Breaking News

Tribun Wiki

Profil Gabriel Attal, PM Prancis Termuda Seorang Gay yang Larang Pemakaian Abaya

Gabriel Attal, Menteri Pendidikan termuda kini diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Presiden Emmanuel Macron

Editor: Array A Argus
Christian Liewig/Corbis/Getty Images
Gabriel Attal, mantan Menteri Pendidikan yang baru saja ditunjuk sebagai PM Prancis 

TRIBUN-MEDAN.COM,- Presiden Prancis, Emmanuel Macron baru saja menunjuk Perdana Menteri barunya Gabriel Attal, Selasa (9/1/2024) kemarin.

Diketahui, Gabriel Attal sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pendidikan Prancis.

Gabriel Attal dikenal sebagai sosok kontroversi, karena pernah menerapkan larangan penggunaan abaya.

Abaya adalah pakaian tradisional umat Muslim di Prancis.

Saat itu, Gabriel Attal mengatakan bahwa pemakaian abaya di sekolah-sekolah tidak boleh digunakan karena dalih melanggar hukum sekuler di Prancis.

Bukan cuma itu saja, Gabriel Attal yang kini menjadi PM Prancis termuda di usia 34 tahun tersebut ternyata seorang gay.

Ia pernah terang-terangan mengaku sebagai gay tak lama setelah bergabung dengan pemerintah tahun 2018 silam.

"Presiden republik menunjuk Gabriel Attal sebagai perdana menteri, dan menugaskannya untuk membentuk pemerintahan," bunyi pernyataan presiden, dilansir dari CNBC, dikutip AFP.

"Saya tahu saya dapat mengandalkan energi dan komitmen Anda," kata Macron berharap ke Attal usai menunjuknya sebagai PM Prancis.

Profil Gabriel Attal

Dikutip dari The Guardian, Gabriel Attal adalah putra dari Yves Attal, seorang pengacara dan produser film keturunan Yahudi Tunisia yang meninggal pada tahun 2015, dan Marie de Couriss, yang merupakan keturunan Kristen Ortodoks dari Odessa.

Ia dibesarkan di Paris bersama ketiga adik perempuannya dan menggunakan nama lengkap Gabriel Attal de Couriss.

Pada tahun 2019, Attal mengatakan kepada outlet berita Libération: “Ayah saya berkata kepada saya, ‘Mungkin kamu Ortodoks tetapi kamu akan merasa Yahudi sepanjang hidupmu, terutama karena kamu akan menderita antisemitisme karena namamu’.”

Ia menempuh pendidikan di École Alsacienne, sekolah swasta terkemuka di bidang politik dan seni di Paris di arondisemen ke-6, di mana pelajaran bahasa Inggris diwajibkan sejak tingkat dasar.

Setelah sarjana muda, ia belajar di Universitas Sciences Po yang bergengsi dan memperoleh gelar master dalam bidang hubungan masyarakat.

Menurut teman-temannya, ambisi politik Gabriel Attal muncul tat kala dirinya menghadiri demonstrasi menentang Jean-Marie Le Pen, ketika pemimpin sayap kanan itu terpilih dalam pemilihan presiden putaran kedua melawan Jacques Chirac pada tahun 2002.

Attal kemudian bergabung dengan Partai Sosialis pada tahun 2006 dan mendukung partai tersebut.

Tahun 2007, Attal dan partainya mengusung calon presiden Ségolène Royal.

Namun, Gabriel Attal juga sempat tercatat bekerja di kantor Menteri Kesehatan pada tahun 2012, setelah diajak oleh ibu dari salah satu teman sekelasnya.

Pada tahun 2016, Gabriel Attal meninggalkan partai Sosialis untuk bergabung dengan partai politik sentris Macron yang baru lahir, En Marche, yang kemudian menjadi La République En Marche (LREM).

Sejak saat itu, kebangkitannya di dunia politik semakin melejit dengan cepat. 

Pada usia 29 tahun, ia diangkat menjadi sekretaris negara di kementerian pendidikan, menjadi anggota pemerintahan termuda di bawah Republik Kelima, yang terbentuk pada bulan Oktober 1958.

Ia pernah memegang beberapa jabatan politik penting termasuk kepala LREM, juru bicara pemerintah, menteri keuangan publik, serta menteri pendidikan.

Dia terpilih menjadi anggota Assemblée National pada Juni tahun lalu.

Attal menjalin kemitraan sipil dengan Stéphane Séjourné, 38, seorang anggota Parlemen Eropa dan sekretaris jenderal partai yang berkuasa – sekarang bernama Renaissance – yang merupakan salah satu penasihat politik Macron hingga tahun 2021.

Dalam dekade terakhir, politik Attal tampaknya telah bergeser dari kiri-tengah ke kanan-tengah.

Pada tahun 2018, ia menanggapi pemogokan yang dilakukan oleh staf di SNCF, perusahaan kereta api nasional, dengan mengatakan bahwa Prancis harus “keluar dari budaya pemogokan” dan menuduh para pelajar yang memprotes perubahan sistem pendidikan sebagai “bobo yang egois (borjuis Bohemia)”.

Macron – yang pernah dikenal sebagai “anak emas” politik Perancis karena masa mudanya, dinamisme dan ambisinya – akan mengandalkan Attal yang muda, dinamis dan ambisius untuk memperkuat pemerintahan yang lemah karena kurangnya mayoritas parlemen dan membangkitkan semangat generasi muda yang kecewa untuk pemilu Eropa nanti.

Jajak pendapat baru-baru ini yang dilakukan oleh Elabe untuk Les Échos menunjukkan bahwa penunjukan Gabriel Attal sebagai PM Prancis tersebut menunjukkan trend positif di masyarakat.(tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter    

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved