, dan baru setelah itu boleh pulang ke rumah.

Setelah sampai di rumah, mereka harus mencuci telapak tangan dan memegang para-para (tungku api unuk masak), dengan demikian sindapur tidak diganggu oleh mayat yang baru saja dibakarnya.

Proses pembakaran mayat ini sangat rumit dan mengerikan, sehingga upacara ini tidak lagi dilaksanakan oleh suku Karo marga Sembiring karena tidak ada sindapur yang bersedia.(tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter     

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved